ADA PEMURTADAN SAAT TAHUN BARUAN

MUQADDIMAH:

Sekarang sudah diakhir bulan Desember, dalam hitungan jam tahun 2023 akan pergi meninggalkan kita. Tempat-tempat hiburan seperti cafe, diskotik, karaoke dan hotel pun sudah di penuhi pernak-pernik Tahun Baru dan sudah mempersiapkan berbagai program buat kemeriahan pesta nanti malam. Tak sedikit dari tempat-tempat hiburan yang menyediakan dorprize, lucky draw, bahkan artis terkenal di datangkan buat penyambutan dan kemeriahan acara tersebut. Penjual kado serta kartu ucapan laris manis di bulan ini. Beginilah suasana tahun baru. Namun tahukah kita tentang asal usul Tahun Baru Masehi?

 

ASAL MUASAL TAHUN BARU 1 JANUARI:

Tahun baru dalam kalender umum atau kalender Gregorian dimulai pada tanggal 1 Januari. Dalam satu tahun, kalender Gregorian berlangsung dari 1 Januari hingga 31 Desember, atau 365 hari. Masyarakat umumnya menyebut Januari sebagai bulan pertama, Februari sebagai bulan kedua, dan seterusnya hingga Desember sebagai bulan kedua belas. Kalender umum ini berasal dari Romawi. Agak aneh, sebab umumnya masyarakat empat musim memulai tahun baru pada musim semi dan menjelang bulan purnama. Padahal 1 Januari masih berada di musim dingin dan masih lama menuju bulan purnama penuh yang jatuh sekitar Maret atau bahkan April.

 

Bagaimanakah sejarah munculnya 1 Januari sebagai tahun baru? Sebelum tahun 708 AUC (waktu itu orang Romawi masih menggunakan kalender Ab Urbe Condita [AUC], yakni berdasarkan berdirinya kota Roma pada 753 tahun sebelum Masehi), orang Romawi memasuki tahun baru pada setiap 1 Maret. Maret adalah bulan pertama yang menandakan dimulainya musim semi dan menjelang bulan purnama penuh yang pertama dalam 365 hari itu. Musim semi selalu dijadikan patokan tahun baru, yang diartikan sebagai kehidupan baru. Orang Italia menyebut musim semi dengan la primavera, artinya kehidupan yang pertama.

 

Bukti bahwa Maret sebagai bulan pertama masih dapat dilihat hingga kini, yakni dengan nama bulan-bulan. Bulan ke-7 disebut September (septem = tujuh), bulan ke-8 disebut Oktober (octo = delapan), bulan ke-9 disebut November (novem = sembilan), dan bulan ke-10 disebut Desember (decem = sepuluh). Dahulu bulan Juli dan Agustus disebut Bulan Ke-5 (Mensis Quintilis) dan Bulan Ke-6 (Mensis Sextilis). Hingga jelasnya bahwa berdasarkan nama bulan-bulan tersebut akan urutan bulan dalam kalender.

 

Akhir tahun 46 SM, Julius Gaius Caesar (59 – 44 SM) menetapkan sistem kalender baru, yakni sistem solar (matahari) dari sebelumnya sistem lunar (bulan). Sistem kalender baru itu ditetapkan untuk diberlakukan pada 1 Januari, yang sebelum itu hanya merupakan hari biasa. Pada waktu itu, 1 Januari masih termasuk bulan ke-11 dan masih dalam tahun 46 SM. Dengan pemberlakuan kalender ala-Julius Caesar tersebut – kemudian dikenal sebagai kalender Julian – maka 1 Januari menjadi tahun baru. Sebenarnya, 1 Januari hanya merupakan peringatan pemberlakuan kalender baru tersebut. Untuk menghormatinya, bulan kelahiran Julius Caesar, yakni Bulan Ke-5, diubah dengan namanya, yakni Juli.

 

Sistem kalender Julian ini menghitung bahwa satu tahun terdiri dari 355,25 hari. Setiap empat tahun sekali, terjadilah perpanjangan bulan Februari. Yakni 24 Februari, atau dies sextilis (hari keenam sebelum permulaan Maret), terjadi dua hari berturut-turut untuk tanggal yang sama, misalnya 24 Februari hari Rabu dan keesokannya adalah 24 Februari hari Kamis. Bulan-bulan Maret, Mei, Juli, dan Oktober berjumlah 31 hari, sama hingga kini. Bulan Februari 28 hari. Sedangkan bulan-bulan April, Juni, Agustus, September, November, Desember, dan Januari berjumlah 29 hari.

 

Jumlah hari dalam bulan-bulan 29 hari, bulan kabisat, dan jumlah hari dalam setahun kemudian dibarui di zaman Kaisar Augustus pada tahun 6 SM. Untuk menghormati dan mengenang Kaisar Augustus, maka Bulan Ke-6 (Mensis Sextilis) diganti namanya menjadi Bulan Agustus.

 

Koreksi jumlah hari kembali dibarui oleh Gereja Roma pada tahun 1577 terhadap kalender Julian dan Augustan. Kali ini dilakukan oleh pihak Gereja Roma Katolik. Pada tahun 1582, atas perintah Konsili Trente (1545-1563) pada tahun 1577 oleh Paus Gregorius XIII (1502-1585) dikoreksi bahwa hari-hari dalam setahun berjumlah 365,2422 hari, bukan 365,25 hari sebagaimana kalender Julian. Akibatnya adalah waktu yang berjalan setiap tahun lebih lambat 11,25 menit. Nampaknya perbedaan waktu tidak terlalu berarti, namun jika dihitung sejak tahun 45 SM hingga tahun 1582, maka telah terjadi keterlambatan waktu 18.303,75 menit dalam 1.627 tahun, atau 12,7109375 hari.

 

Perbedaan ini cukup signifikan, dan dapat mengganti pengaturan waktu pada masa-masa kemudian. Penyesuaian segera dilakukan. Melalui keputusan inter gravissimas pada 24 Februari 1582, Paus Gregorius XIII menyatakan bahwa sesudah tanggal 4 Oktober 1582 (Kamis) langsung masuk ke tanggal 15 Oktober 1582 (Jumat) esok harinya. Jadi hanya dipercepat sepuluh hari, padahal seharusnya 12-13 hari keesokan harinya. Lantas tahun pergantian abad (semisal: 1700, 1800, 1900) yang tidak habis dibagi 400, ditiadakan dari kabisat dan dianggap tahun biasa. Maka jadilah kelender sebagaimana terpampang di rumah-rumah kita.

 

ASAL MUASAL PESTA TAHUN BARU:

Di zaman Romawi kuno, pesta tahun baru adalah pesta yang diadakan buat memperingati Dewa Janus. Dewa Janus adalah Dewa pintu dari semua permulaan. Oleh sebab itu Dewa Janus di gambarkan mempunyai dua muka (bermuka dua). Menurut catatan dari Encarta Reference Library Premium 2005, “Orang yang pertama yang membuat penanggalan kalender adalah Kaisar Romawi yang terkenal bernama Gaisus Julius Caesar. Kalender itu di buat pada Tahun 45 Sebelum Masehi jika menggunakan standar tahun yang di hitung mundur dari kelahiran Yesus Kristus.”

 

Berdasarkan itu maka penanggalan setelah kelahiran Yesus Kristus diberi tanda AD (bahasa latin, Anno Domini, yang berarti in the year of our lord alias Masehi. Kata Masehi sendiri di ambil dari kata Al-Masih atau Yesus. Sementara itu untuk zaman pra sejarah di sematkan BC (Before Christ) alias SM (Sebelum Masehi). Karena kemeriahan pesta tahun baru waktu itu maka Pope (Paus) Gregory III tidak mensia-siakan kesempatan tersebut. Paus pun memodifikasi kalender tersebut dan kemudian mengukuhkannya sebagai sistem penanggalan yang harus di gunakan oleh seluruh bangsa Eropa, bahkan kini di seluruh dunia. Dan pada akhirnya perayaan ini di wajibkan oleh para pemimpin Gereja sebagai satu perayaan suci sepaket dengan Natal. Itulah sebabnya mengapa kalau ucapan Natal dan Tahun Baru di jadikan satu: “Merry Christmas and Happy New Year”.

 

PANDANGAN SYARIAT ISLAM:

Berbagai keterangan sejarah di atas tampak jelas memperlihatkan bahwa perayaan tahun baru masehi bukan semata-mata acara seremonial melainkan sangat erat dengan ritual kaum Romawi kuno dan kaum Nasrani atas dasar keyakinan mereka. Jadi, bagi seorang muslim ikut terlibat memperingati dan merayakan tahun baru masehi hukumnya HARAM.

 

Di antara ayat yang menyebutkan secara khusus larangan menyerupai hari-hari besar mereka adalah:

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا.

“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu.” (QS Al-Furqan [25]:72).

 

Ayat ini berkaitan dengan salah satu sifat hamba Allah yang beriman. Ulama-ulama salaf seperti Ibnu Sirin, Mujahid dan Ar-Rabi bin Anas menafsirkan kata az-Zuura di dalam ayat tersebut sebagai hari-hari besar orang kafir. Jadi, berdasarkan ayat di atas jika sampai seorang muslim merayakan Tahun Baru Masehi berarti dia melakukan persaksian palsu terhadap hari-hari besar orang kafir.

 

Selain ditegaskan oleh Al-Quran, larangan menyerupai hari-hari besar mereka ditegaskan pula dalam hadis-hadis Nabi saw., antara lain:

عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ.

Dari Anas bin Malik Ra., dia berkata, “Saat Rasulullah saw. datang ke Madinah, mereka memiliki dua hari besar (ied) untuk bermain-main. Lalu beliau bertanya, ‘Dua hari untuk apa ini’ Mereka menjawab, ‘Dua hari di mana kami sering bermain-main di masa jahiliyah.’ Lantas beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian untuk keduanya dengan dua hari yang lebih baik dari keduanya, yakni Iedul Adha dan Iedul Fitri’.” HR. Ahmad, Musnad Ahmad, No.11.595, 13.058, 13.210.

 

Sehubungan dengan itu, Umar bin Khatab berkata:

وَلاَ تَدْخُلُوا عَلَى الْمُشْرِكِينَ فِى كَنَائِسِهِمْ يَوْمَ عِيدِهِمْ فَإِنَّ السُّخْطَةَ تَنْزِلُ عَلَيْهِمْ.

“Janganlah kalian mengunjungi kaum musyrikin di gereja-gereja (rumah-rumah ibadah) mereka pada hari besar mereka karena sesungguhnya kemurkaan Allah akan turun atas mereka.” HR. Al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, IX:234, No. 19.333

 

Dalam riwayat lain, Umar berkata:

اجْتَنِبُوا أَعْدَاءَ اللَّهِ فِى عِيدِهِمْ.

“Hindarilah musuh-musuh Allah pada momentum hari-hari besar mereka.” HR. Al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, IX:234, No. 19.334.

 

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ قَالَ: مَنْ نَشَأَ فِي بِلَادِ الْأَعَاجِمِ فَصَنَعَ نَوْرُوزَهُمْ, وَمَهْرَجَانَهُمْ, وَتَشَبَّهَ بِهِمْ حَتَّى يَمُوتَ وَهُوَ كَذَلِكَ حُشِرَ مَعَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash Ra., ia berkata, “Barangsiapa berdiam di negeri-negeri orang asing, lalu membuat tahun baru dan festival seperti mereka serta menyerupai mereka hingga dia mati dalam kondisi demikian, maka kelak dia akan dikumpulkan pada hari kiamat bersama mereka.” HR. Al-Baihaqi, Syu’abul Iman, juz 12, hlm. 19

 

Sehubungan dengan itu, Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُم.

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” HR. Abu Dawud

 

Maksud hadis di atas adalah larangan menyerupai suatu kaum, baik ibadahnya, adat-istiadatnya, juga gaya hidupnya. At-Tasyabbuh secara bahasa berarti meniru atau mencontoh, menjalin atau mengaitkan diri, dan mengikuti.

 

Tasyabbuh yang dilarang dalam Al-Quran dan As-Sunnah secara syari’i adalah menyerupai orang-orang kafir dalam segala bentuk dan sifatnya, baik dalam aqidah, peribadatan, kebudayaan, atau dalam pola tingkah laku yang menunjukan ciri khas mereka.

 

Sehubungan dengan itu, Syaikhul Islam Ibnu Timiyah berkata:

لَا يَحِلُّ لِلْمُسْلِمِينَ أَنْ يَتَشَبَّهُوا بِهِمْ فِي شَيْءٍ مِمَّا يَخْتَصُّ بِأَعْيَادِهِمْ لَا مِنْ طَعَامٍ وَلَا لِبَاسٍ وَلَا اغْتِسَالٍ وَلَا إيقَادِ نِيرَانٍ وَلَا تَبْطِيلِ عَادَةٍ مِنْ مَعِيشَةٍ أَوْ عِبَادَةٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ. وَلَا يَحِلُّ فِعْلُ وَلِيمَةٍ وَلَا الْإِهْدَاءُ وَلَا الْبَيْعُ بِمَا يُسْتَعَانُ بِهِ عَلَى ذَلِكَ لِأَجْلِ ذَلِكَ. وَلَا تَمْكِينُ الصِّبْيَانِ وَنَحْوِهِمْ مِنْ اللَّعِبِ الَّذِي فِي الْأَعْيَادِ وَلَا إظْهَارُ زِينَةٍ. وَبِالْجُمْلَةِ لَيْسَ لَهُمْ أَنْ يَخُصُّوا أَعْيَادَهُمْ بِشَيْءٍ مِنْ شَعَائِرِهِمْ بَلْ يَكُونُ يَوْمُ عِيدِهِمْ عِنْدَ الْمُسْلِمِينَ كَسَائِرِ الْأَيَّامِ لَا يَخُصُّهُ الْمُسْلِمُونَ بِشَيْءٍ مِنْ خَصَائِصِهِمْ .

“Tidak halal bagi kaum muslimin bertasyabuh (menyerupai) dengan mereka dalam hal-hal yang khusus bagi hari raya mereka, baik berupa makanan, pakaian, mandi, menyalakan lilin, menyia-nyiakan kebiasaan, berupa mata pencaharian, ibadah, atau yang lainnya. Tidak halal mengadakan kenduri atau memberi hadiah atau menjual barang-barang yang di perlukan untuk hari raya tersebut. Tidak halal mengizinkan anak-anak ataupun yang lainnya melakukan permainan pada hari itu, juga tidak boleh menampakan perhiasan. Dalam pengertian lain, tidak boleh mengistimewakan hari raya mereka dengan sesuatu yang menjadi syi’ar mereka pada hari itu, bahkan hari raya mereka oleh kaum muslim mesti dipandang seperti hari-hari biasa tanpa disikapi secara khusus dengan sesuatu yang menjadi khas mereka.” (Lihat, Majmu’ ar-Rasail wal Masail, I:230)

 

Dari uraian-uraian di atas tampak jelas bahwa perayaan Tahun Baru bukan berasal dari Islam. Karena itu, setiap muslim yang mengakui Allah sebagai Rabb, Islam sebagai Agama dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, tidak diperbolehkan ikut merayakan hari besar yang tidak ada asalnya di dalam Islam, tidak boleh menghadiri, bergabung dan membantu terselenggaranya acara tersebut. Hal ini termasuk dosa dan melanggar batasan Allah. Allah telah melarang kita tolong menolong di dalam dosa dan pelanggaran.

 

10 KERUSAKAN DALAM PERAYAAN TAHUN BARU:

Berikut adalah beberapa kerusakan akibat seorang muslim merayakan tahun baru.

KERUSAKAN PERTAMA: Merayakan Tahun Baru Berarti Merayakan ‘Ied (Perayaan) yang Haram.

Perlu diketahui bahwa perayaan (‘ied) kaum muslimin ada dua yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. Anas bin Malik mengatakan:

كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى.

“Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, ‘Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha.’” 

Namun setelah itu muncul berbagai perayaan (‘ied) di tengah kaum muslimin. Ada perayaan yang dimaksudkan untuk ibadah atau sekedar meniru-niru orang kafir. Di antara perayaan yang kami maksudkan di sini adalah perayaan tahun baru Masehi. Perayaan semacam ini berarti di luar perayaan yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan sebagai perayaan yang lebih baik yang Allah ganti. Karena perayaan kaum muslimin hanyalah dua yang dikatakan baik yaitu Idul Fithri dan Idul Adha.

Perhatikan penjelasan Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, komisi fatwa di Saudi Arabia berikut ini: Al Lajnah Ad Da-imah mengatakan, “Yang disebut ‘ied atau hari perayaan secara istilah adalah semua bentuk perkumpulan yang berulang secara periodik boleh jadi tahunan, bulanan, mingguan atau semisalnya. Jadi dalam ied terkumpul beberapa hal:

1.      Hari yang berulang semisal idul fitri dan hari Jumat.

2.      Berkumpulnya banyak orang pada hari tersebut.

3.      Berbagai aktivitas yang dilakukan pada hari itu baik berupa ritual ibadah ataupun non ibadah.

Hukum ied (perayaan) terbagi menjadi dua:

1.  Ied yang tujuannya adalah beribadah, mendekatkan diri kepada Allah dan mengagungkan hari tersebut dalam rangka mendapat pahala, atau

2.   Ied yang mengandung unsur menyerupai orang-orang jahiliah atau golongan-golongan orang kafir yang lain maka hukumnya adalah bid’ah yang terlarang karena tercakup dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.

Barang siapa yang mengada-adakan amal dalam agama kami ini padahal bukanlah bagian dari agama maka amal tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Misalnya adalah peringatan maulid nabi, hari ibu dan hari kemerdekaan. Peringatan maulid nabi itu terlarang karena hal itu termasuk mengada-adakan ritual yang tidak pernah Allah izinkan di samping menyerupai orang-orang Nasrani dan golongan orang kafir yang lain. Sedangkan hari ibu dan hari kemerdekaan terlarang karena menyerupai orang kafir.” -Demikian penjelasan Lajnah-

Begitu pula perayaan tahun baru termasuk perayaan yang terlarang karena menyerupai perayaan orang kafir.

 

KERUSAKAN KEDUA: Merayakan Tahun Baru Berarti Tasyabbuh (Meniru-niru) Orang Kafir.

Merayakan tahun baru termasuk meniru-niru orang kafir. Dan sejak dulu Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mewanti-wanti bahwa umat ini memang akan mengikuti jejak orang Persia, Romawi, Yahudi dan Nashrani. Kaum muslimin mengikuti mereka baik dalam berpakaian atau pun berhari raya.

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ. فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ. فَقَالَ :وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ .

Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?

Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ. قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ.

“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” 

An Nawawi -rahimahullah- ketika menjelaskan hadits di atas menjelaskan, “Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan dziro’ (hasta) serta lubang dhob (lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashroni. Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan dalam hal kekufuran. Perkataan beliau ini adalah suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat ini.”

Lihatlah apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang beliau katakan memang benar-benar terjadi saat ini. Berbagai model pakaian orang barat diikuti oleh kaum muslimin, sampai pun yang setengah telanjang. Begitu pula berbagai perayaan pun diikuti, termasuk pula perayaan tahun baru ini.

Ingatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir (tasyabbuh).

Beliau bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ.

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” 

Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) ini terjadi dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’).

 

KERUSAKAN KETIGA: Merekayasa Amalan yang Tanpa Tuntunan di Malam Tahun Baru.

Kita sudah ketahui bahwa perayaan tahun baru ini berasal dari orang kafir dan merupakan tradisi mereka. Namun sayangnya di antara orang-orang jahil ada yang mensyari’atkan amalan-amalan tertentu pada malam pergantian tahun. “Daripada waktu kaum muslimin sia-sia, mending malam tahun baru kita isi dengan dzikir berjama’ah di masjid. Itu tentu lebih manfaat daripada menunggu pergantian tahun tanpa ada manfaatnya”, demikian ungkapan sebagian orang. Ini sungguh aneh. Pensyariatan semacam ini berarti melakukan suatu amalan yang tanpa tuntunan. Perayaan tahun baru sendiri adalah bukan perayaan atau ritual kaum muslimin, lantas kenapa harus disyari’atkan amalan tertentu ketika itu? Apalagi menunggu pergantian tahun pun akan mengakibatkan meninggalkan berbagai kewajiban sebagaimana nanti akan kami utarakan.

Jika ada yang mengatakan, “Daripada menunggu tahun baru diisi dengan hal yang tidak bermanfaat, mending diisi dengan dzikir. Yang penting kan niat kita baik.”

Maka cukup kami sanggah niat baik semacam ini dengan perkataan Ibnu Mas’ud ketika dia melihat orang-orang yang berdzikir, namun tidak sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya ini mengatakan pada Ibnu Mas’ud:

وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ.

Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”

Ibnu Mas’ud lantas berkata:

وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ.

Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya.

Jadi dalam melakukan suatu amalan, niat baik semata tidaklah cukup. Kita harus juga mengikuti contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baru amalan tersebut bisa diterima di sisi Allah.

 

KERUSAKAN KEEMPAT: Terjerumus dalam Keharaman dengan Mengucapkan Selamat Tahun Baru.

Kita telah ketahui bersama bahwa tahun baru adalah syiar orang kafir dan bukanlah syiar kaum muslimin. Jadi, tidak pantas seorang muslim memberi selamat dalam syiar orang kafir seperti ini. Bahkan hal ini tidak dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’).

Ibnul Qoyyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah mengatakan, “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.

Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”

 

KERUSAKAN KELIMA: Meninggalkan Perkara Wajib yaitu Shalat Lima Waktu.

Betapa banyak kita saksikan, karena begadang semalam suntuk untuk menunggu detik-detik pergantian tahun, bahkan begadang seperti ini diteruskan lagi hingga jam 1, jam 2 malam atau bahkan hingga pagi hari, kebanyakan orang yang begadang seperti ini luput dari shalat Shubuh yang kita sudah sepakat tentang wajibnya. Di antara mereka ada yang tidak mengerjakan shalat Shubuh sama sekali karena sudah kelelahan di pagi hari. Akhirnya, mereka tidur hingga pertengahan siang dan berlalulah kewajiban tadi tanpa ditunaikan sama sekali. Na’udzu billahi min dzalik.

Ketahuilah bahwa meninggalkan satu saja dari shalat lima waktu bukanlah perkara sepele. Bahkan meningalkannya para ulama sepakat bahwa itu termasuk dosa besar.

Ibnul Qoyyim -rahimahullah- mengatakan, “Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja termasuk dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”

Adz Dzahabi -rahimahullah- juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengancam dengan kekafiran bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat lima waktu. Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ.

Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”

Oleh karenanya, seorang muslim tidak sepantasnya merayakan tahun baru sehingga membuat dirinya terjerumus dalam dosa besar.

Dengan merayakan tahun baru, seseorang dapat pula terluput dari amalan yang utama yaitu shalat malam. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ.

Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.”

Shalat malam adalah sebaik-baik shalat dan shalat yang biasa digemari oleh orang-orang sholih. Seseorang pun bisa mendapatkan keutamaan karena bertemu dengan waktu yang mustajab untuk berdo’a yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Sungguh sia-sia jika seseorang mendapati malam tersebut namun ia menyia-nyiakannya. Melalaikan shalat malam disebabkan mengikuti budaya orang barat, sungguh adalah kerugian yang sangat besar.

 

KERUSAKAN KEENAM: Begadang Tanpa Ada Hajat.

Begadang tanpa ada kepentingan yang syar’i dibenci oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk di sini adalah menunggu detik-detik pergantian tahun yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.”

Ibnu Baththol menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah shalat ‘Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh berjama’ah. ‘Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?!”

Apalagi dengan begadang, ini sampai melalaikan dari sesuatu yang lebih wajib (yaitu shalat Shubuh)?!

 

KERUSAKAN KETUJUH: Terjerumus dalam Zina.

Jika kita lihat pada tingkah laku muda-mudi saat ini, perayaan tahun baru pada mereka tidaklah lepas dari ikhtilath (campur baur antara pria dan wanita) dan berkholwat (berdua-duan), bahkan mungkin lebih parah dari itu yaitu sampai terjerumus dalam zina dengan kemaluan. Inilah yang sering terjadi di malam tersebut dengan menerjang berbagai larangan Allah dalam bergaul dengan lawan jenis. Inilah yang terjadi di malam pergantian tahun dan ini riil terjadi di kalangan muda-mudi. Padahal dengan melakukan seperti pandangan, tangan dan bahkan kemaluan telah berzina. Ini berarti melakukan suatu yang haram.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ.

Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.”

 

KERUSAKAN KEDELAPAN: Mengganggu Kaum Muslimin.

Merayakan tahun baru banyak diramaikan dengan suara mercon, petasan, terompet atau suara bising lainnya. Ketahuilah ini semua adalah suatu kemungkaran karena mengganggu muslim lainnya, bahkan sangat mengganggu orang-orang yang butuh istirahat seperti orang yang lagi sakit. Padahal mengganggu muslim lainnya adalah terlarang sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ.

Seorang muslim adalah seseorang yang lisan dan tangannya tidak mengganggu orang lain.”

Ibnu Baththol mengatakan, “Yang dimaksud dengan hadits ini adalah dorongan agar seorang muslim tidak menyakiti kaum muslimin lainnya dengan lisan, tangan dan seluruh bentuk menyakiti lainnya. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang baik adalah orang yang tidak menyakiti walaupun itu hanya menyakiti seekor semut”.” Perhatikanlah perkataan yang sangat bagus dari Al Hasan Al Basri. Seekor semut yang kecil saja dilarang disakiti, lantas bagaimana dengan manusia yang punya akal dan perasaan disakiti dengan suara bising atau mungkin lebih dari itu?!

 

KERUSAKAN KESEMBILAN: Meniru Perbuatan Setan dengan Melakukan Pemborosan.

Perayaan malam tahun baru adalah pemborosan besar-besaran hanya dalam waktu satu malam. Jika kita perkirakan setiap orang menghabiskan uang pada malam tahun baru sebesar Rp.1000 untuk membeli mercon dan segala hal yang memeriahkan perayaan tersebut, lalu yang merayakan tahun baru sekitar 10 juta penduduk Indonesia, maka hitunglah berapa jumlah uang yang dihambur-hamburkan dalam waktu semalam? Itu baru perkiraan setiap orang menghabiskan Rp. 1000, bagaimana jika lebih dari itu?! Masya Allah sangat banyak sekali jumlah uang yang dibuang sia-sia. Itulah harta yang dihamburkan sia-sia dalam waktu semalam untuk membeli petasan, kembang api, mercon, atau untuk menyelenggarakan pentas musik, dsb. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman:

وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ.

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (Qs. Al Isro’: 26-27)

Ibnu Katsir mengatakan, “Allah ingin membuat manusia menjauh sikap boros dengan mengatakan: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” Dikatakan demikian karena orang yang bersikap boros menyerupai setan dalam hal ini.

Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah menginfakkan sesuatu bukan pada jalan yang benar.” Mujahid mengatakan, “Seandainya seseorang menginfakkan seluruh hartanya dalam jalan yang benar, itu bukanlah tabdzir (pemborosan). Namun jika seseorang menginfakkan satu mud saja (ukuran telapak tangan) pada jalan yang keliru, itulah yang dinamakan tabdzir (pemborosan).” Qotadah mengatakan, “Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.”

 

KERUSAKAN KESEPULUH: Menyia-nyiakan Waktu yang Begitu Berharga.

Merayakan tahun baru termasuk membuang-buang waktu. Padahal waktu sangatlah kita butuhkan untuk hal yang bermanfaat dan bukan untuk hal yang sia-sia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi nasehat mengenai tanda kebaikan Islam seseorang:

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ.

“Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.” 

Ingatlah bahwa membuang-buang waktu itu hampir sama dengan kematian yaitu sama-sama memiliki sesuatu yang hilang. Namun sebenarnya membuang-buang waktu masih lebih jelek dari kematian.

Semoga kita merenungkan perkataan Ibnul Qoyyim, “(Ketahuilah bahwa) menyia-nyiakan waktu lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan waktu akan memutuskanmu (membuatmu lalai) dari Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.

Seharusnya seseorang bersyukur kepada Allah dengan nikmat waktu yang telah Dia berikan. Mensyukuri nikmat waktu bukanlah dengan merayakan tahun baru. Namun mensyukuri nikmat waktu adalah dengan melakukan ketaatan dan ibadah kepada Allah. Itulah hakekat syukur yang sebenarnya. Orang-orang yang menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah cela. Allah Ta’ala berfirman:

أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُم مَّا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَن تَذَكَّرَ وَجَاءكُمُ النَّذِيرُ.

“Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?” (Qs. Fathir: 37).

Qotadah mengatakan, “Beramallah karena umur yang panjang itu akan sebagai dalil yang bisa menjatuhkanmu. Marilah kita berlindung kepada Allah dari menyia-nyiakan umur yang panjang untuk hal yang sia-sia.”

Inilah di antara beberapa kerusakan dalam perayaan tahun baru. Sebenarnya masih banyak kerusakan lainnya yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu dalam tulisan ini karena saking banyaknya. Seorang muslim tentu akan berpikir seribu kali sebelum melangkah karena sia-sianya merayakan tahun baru. Jika ingin menjadi baik di tahun mendatang bukanlah dengan merayakannya. Seseorang menjadi baik tentulah dengan banyak bersyukur atas nikmat waktu yang Allah berikan. Bersyukur yang sebenarnya adalah dengan melakukan ketaatan kepada Allah, bukan dengan berbuat maksiat dan bukan dengan membuang-buang waktu dengan sia-sia. Lalu yang harus kita pikirkan lagi adalah apakah hari ini kita lebih baik dari hari kemarin? Pikirkanlah apakah hari ini iman kita sudah semakin meningkat ataukah semakin anjlok! Itulah yang harus direnungkan seorang muslim setiap kali bergulirnya waktu.

 

PERSIS AJAK UMAT ISLAM TIDAK RAYAKAN TAHUN BARU:

Organisasi masyarakat Persatuan Islam (Persis) mengajak umat muslim memanfaatkan waktu dengan tidak merayakan tahun baru masehi dengan hura-hura. Bagi Islam setiap pergantian waktu harus dipertanggung jawabkan. "Bagi setiap muslim, pergantian waktu satu detik pun adalah suatu peristiwa besar. Apalagi pergantian masa satu tahun," kata Ketua Umum Persis KH Jeje Zainuddin.

KH Jeje menyampaikan, tidak ada pergantian waktu yang istimewa menurut syariat Islam yang harus dirayakan. Melainkan pergantian waktu itu harus ditafakuri oleh masing-masing umat Islam sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT. "Wajib bersyukur jika waktu yang berlalu itu dilewati dengan amal terbaik kita dan patut disesali jika waktu berlalu dengan kesia-siaan," katanya. Sebab kata KH Jeje satu detik saja waktu dibiarkan berlalu bagitu saja tanpa peningkatan amal, maka kita akan jadi manusia yang rugi karena dengan mempertanggung jawabkannya di pengadilan ilahi dengan penuh cela. Untuk itu KH Jeje mengajak kepada seluruh umat Islam agar tidak melakukan aktivitas yang tidak perlu. Namun, gunakanlah waktu yang dapat meningkatkan kualitas iman dan taqwa. "Maka kaum Muslimin hendaknya mengakhiri dan memulai setiap waktu dengan bermuhasabah," katanya.

 

SUMBER PENULISAN:

https://www.sigabah.com/jadikan-tahun-baru-hari-biasa/

https://rumaysho.com/740-10-kerusakan-dalam-perayaan-tahun-baru.html

https://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2019/12/31/69075/persis-ajak-umat-islam-tidak-rayakan-tahun-baru/


SEGALA PERISTIWA YANG TELAH DILEWATI, YANG BAIK MAUPUN BURUK MEMBERSAMAI SELAMA HIDUP KITA. SESUATU YANG DIANGGAP KEBURUKAN ADALAH BUKAN UNTUK DISESALI, BUKAN UNTUK DITANGISI, TAPI UNTUK DIPERBAIKI SEKIRANYA BERSUMBER DARI PERILAKU TAK BAIK, SEHINGGA TAK DIULANGI KEMBALI DI MASA MENDATANG. PERGANTIAN WAKTU SESUNGGUHNYA BUKAN UNTUK DIPERINGATI NAMUN SEBAGAI PERINGATAN BAHWA JATAH HIDUP KITA DI DUNIA SEMAKIN BERKURANG SEHINGGA KITA HARUS TERMOTIVASI UNTUK MEMANFAATKAN KESEMPATAN SEKECIL APAPUN UNTUK MEMPERBAIKI DIRI DAN BERAMAL SHALIH TANPA HENTI. KITA JUGA MESTI BERSYUKUR, KARENA MASIH MAMPU BERIBADAH, MELAKUKAN BERAKTIVITAS, BEKERJA DALAM KEADAAN SEHAT. OLEH KARENA ITU, ATAS NIKMAT YANG TELAH KITA DAPATKAN, HARUS DIMANFAATKAN SEBAIK MUNGKIN.

Al-Ustadz Faqih Aulia (LITKA PC Pemuda PERSIS Batununggal PD Kota Bandung).

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama