TINJAUAN HARI NATAL DALAM PANDANGAN ISLAM

MUQADDIMAH:

Kata Natal berasal dari bahasa Latin yang berarti lahir akan tetapi secara istilah mengartikan upacara umat kristiani untuk memperingati hari kelahiran Isa Al Masih. Perayaan Natal sendiri dimulai pada tahun 325-254 Sebelum Masehi yang dilakukan oleh Paus Liberus yang kemudian ditetapkan pada tanggal 25 Desember yang juga bersamaan dengan peristiwa penyembahan Dewa Matahari dimana penyembahan Dewa Matahari secara kebetulan juga diperingati pada tanggal 6 Januari, 28 April, 18 Mei dan juga 18 Oktober yang kemudian disahkan pada tanggal 25 Desember.

 

Sementara dalam ajaran Islam meyakini jika Yesus merupakan Nabi yang dikenal dengan Nabi Isa AS. Tanggal kelahiran Nabi Isa bagi umat Kristen bertentangan dengan Al Quran yang kita imani. Lalu, seperti apa arti hari Natal menurut Islam beserta pandangannya? Berikut kami berikan ulasan selengkapnya untuk anda.

 

فَحَمَلَتْهُ فَانْتَبَذَتْ بِهِ مَكَانًا قَصِيًّا. فَأَجَاءَهَا الْمَخَاضُ إِلَى جِذْعِ النَّخْلَةِ قَالَتْ يَا لَيْتَنِي مِتُّ قَبْلَ هَذَا وَكُنْتُ نَسْيًا مَنْسِيًّا. فَنَادَاهَا مِنْ تَحْتِهَا أَلا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيًّا. وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا. فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا.

Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma,ia berkata, "Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan.” Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah, “Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu; maka makan, minum, dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah, "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini.” (Q.S. Maryam {19}: 22-26)

 

Keterangan:

Dari ayat Al Quran diatas dijelaskan jika Isa Al Masih dilahirkan oleh Maryam pada saat musim panas di saat pohon pohon kurma sedang berbuah dengan lebat dan kemudian makan buah kurma tersebut untuk mereka berdua.

 

Dalam beberapa ayat diatas memperlihatkan jika kelahiran dari Nabi Isa AS bukan pada tanggal 25 Desember namun pada musim gugur kurma sebab Maryam mengambil kurma untuk makanan mereka berdua.

 

Menurut dasar hukum Islam, apa yang menjadi alasan umat Kristen meyakini jika tanggal 25 Desember merupakan kelahiran Nabi Isa AS adalah karena pada tanggal 25 Desember merupakan hari lahirnya Dewa Matahari dan pada hari tersebut, penduduk Romawi sedang menggelar pesta meriah dengan banyak makanan dan minuman.

 

Rakyat Romawi tidak ingin masuk ke dalam agama Katolik sebab tidak ingin kehilangan pesta pada tanggal 25 Desember meskipun Kaisar mereka sudah masuk ke agama Katolik. Oleh karena itu Kaisar membuat siasat dengan tujuan agar rakyat Romawi mau masuk ke dalam agama Katolik dengan mengumumkan jika tanggal 25 Desember akan terus diadakan karena merupakan kelahiran Isa Al Masih tersebut.

 

Dengan pengumuman tersebut, maka rakyat Romawi membuat sebuah kesimpulan jika Nabi Isa Al Masih merupakan putar Dewa Matahari sehingga menurut Islam, Natal yang dirayakan umat Kristen bukanlah untuk merayakan kelahiran Nabi Isa AS akan tetapi kelahiran dari Dewa Matahari. Pada kenyataannya, fungsi agama Islam sendiri tidak mengenal dengan istilah Dewa dan maka benarlah keputusan para ulama yang menyatakan haram untuk mengucapkan selamat Natal dan juga fatwa MUI yang menyatakan haram untuk mengucapkan selamat Natal beserta dengan atribut Natal.

 

HUKUM UCAPAN SELAMAT NATAL BAGI MUSLIM:

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang multikultural, sebab ia terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan. Namun, ada kalanya kemajemukan ini menimbulkan polemik tertentu pada masyarakat. Di antaranya adalah terkait hukum ucapan selamat natal bagi umat Islam yang diucapkan kepada umat Nasrani (kristiani). Polemik ini hampir terjadi di setiap tahun. Berhubung kasus ini erat kaitannya dengan istinbath al-hukmi, maka penulis akan mengulas hukum ucapan selamat natal dengan menggunakan perspektif fiqih yang akan dikaitkan juga dengan akidah dan akhlak.

 

Kita tidak akan menemukan dalil dari al-Qur’an maupun as-Sunnah secara spesifik untuk dapat menyimpulkan hukum ucapan selamat Natal. Sebab, di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tidak disebutkan secara spesifik terkait dengan kebolehan atau keharaman mengucapkan selamat natal. Polemik ini terjadi di era kontemporer, dimana ia muncul karena keinginan sebagian umat Islam yang hendak mengekspresikan sikap toleransinya kepada non-Muslim.

 

Maka, karena ia tidak ditemukan di dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah yang secara tegas menghukuminya, kasus ini masuk dalam kategori Ijtihadi. Hakikatnya, jumhur ulama (mayoritas ulama) dari 4 madzhab besar dalam ilmu Fiqih (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali) telah sepakat akan keharaman pengucapan selamat Natal kepada umat Nasrani. Namun, ulama-ulama kontemporer kembali mengulas hukum tersebut dikarenakan kasus ini masuk dalam kategori Ijtihadi.

 

Perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama kontemporer, disebabkan oleh Ijtihad mereka dalam memahami generalitas (keumuman) ayat atau Hadits yang kiranya terkait dengan kasus ini. Contohnya perbedaan sikap yang diambil oleh para ulama kontemporer seperti Ibn Baz, Ibnu ‘Utsaimin, Ali Jum’ah, Yusuf al-Qardhawi, Habib Ali Aljufri, Buya Hamka, dan ulama kontemporer lainnya.

 

Para ulama yang memilih sikap untuk membolehkan ucapan selamat Natal bagi umat Nasrani mendasari hukumnya pada firman Allah di dalam surat al-Mumtahanah ayat 8:

 

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ.

Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.  (Q.S. al-Mumtahanah [60]: 8)

 

Pada ayat tersebut, Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan bahwa perbuatan baik (Ihsan) kepada siapa saja itu tidak dilarang, selama mereka tidak memerangi dan mengusirnya dari negerinya. Sedangkan, mengucapkan selamat natal merupakan salah satu bentuk perbuatan baik kepada orang non-muslim, sehingga perbuatan tersebut diperbolehkan.

 

Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

أَنَّ غُلَامًا مِنَ اليَهُودِ كَانَ يَخدُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَمَرِضَ، فَأَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ، فَقَعَدَ عِندَ رَأسِهِ، فَقَالَ: أَسلِم. فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ وَهُوَ عِندَ رَأسِهِ، فَقَالَ لَه: أَطِع أَبَا القَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ. فَأَسلَمَ، فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ: الحَمدُ لِلَّهِ الذِي أَنقَذَهُ مِنَ النَّارِ.

“Dahulu ada seorang anak Yahudi yang senantiasa melayani (membantu) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ia sakit. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya untuk menjenguknya, lalu beliau duduk di dekat kepalanya, kemudian berkata: ‘Masuk Islam-lah!’Maka anak Yahudi itu melihat ke arah ayahnya yang ada di dekatnya, maka ayahnya berkata, ‘Taatilah Abul Qasim (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Maka anak itu pun masuk Islam. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar seraya bersabda, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka.’” (HR. al-Bukhari no. 1356, 5657)

 

Pada hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi teladan kepada umatnya untuk berbuat baik kepada non-Muslim. Sehingga mengucapkan selamat Natal yang merupakan salah satu bentuk perbuatan baik kepada non-muslim pun diperbolehkan, walaupun bukan dalam keadaan darurat. Ucapan tersebut diperbolehkan selama tidak mengganggu Akidahnya terhadap Allah dan Rasul-Nya serta tidak mendukung keyakinan umat Nasrani tentang kebenaran peristiwa natal.

 

Ulama kontemporer yang mendukung pendapat ini diantaranya Yusuf al-Qardhawi, Musthafa Zarqa, Abdullah bin Bayyah, Ali Jum’ah, Habib Ali Aljufri, Quraish Shihab, Abdurrahman Wahid, Said Aqil Sirodj, dan lain sebagainya.

 

Para ulama yang memilih sikap untuk mengharamkan ucapan selamat natal bagi umat Nasrani mendasari hukumnya pada firman Allah subhanahu wa ta’ala di dalam surat al-Furqan ayat 72:

 

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا.

“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (Q.S. al-Furqan [25]: 72)

 

Pada ayat tersebut, Allah subhanahu wa ta’ala menjanjikan bagi orang yang tidak memberikan kesaksian palsu dengan martabat yang tinggi di surga. Sedangkan, apabila seorang muslim mengucapkan selamat natal berarti dia telah memberikan kesaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat Nasrani tentang hari Natal (kelahiran Yesus Kristus, salah satu Tuhannya umat Nasrani). Konsekuensinya adalah ia tidak akan mendapatkan martabat yang tinggi di surga. Dengan demikian, mengucapkan selamat natal kepada umat kristiani tidak diperkenankan.

 

Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ.

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian kaum tersebut.” (HR. Abu Daud, no. 4031).

 

Pada hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewanti-wanti umat Islam terhadap perbuatan tasyabbuh terhadap non-muslim. Dalam kaidah Bahasa Arab (tepatnya adalah ilmu Shorof), kata tasyabbuh berasal dari wazan Tafa’ul, yang bermakna muthawa’ah (menurut), takalluf (memaksa), dan juga tadarruj (bertahap atau parsial) dalam melakukan suatu perbuatan. Sehingga, dari wazan ini kata tasyabbuh memiliki faidah perbuatan yang dilakukan sedikit demi sedikit, yang awalnya barangkali ia merasa terpaksa/ikut-ikutan dengan perbuatan tersebut sampai kemudian ia menurut dan terbiasa mengerjakannya.

 

Dengan kata lain, siapa saja menyerupai suatu kaum maka ia lama kelamaan akan tunduk kepada mereka. Oleh sebab itu, hendaknya seorang muslim tidak bermudah-mudahan dalam melakukan perbuatan yang menyerupai orang non-muslim, sebab ia merupakan pintu menuju ketundukan kepada mereka. Sehingga, sikap tegas dengan kaidah saddud dzari’ah (menutup pintu keburukan) merupakan suatu kaidah yang tepat dalam kasus ini agar akidah kita tidak tergoyahkan akibat ikut-ikutan mengucapkan selamat Natal sebagaimana yang dilakukan oleh umat Nasrani.

 

Dengan demikian, umat Islam yang mengucapkan selamat Natal kepada umat Nasrani berarti telah melakukan tasyabbuh sekaligus memberikan kesaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat kristiani tentang kebenaran peristiwa natal. Sehingga, kasus ini masuk juga ke dalam ranah akidah yang mengkompromikan antara tauhid dengan syirik. Atas dasar inilah hukum ucapan tersebut diharamkan secara tegas.

 

Ulama kontemporer yang mendukung pendapat ini diantaranya Ibn Baz, Ibnu Utsaimin, Buya Hamka (Abdul Malik Karim Amrullah), Buya Yahya (Habib Yahya Zainul Ma’arif), Ibrahim bin Ja’far, Ja’far At-Thalhawi, Khalid Basalamah, Abdul Somad, Adi Hidayat, dan lain sebagainya.

 

Dari pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang hukum ucapan selamat Natal. Ada yang mengharamkan, ada pula yang membolehkan. Maka, perbedaan semacam ini hendaknya tidak boleh menjadikan internal umat Islam di Indonesia semakin terpecah hanya diakibatkan oleh perbedaan pemilihan sikap dalam kasus ini.

 

Apabila kita memilih sikap untuk membolehkannya, pastikan bahwa pembolehan tersebut demi menjaga kedamaian dan kerukunan antar umat beragama, dengan tetap menjaga akidah kita sebagai seorang Muslim. Jangan sampai karena ada saudara kita yang mengambil sikap mengharamkannya, kita serta merta langsung menjustifikasi ia sebagai orang yang intoleransi.

 

Apabila kita memilih sikap untuk mengharamkannya, pastikan bahwa pengharaman tersebut merupakan bentuk ghirah kita dalam menjaga prinsip akidah umat Islam yang tegas namun tetap menjaga nilai-nilai toleransi antar umat beragama dengan bentuk yang berbeda. Jangan sampai karena ada saudara kita yang mengambil sikap membolehkannya, kita bermudah-mudahan dalam menjustifikasi ia sebagai orang kafir.

 

Sikap apapun yang dipilih, mari senantiasa kita menjaga persatuan umat Islam diantara perbedaan yang ada. Pada akhirnya nanti kita akan mempertanggungjawabkan dihadapan Allah subhanahu wa ta’ala pada yaumul hisab (hari kiamat).

 

Penulis lebih memilih sikap tidak memperkenankan mengucapkan ucapan selamat natal kepada umat Nasrani dengan tetap menghormati para ulama yang membolehkannya. Sikap tersebut penulis pilih berlandaskan kaidah saddud dzari’ah terhadap madharat yang akan terjadi apabila memilih sikap membolehkannya. Sebab dalam syariat Islam ada kaidah Dar’u al-Mafasid Muqoddamun ‘ala Jalbi al-Mashalih (Menolak mudharat lebih diprioritaskan dari mengambil manfaat). Madharat dari pembolehan pengucapan selamat Natal ini adalah adanya kompromi antara tauhid dengan syirik serta kesaksian palsu dan pembenaran keyakinan umat kristiani tentang peristiwa Natal. Kaum muslimin di Indonesia tidak mengucapkannya pun, tidak akan terganggu dikarenakan sikap statis tersebut. Sebab umat Islam masih akan tetap berbuat baik dan mampu bertoleransi kepada mereka walau dalam aspek yang lain.

 

SELAMAT NATAL BAGI MUSLIM:

Bagaimana hukum mengucapkan selamat natal pada rekan atau teman yang beragama Nashrani? Apakah boleh seorang muslim mengucapkan selamat natal?

 

MUSLIM: AKU TIDAK MAU MENGUCAPKAN SELAMAT NATAL, ITU PRINSIPKU!

Ada diskusi menarik sebagai ilustrasi bahwa mengucapkan selamat natal tidaklah pantas bagi seorang muslim walau hanya sekedar kata-kata di lisan.

 

(Muslimah= Muslim, Natali= Nashrani)

Natali: Mengapa engkau tidak mengucapkan selamat natal padaku?

Muslimah: Ooh maaf, untuk yang satu ini aku tidak bisa. Agama kami mengajarkan berbuat baik terhadap sesama termasuk pada non-muslim. Namun jika ada sangkut paut dengan urusan agama, maka prinsip kami, “Lakum diinukum wa liyadiin”, bagi kalian agama kalian, bagi kami agama kami. Monggo kalian berhari raya, kami tidak mau turut campur. Demikian toleransi antar beragama dalam agama kami.

Natali: Kenapa tidak mau ucapkan selamat? Bukankah itu hanya sekedar kata-kata? Teman muslimku yang lain mengucapkannya padaku.

Muslimah: Mungkin mereka belum tahu kalau itu tidak boleh. Natali, coba seandainya saya suruh kamu mengucapkan “Dua kalimat syahadat”, asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadar rasulullah, engkau mau?

Natali: Oh tidak, saya tidak bisa mengucapkannya. Itu akan mengganggu kepercayaan saya.

Muslimah: Kenapa gak mau? Bukankah itu hanya sekedar kata-kata? Ayo, ucapkanlah. Sekali saja.

Natali: Baik, sekarang, saya mengerti.

 

Inilah logika yang sederhana namun cerdas cukup menggambarkan kepada kita bagaimana seharusnya hubungan antara kedua umat yang berbeda keyakinan. Sementara hari ini banyak orang yang dianggap “Tokoh” masyarakat level nasional/lokal dari kalangan muslim tampil sok humanis, pluralis, wisdom, menjadi pahlawan, pemimpin hebat kemudian mengucapkan “Selamat Natal” kepada umat Nashrani tanpa disadari hal tersebut telah merusak akidah dirinya dan umat Islam. Tentu ini menabrak tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Sosok muslim yang kehilangan jati diri, “Muslim KTP” yang eksis terlepas dari pakem dan manhaj hidup yang digariskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Selamat” artinya terhindar dari bencana, aman sentosa; sejahtera tidak kurang suatu apa; sehat; tidak mendapat gangguan, kerusakan dsb; beruntung; tercapai maksudnya; tidak gagal. Dengan begitu ucapan selamat artinya adalah doa (ucapan, pernyataan, dsb) yang mengandung harapan supaya sejahtera, tidak kurang suatu apa pun, beruntung, tercapai maksudnya, dsb.

 

Adapun natal adalah sebuah perayaan kelahiran Yesus Kristus (Nabi Isa Al Masih ‘alaihis salam) yang dalam pandangan umat Nashrani saat ini ia adalah anak Tuhan dan Tuhan anak serta meyakini ajaran Trinitas. Lalu bagaimana bisa seorang muslim yang bertolak belakang dan jelas berbeda pemahamannya mengenai Nabi Isa mendoakan kaum Kristen keselamatan atas apa yang mereka pahami tadi? Padahal dengan sangat jelas Allah menyatakan mereka sebagai orang kafir.

 

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ. لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ. أَفَلَا يَتُوبُونَ إِلَى اللَّهِ وَيَسْتَغْفِرُونَهُ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ. مَا الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ وَأُمُّهُ صِدِّيقَةٌ كَانَا يَأْكُلَانِ الطَّعَامَ انْظُرْ كَيْفَ نُبَيِّنُ لَهُمُ الْآَيَاتِ ثُمَّ انْظُرْ أَنَّى يُؤْفَكُونَ.

Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Al Masih putera Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan. Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (ahli kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari memperhatikan ayat-ayat Kami itu).” (QS. Al Maidah: 72-75).

 

Jadi, sekiranya ada umat muslim yang berkata, “Selamat Hari Natal” berarti dia menganggap, bahwa Yesus itu memang pernah lahir pada tanggal 25 Desember, sebagai anak Tuhan. Dan jelaslah hal ini haram. Karena telah merusak akidah Islamnya.

 

ALASAN ENGGAN MENGUCAPKAN SELAMAT NATAL:

PERTAMA: Natal bukan perayaan umat Islam.

Hari besar Islam hanyalah dua yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Perayaan natal, kelahiran Isa -menurut Nashrani- bukan perayaan umat Islam. Dan Islam tidak pernah menjadikan hari lahir nabi sebagai hari besar. Anas bin Malik mengatakan:

 

كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى.

Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, ‘Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha.’” (HR. An Nasa’i no. 1557. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).

 

KEDUA: Sejarah natal yang sebenarnya berasal dari ritual penyembahan berhala.

Perintah untuk menyelenggarakan peringatan Natal tidak ada dalam Bibel dan Yesus tidak pernah memberikan contoh ataupun memerintahkan pada muridnya untuk menyelenggarakan peringatan kelahirannya. Perayaan Natal baru masuk dalam ajaran Kristen katolik pada abad ke-4 M. Dan peringatan ini pun berasal dari upacara adat masyarakat penyembah berhala. Di mana kita ketahui bahwa abad ke-1 sampai abad ke-4 M dunia masih dikuasai oleh imperium Romawi yang paganis politheisme. Ketika Konstantin dan rakyat Romawi menjadi penganut agama Katolik, mereka tidak mampu meninggalkan adat/budaya pangannya, apalagi terhadap pesta rakyat untuk memperingati hari Sunday (sun=matahari: day=hari) yaitu kelahiran Dewa Matahari tanggal 25 Desember. Jika natal berasal dari ritual penyembahan berhala, apakah pantas seorang muslim yang memiliki prinsip tauhid menyetujui perayaan tersebut dengan ucapkan selamat?

 

KETIGA: Mengucapkan selamat natal termasuk loyal pada orang kafir.

Islam memiliki prinsip wala dan baro’, yaitu loyal pada orang muslim dan tidak mendukung orang kafir. Termasuk bentuk dukungan dan loyal pada orang kafir adalah mengucapkan selamat natal. Inilah yang dikatakan oleh para ulama. Larangan loyal pada orang kafir menjadi prinsip Nabi Ibrahim sebagaimana disebutkan dalam ayat:

 

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَاء مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاء أَبَداً حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ.

Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (QS. Al Mumtahanah: 4)

 

Bahkan Ibnu Hazm telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa loyal (wala’) pada orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan. (Al Muhalla, 11: 138).

 

KEEMPAT: Mengucapkan selamat natal haram berdasarkan ijma’ atau kata sepakat ulama.

Ibnul Qayyim berkata, “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.”

 

Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.

 

Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.” (Ahkam Ahli Dzimmah, 1: 441)

 

KELIMA: Muslim diperintahkan menjauhi perayaan non-muslim, bukan malah memeriahkan dan mengucapkan selamat.

 

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak boleh kaum muslimin menghadiri perayaan non-muslim dengan sepakat para ulama. Hal ini telah ditegaskan oleh para fuqoha dalam kitab-kitab mereka. Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang shahih dari ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

 

لا تدخلوا على المشركين في كنائسهم يوم عيدهم فإن السخطة تنزل عليهم.

Janganlah kalian masuk pada non-muslim di gereja-gereja mereka saat perayaan mereka. Karena saat itu sedang turun murka Allah.”

 

Umar berkata:

اجتنبوا أعداء الله في أعيادهم.

Jauhilah musuh-musuh Allah di perayaan mereka.”

 

Demikian apa yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah, 1: 723-724.

 

KEENAM: Tidak boleh mendahulukan mengucapkan salam pada non-muslim.

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ.

Janganlah kalian mendahului Yahudi dan Nashara dalam salam (ucapan selamat).” (HR. Muslim no. 2167). Mengucapkan selamat natal itu sama halnya dengan mengucapkan salam. Karena salam itu berarti mendoakan selamat. Hadits ini sudah secara jelas melarang mengucapkan selamat natal pada Nashrani.

 

SUMBER PENULISAN:

https://dalamislam.com/dasar-islam/sejarah-natal-menurut-islam

https://dppai.uii.ac.id/al-rasikh-hukum-ucapan-natal-saiful-aziz-albantany/

https://rumaysho.com/5275-selamat-natal-bagi-muslim.html

 

“HANYA ILUSTRASI SEDERHANA… TERKAIT BANYAK ARGUMENT YANG BERSELIWERAN SOAL ‘BOLEH-TIDAKNYA’ KAUM MUSLIM BERPARTISIPASI NATAL NASHRANI… ‘MENGAPA BOBOTOH PERSIB TIDAK MAU MEMAKAI BAJU ORANGE (WARNA THE JAK MANIA)???’ MUDAH-MUDAHAN DIFAHAMI TANPA MENGGUNAKAN DALIL-DALIL YANG UJUNG-UJUNGNYA HANYA DIJADIKAN DALIH”. (UST. H. EKA PERMANA HABIBILAH)

 

Al-Ustadz Faqih Aulia (LITKA PC Pemuda PERSIS Batununggal Kota Bandung).

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama