BULAN DIAMPUNI DOSA

LAFADZ AL-HADIS

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ [وفي رواية]: مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

“Siapa saja yang berpuasa Ramadhan dengan dasar iman, dan berharap pahala dan ridha Allah, maka dosanya yang lalu pasti diampuni.” [dalam riwayat lain]: “Siapa saja yang melakukan qiyam [di malam hari] Ramadhan dengan dasar iman, dan berharap pahala dan ridha Allah, maka maka dosanya yang lalu pasti diampuni.” 

TAKHRIJ AL-HADIS

1.        Al-Bukhariy, Shahih al-Bukhariy: Bab Puasa Ramadhan karena Mengharap Pahala bagian dari Iman, no. 38.

2.       Muslim, Shahih Muslim: Bab Anjuran Qiyam Ramadhan yakni Tarawih, no. 760.

3.       Abu Dawud, Sunan Abi Dawud: Syahr Romadlon: Bab tentang Ibadah Bulan Ramadhan, 1: 520: 1374.

4.       An-Nasaiy, Sunan an-Nasaiy: Kitab ash-Shiyam: Bab Pahala Barangsiapa yang Ibadah dan Puasa Ramadhan karena Iman dan Mencari Pahala, 4: 157: 2203.

5.       Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah: Kitab ash-Shiyam: Bab Keterangan tentang Keutamaan Ramadhan, 1: 526: 1641.

6.      Ahmad, Musnad Ahmad: Musnad Abi Hurairah, 12: 91: 7170.

7.       Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban: Kitab ash-Shaum: Bab Keutamaan Ramadhan, 8: 218: 3432.

8.      Al-Baihaqiy, as-Sunan ash-Shugra: Bab Keutamaan Bulan Ramadhan baik Puasa ataupun Tarawihnya, 3: 373: 1399.

9.      Ath-Thabraniy, al-Mu’jam al-Ausath, 8: 344: 8821.

10.    Al-Bazzar, Musnad al-Bazzar, 2: 407: 8071.

11.     Abu Ya’la, Musnad Abu Ya’la: Musnad Abi Hurairah, 10: 336: 5930.

12.    Ath-Thayalisiy, Musnad ath-Thayalisiy, 4: 115: 2481.

13.    Ibnu Abi Syaibah, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 2: 420.

14.    Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, 3: 339: 241.

SYARAH AL-HADIS

Keempat belas imam pencatat hadis di atas akhir sanadnya bersumber dari sahabat yang sama yakni Abu Hurairah ra. Adapun dua sanad Imam Al-Bukhariy terkait hadis di atas di antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama:

قَالَ البُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا ابْنُ سَلَامٍ قَالَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

Imam al-Bukhariy berkata: Telah menjelaskan kepada kami Ibn Salam, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Muhammad ibn Fudhail, ia berkata: Telah menjelaskan kepada kami Yahya ibn Sa’id, dari Abi Salamah, dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda, “Barang siapa shaum Ramadhan karena iman dan mengharap pahala diampuni baginya dosa-dosa masa lalu.” HR. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari: Bab Puasa Ramadhan karena Mengharap Pahala bagian dari Iman, 1: 16: 38.

Kedua:

قَالَ البُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَفِظْنَاهُ وَإِنَّمَا حَفِظَ مِنَ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

Imam al-Bukhariy berkata: Telah menjelaskan kepada kami ‘Aliy ibn ‘Abdillah: Telah menjelaskan kepada kami Sufyan, ia berkata: Kami telah menghafal darinya, dia menghafal dari az-Zuhriy, dari Abi Salamah, dari Abi Hurairah ra., dari Nabi Saw., beliau bersabda, “Barang siapa shaum Ramadhan karena iman dan mengharap pahala diampuni baginya dosa-dosa masa lalu. Dan barangsiapa ibadah pada malam Lailatul Qadar karena iman dan mengharap pahala diampuni baginya dosa-dosa masa lalu.” HR. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari: Bab Keutamaan Lailatul Qadar, 3: 45: 2014.

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

“Barang siapa Qiyam Ramadhan karena iman dan mengharap pahala diampuni baginya dosa-dosa masa lalu.” HR. Al-Bukhari.

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

“Barang siapa ibadah pada malam Lailatul Qadar karena iman dan mengharap pahala diampuni baginya dosa-dosa masa lalu.” HR. Al-Bukhari.

فَمَنْ صَامَهُ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنَ الذُّنُوبِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ.

“Maka barangsiapa shaum pada bulan itu karena iman dan mengharap pahala ia keluar (terbebas) dari dosa-dosanya seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya.” HR. Ahmad.

Memperhatikan hadis-hadis di atas, artinya terdapat tiga ibadah Ramadhan yang oleh Nabi Saw. ditekankan untuk imanan wah-tisaban, yakni:

1.        Puasa (shaum)nya.

2.       Qiyam (tarawih)nya.

3.       Ibadah Lail (malam) al-Qadar-nya.

Secara global semua ini isyarat bahwa memang ibadah Ramadhan itu dalam segala aspeknya mesti senantiasa menjaga iman dan keikhlasan dengan hanya mengharap pahala dari Allah ‘Azza wa Jalla.

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaniy menjelaskan:

وَالْمُرَاد بِالْإِيمَانِ الِاعْتِقَاد بِحَقِّ فَرْضِيَّةِ صَوْمِهِ ، وَبِالِاحْتِسَابِ طَلَب الثَّوَابِ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى . وَقَالَ الْخَطَّابِيّ : اِحْتِسَابًا أَيْ عَزِيمَة ، وَهُوَ أَنْ يَصُومَهُ عَلَى مَعْنَى الرَّغْبَة فِي ثَوَابِهِ طَيِّبَةً نَفْسُهُ بِذَلِكَ غَيْرَ مُسْتَثْقِل لِصِيَامِهِ وَلَا مُسْتَطِيل لِأَيَّامِهِ.

“Maksud dari lafadz, “Iman[an]” adalah meyakini kewajiban puasanya [Ramadhan]. Sedangkan maksud lafadz, “Ihtisab[an]” adalah mencari pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Al-Khatthabi berkata, “Ihtisab[an]” maksudnya “Azimah”, yaitu berpuasa dengan konotasi mengharapkan pahala-Nya, dengan jiwa yang bersih terhadapnya, tidak merasa berat menjalankan puasa, dan mengulur-ulur harinya.” (al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Bariy syarah Shahih al-Bukhariy; 6: 138, asy-Syamilah)

Adapun Syaikh al-Munawiy memaparkan:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً: تَصْدِيْقاً بِثَوَابِ اللهِ أَوْ أَنَّهُ حَقٌّ، وَاحْتِسَاباً لأَمْرِ اللهِ بِهِ، طَالِباً الأَجْرَ أَوْ إِرَادَةَ وَجْهِ اللهِ، لاَ لِنَحْوِ رِيَاءَ، فَقَدْ يَفْعَلُ المُكَلَّفُ الشَّيْءَ مُعْتَقِدًا أَنَّهُ صَادِقٌ لَكِنَّهُ لَا يَفْعَلُهُ مُخْلِصاً بَلْ لِنَحْوِ خَوْفٍ أَوْ رِيَاءَ.

“Siapa saja yang puasa Ramadhan dengan “iman[an]”, yaitu membenarkan pahala Allah, bahwa pahala itu benar, dan dengan “ihtisab[an]” semata karena menunaikan perintah Allah, dengan mengharap pahala, atau berharap kepada Allah, bukan untuk tujuan riya’ [ditunjukkan kepada selain Allah]. Sebab, kadang seorang Mukallaf melakukan sesuatu, dia yakin bahwa itu benar, tetapi dia tidak melakukannya dengan ikhlas, namun karena takut atau riya’.” (Syaikh al-Munawiy, Faidh al-Qadir, 3: 406-407; asy-Syamilah)

Imam an-Nawawiy pun menegaskan:

مَعْنَى إِيْمَاناً: تَصْدِيْقاً بِأَنَّهُ حَقٌّ مُقْتَصِدٌ فَضِيْلَتُهُ، وَمَعْنَى اِحْتِسَاباً، أَنَّهُ يُرِيْدُ اللهَ تَعَالَى لاَ يَقْصُدُ رُؤْيَةَ النَّاسِ وَلاَ غَيْرَ ذَلِكَ مِمَّا يُخَالِفُ الإِخْلاَصَ.

“Makna “Iman[an]” adalah membenarkan, bahwa itu memang benar, dengan nilai keutamaan. Sedangkan makna “Ihtisab[an]” adalah dia menginginkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan berharap dilihat manusia, dan bukan yang lain. Sesuatu yang menyalahi keikhlasan.” (an-Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, 15: 42; asy-Syamilah)

Demikian pula al-Hafidz Ibnu Jauziy menerangkan:

قَوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا” أيْ تَصْدِيْقًا بِالمَعْبُوْدِ الآمِرِ لَهُ، وَعِلْمًا بِفَضِيْلَةِ الْقِيَامِ وَوُجُوْبِ الصِّيَامِ، وَخَوْفًا مِنْ عِقَابِ تَرْكِهِ، وَمُحْتَسِبًا جَزِيْلَ أَجْرِهِ، وَهَذِهِ صِفَةُ المُؤْمِنِ.

“Sabda Nabi Sa-Llahu ‘alaihi wa Sallama: “Iman[an]” dan “Ihtisab[an]” maksudnya adalah membenarkan Dzat yang Disembah, yang Maha Memberi Perintah kepadanya, dengan meyakini keutamaan qiyamu lailnya, dan kewajiban puasanya. Takut terhadap siksa-Nya ketika meninggalkannya, serta berharap pahala-Nya yang berlimpah. Inilah sifat orang Mukmin.” [al-Hafidz Ibnu Jauziy, Kasyf al-Musykil fi Hadits as-Shahihain, 1: 912; Asy-Syamilah].

Kalau seseorang mendasari puasanya karena dasar iman, mengharap pahala dan ridho, maka tentu hatinya semakin tenang, lapang dan bahagia. Ia pun akan bersyukur atas nikmat puasa Ramadhan yang ia dapati tahun ini. Hatinya tentu tidak merasa berat dan susah ketika menjalani puasa. Sehingga ia pun terlihat berhati ceria dan berakhlak yang baik. Lihat kitab Ramadhan karya Dr. Muhammad bin Ibrahim Al Hamad, hal. 18.

Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud karena iman adalah membenarkan wajibnya puasa dan ganjaran dari Allah ketika seseorang berpuasa dan melaksanakan qiyam ramadhan. Sedangkan yang dimaksud “ihtisaban” adalah menginginkan pahala Allah dengan puasa tersebut dan senantiasa mengharap wajah-Nya.” (Syarh Al Bukhari libni Baththol, 7: 22).

Terkait pengampunan dosa sebab serangkaian ibadah Ramadhan yang telah dijalankan serta efeknya terhadap kehidupan, al-Ustadz Amin Saefullah Muchtar (Sekretaris Dewan Hisbah PP PERSIS) pada situsnya, https://www.sigabah.com/pribadi-muslim-pasca-ramadhan/#_ftnref2 menjelaskan:

الْغَفْرُ: إِلْبَاسُ مَايَصُوْنُهُ عَنِ الدَّنَسِ.

“Al-Ghafru artinya memakaikan sesuatu yang akan melindungi pemakainya dari noda atau kotoran.”

Kata ini digunakan dalam makna pengampunan Allah, karena Allah melindungi seorang hamba dari azab yang akan menyentuhnya. Ar-Ragib al-Asfahani menyatakan:

الغُفْرَانُ وَالْمَغْفِرَةُ مِنَ اللهِ أَنْ يَصُونَ العَبْدَ مِنْ أَنْ يَمَسَّهُ العَذَابُ.

“Ghufran dan magfirah yang bersumber dari Allah mengandung makna Allah memelihara seorang hamba dari azab yang akan menyentuhnya.” Ar-Raghib al-Ashfahaniy, Al-Mufradat fii Gharib al-Quran, III:191.

Adapun cara memeliharanya:

  • Allah menutupi dosa orang itu
  • Allah tidak membuka serta memperlihatkan aib dan kejelekan dosanya kepada orang lain di dunia dan akhirat,
  • Allah menghapuskan dosa-dosanya dan tidak menyiksanya karena dosa-dosa itu.

Demikian sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, antara lain Imam ath-Thabari[Tafsir ath-Thabari, V:151], Imam Ibnu Katsir[Tafsir Ibnu Katsir, II:305], al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani[Fath al-Bari Syarah Shahih al-Bukhari, XVIII: 63], dan Syekh Muhammad Rasyid Ridha. [Tafsir al-Manar, IV:248]

Allah menetapkan demikian atas dasar karunia dan rahmat-Nya, tanpa didahului dengan permintaan ampun dari hambanya. Hal ini berbeda dengan penghapusan dosa melalui Tobat dan Kifarat, karena keduanya mengharuskan adanya permintaan ampun dari hambanya terlebih dahulu, yang kemudian dilanjutkan dengan pengamalan berbagai amal shaleh yang telah ditetapkan dalam syariat Islam, seperti diterangkan dalam surat ar-Ra’du:39, dan al-Furqan:70.

Ciri-ciri Orang yang mendapat Magfirah

Sedangkan ciri-ciri orang yang mendapat Magfirah, sekaligus ciri-ciri orang bertakwa, dijelaskan oleh Allah dalam Al-Quran, antara lain sebagai berikut:

Ciri Pertama

Orang yang mendapat magfirah akan rajin menginfakkan harta bendanya dalam setiap keadaan, baik dalam keadaan susah maupun dalam keadaan makmur; dalam keadaan suka maupun dalam keadaan duka; dalam keadaan sehat maupun dalam keadaan sakit. Ciri demikian itu dinyatakan oleh Allah Swt. dengan firman-Nya:

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ.

“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit.” (QS. Ali Imran: 134)

Dalam ayat lain diungkap dengan redaksi:

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهارِ سِرًّا وَعَلانِيَةً.

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara sembunyi dan terang-terangan.” (QS. Al-Baqarah: 274)

Makna yang dimaksud ialah bahwa mereka tidak kendur dan lupa oleh suatu urusan dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Swt. Mereka membelanjakan harta untuk keridaan-Nya serta berbuat baik kepada sesamanya, baik kaum kerabat maupun orang-orang lain, dengan berbagai macam kebajikan.

Ciri Kedua

Orang yang mendapat magfirah mampu menahan amarah, dapat mengendalikan emosi terhadap orang yang berbuat salah kepada dirinya. Ciri demikian itu dinyatakan oleh Allah Swt. dengan firman-Nya:

وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ.

“dan orang-orang yang menahan amarahnya.” (QS. Ali Imran: 134)

Ini berarti muslim pemenang maghfirah memiliki derajat tinggi karena ia dapat menahan marah karena Allah, padahal ia mampu dan memiliki kekuasaan untuk memarahinya, bukan karena tidak bisa marah atau karena tidak berani memarahi.

Atas kemampuannya mengendalikan emosi dalam berucap, sikap dan tindakan demikian itu, Allah Swt. akan memberikan penghargaan sebagaimana dinyatakan dalam hadis qudsi sebagai berikut:

يَقُولُ اللَّهُ تعالى: يا ابْنَ آدَمَ اذْكُرْنِي إِذَا غَضِبْتَ، أَذْكُرُكَ إِذَا غَضِبْتُ فَلَا أُهْلِكُكَ فِيمَنْ أُهْلِكُ.

“Allah Swt. berfirman, ‘Hai anak Adam, ingatlah kepada-Ku jika kamu marah, niscaya Aku mengingatmu bila Aku sedang murka kepadamu. Karena itu, Aku tidak akan membinasakanmu bersama orang-orang yang Aku binasakan.” HR. Ibnu Abu Hatim.

Demikian pula dinyatakan oleh Nabi saw. melalui sabdanya:

مَنْ كَفَّ غَضَبَهُ كَفَّ اللهُ عَنْهُ عَذَابَهُ، وَمَنْ خزَنَ لِسَانَهُ سَتَرَ اللهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنِ اعْتَذَرَ إلَى اللهِ قَبِلَ عُذْرَهُ.

Barangsiapa mengekang amarahnya, niscaya Allah menahan siksa-Nya terhadapnya. Dan barangsiapa mengekang lisannya, niscaya Allah menutupi auratnya. Dan barangsiapa  meminta maaf kepada Allah, niscaya Allah menerima permintaan maafnya.” HR. Abu Ya’la

Sehubungan dengan itu, Rasululullah saw. bersabda:

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ.

“Orang kuat, bukanlah yang berani bertindak pada manusia hinga bikin orang lain takut, tapi yang kuat adalah yang mampu mengendalikian dirinya tatkala marah.” HR. Al-Bukhari dan Muslim.

Ciri Ketiga

Selain mampu menahan amarah, orang yang mendapat magfirah mampu pula memaafkan orang yang telah berbuat salah terhadap dirinya. Ciri demikian itu dinyatakan oleh Allah Swt. dengan firman-Nya:

وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ

“dan mema`afkan (kesalahan) orang.” (QS. Ali Imran: 134)

Ciri ini perlu “dilibatkan” karena orang yang mampu menahan amarah belum tentu bebas dari rasa sakit hati, bahkan dendam. Memberi maaf pada manusia yang bersalah tatkala marah merupakan sikap yang paling berat. Oleh karena itu, mukmin yang mampu melakukannya mendapat pujian dari Allah  sebagai manusia yang memiliki derajat tinggi. Allah Swt. berfirman:

وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ.

“dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.” QS. Asy-Syura:37

Sehubungan dengan sifat ini, Ibnu Katsir menyatakan, “Yaitu selain menahan diri, tidak melampiaskan kemarahannya, mereka juga memaafkan orang yang telah berbuat aniaya terhadap dirinya, sehingga tiada suatu uneg-uneg pun yang ada dalam hati mereka terhadap seseorang. Hal ini merupakan akhlak yang paling sempurna.”[ Tafsir Ibnu Katsir, II:73]

Ciri Keempat

Orang yang mendapat magfirah akan senantiasa berbuat baik (ihsan), baik yang berkaitan dengan kewajiban pada Allah maupun yang berkaitan dengan sesama manusia. Ciri demikian itu dinyatakan oleh Allah Swt. dengan firman-Nya:

وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ.

“Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran: 134)

Petunjuk ihsan ditegaskan pula oleh Nabi melalui sabdanya:

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ.

“Sesungguhnya Allah Swt. telah mewajibkan berlaku ihsan (baik) dalam segala hal. Jika kamu membunuh sesuatu, maka hendaklah berlaku baik ketika membunuhnya. Jika kamu menyembelih, hendaklah belaku baik ketika menyembelihnya. Tajamkanlah mata pisaumu, agar tidak terlalu menyakitkan yang disembelih.” HR. Muslim.

Kalimat: “Sesungguhnya Allah Swt. telah mewajibkan berlaku ihsan (إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ) mengisyaratkan bahwa kita diperintah Allah Swt. untuk ihsan.  Sedangkan perkataan: “dalam segala hal (عَلَى كُلِّ شَيْءٍ)” mengandung makna bahwa ihsan itu mesti diterapkan dalam segala aspek kehidupan dan diberlakukan kepada siapa pun, baik kepada Allah Swt. maupun kepada sesama makhluq-Nya.

Ihsan kepada Allah Swt. telah disabdakan Rasulullah saw. ketika mendapat pertanyaan dari Malaikat Jibril:

أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ.

“(Ihsan ialah) engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Sekalipun engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” HR.Muslim

Sedangkan Ihsan kepada sesama manusia diperintahkan langsung dalam berbagai ayat al-Qur`an antara lain:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا.

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat Ihsan (berlaku baiklah) kepada ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” QS. An-Nisa:36

Hubungan kalimat ini: “Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” dengan sifat menahan marah dan memaafkan kesalahan orang lain, dijelaskan oleh Imam Ibnu Katsir, “Hal yang disebut di atas merupakan salah satu dari beberapa kemuliaan kebajikan (maqaamaat al-ihsaan). Sebagaimana dinyatakan dalam sabda Nabi saw. berikut ini:

ثَلَاثٌ أُقْسِمُ عَلَيْهِنَّ: مَا نَقَصَ مَالٌ مِنْ صَدَقَةٍ، وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا، وَمَنْ تَوَاضَعَ لِلَّهِ رَفَعَهُ اللَّهُ.

“Ada tiga perkara yang aku berani bersumpah untuknya; tiada harta yang berkurang karena sedekah, dan tidak sekali-kali Allah menambahkan kepada seorang hamba yang pemaaf melainkan keagungan; serta barangsiapa merendahkan dirinya karena Allah, niscaya Allah mengangkat (kedudukan)nya.” HR. Muslim, tanpa kalimat: “Aku bersumpah.”

Dalam hadis lain, Nabi saw. bersabda:

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُشْرَفَ لَهُ الْبُنْيَانُ، وَتُرْفَعَ لَهُ الدَّرَجَاتُ فَلْيَعْفُ عَمَّنْ ظَلَمَهُ، وَيُعْطِ مَنْ حَرَمَهُ، ويَصِلْ مَنْ قَطَعَهُ.

Barangsiapa menginginkan bangunan untuknya (di surga); dimuliakan dan derajat nya ditinggikan, hendaklah ia memaafkan orang yang berbuat aniaya kepadanya, memberi kepada orang yang kikir terhadap dirinya, dan bersilaturahmi kepada orang yang memutuskannya.” HR. Al-Hakim.[Tafsir Ibnu Katsir, II:73]

Ciri Kelima

Orang yang mendapat magfirah akan segera bertobat dan istigfar (memohon ampun kepada Allah) manakala melakukan suatu dosa. Ciri demikian itu dinyatakan oleh Allah Swt. dengan firman-Nya:

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka.” (QS. Ali Imran: 135)

Sehubungan dengan sifat ini, Ibnu Katsir menyatakan, “Yakni apabila mereka melakukan suatu dosa, maka mereka mengiringinya dengan tobat dan istigfar (memohon ampun kepada Allah).”[Tafsir Ibnu Katsir, II:73]

Sehubungan dengan sikap bersegera untuk tobat dan istigfar, Nabi saw. bersabda:

إِنَّ رَجُلًا أَذْنَبَ ذَنْبًا، فَقَالَ: رَبِّ إِنِّي أَذْنَبْتُ ذَنْبًا فَاغْفِرْهُ. فَقَالَ اللَّهُ [عَزَّ وَجَلَّ] عَبْدِي عَمِلَ ذَنْبًا، فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ، قَدْ غَفَرْتُ لِعَبْدِي، ثُمَّ عَمِلَ ذَنْبًا آخَرَ فقال: رَبِّ إِنِّي عَمِلْتُ ذَنْبًا فَاغْفِرْهُ. فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: عَلِمَ عَبْدِي أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ، قَدْ غَفَرَتْ لِعَبْدِي. ثُمَّ عَمِلَ ذَنْبًا آخَرَ فَقَالَ: رَبِّ، إنِّي عَمِلْتُ ذَنْبًا فَاغْفِرْهُ لِي. فَقَالَ عَزَّ وجَلَّ: عَلِمَ عَبْدَي أنَّ لَهُ رَبا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيأْخُذُ بِهِ، قَدْ غَفَرَتُ لِعَبْدِي ثُمَّ عَمِلَ ذَنَبًا آخَرَ فَقَالَ: رَبِّ، إنِّي عَمِلَتُ ذَنَبًا فَاغْفِرْهُ فَقَالَ عَزَّ وجَلَّ: عَبْدِي عَلِمَ أنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ، أُشْهِدُكُمْ أنِّي قَدْ غَفَرْتُ لِعَبْدِي، فَلْيَعْمَلْ مَا شَاءَ.

“Sesungguhnya ada seorang lelaki melakukan suatu dosa, lalu ia berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah melakukan suatu dosa, maka berikanlah ampunan bagiku atas dosa itu.’ Maka Allah Swt. berfirman, ‘Hamba-Ku telah melakukan suatu dosa, lalu ia mengetahui bahwa dia mempunyai Tuhan yang mengampuni dosa dan yang menghukumnya, sekarang Aku memberikan ampunan kepada hamba-Ku.’ Kemudian si hamba melakukan dosa yang lain, dan mengatakan, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah melakukan dosa lain, maka ampunilah dosa(ku) itu.’ Allah Swt. berfirman, ‘Hamba-Ku mengetahui bahwa dirinya mempunyai Tuhan yang mengampuni dosa dan yang menghukumnya. Sekarang Aku mengampuni hamba-Ku.’ Kemudian si hamba melakukan dosa lagi dan berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah melakukan suatu dosa, maka ampunilah dosaku.’ Allah Swt. berfirman, ‘Hamba-Ku mengetahui bahwa dia mempunyai Tuhan yang mengampuni dosa dan yang menghukumnya, sekarang Aku memberikan ampunan kepada hamba-Ku.’ Kemudian si hamba melakukan dosa yang lain, dan mengatakan, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah melakukan dosa lain, maka ampunilah dosa(ku) itu.’ Allah Swt. berfirman, ‘Hamba-Ku mengetahui bahwa dirinya mempunyai Tuhan yang mengampuni dosa dan yang menghukumnya. Persaksikanlah oleh kalian (para malaikat) bahwa Aku telah mengampuni hamba-Ku, maka ia boleh berbuat semua apa yang dikehendakinya.” HR. Ahmad

Ciri-ciri orang bertobat disebutkan dalam firman Allah selanjutnya:

وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ.

“Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedangkan mereka mengetahui.” (Ali Imran: 135)

Kata Ibnu Katsir, “Yakni mereka bertobat kepada Allah dari perbuatan dosa mereka dalam waktu yang dekat, dan tidak melanjutkan perbuatan maksiat, tidak menetapinya, tidak pula menjadikannya sebagai langganan. Seandainya mereka mengulangi perbuatan dosanya, maka dengan segera mereka bertobat dari perbuatannya itu kepada Allah.”

Berbagai ciri pribadi muslim yang dapat maghfirah di atas ditegaskan oleh Allah di penghujung ayat, dengan firman-Nya:

 أُولئِكَ جَزاؤُهُمْ مَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ.

“Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka.” (QS. Ali Imran: 136)

Kata Imam Ibnu Katsir, “Yaitu balasan mereka karena menyandang sifat-sifat tersebut ialah ampunan dari Tuhan mereka.”

Pribadi muslim yang mampu memelihara ciri-ciri di atas akan mendapat jaminan hidup kekal di surga, sebagaimana dinyatakan Allah, sesudah menggambarkan perihal mereka yang telah disebutkan sifat-sifatnya di atas, dengan firman-Nya:

وَجَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهارُ.

“dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai.” (QS. Ali Imran: 136)

Kata Imam Ibnu Katsir, “Yakni berbagai macam minuman.”

خالِدِينَ فِيها.

“sedangkan mereka kekal di dalamnya.” (QS. Ali Imran: 136)

Kata Imam Ibnu Katsir, “Maksudnya, menetap di dalam surga untuk selama-lamanya.”

وَنِعْمَ أَجْرُ الْعامِلِينَ.

“dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yana beramal.”  (QS. Ali Imran: 136)

Kata Imam Ibnu Katsir, Allah Swt  memuji keindahan  surga dan semua kenikmatan yang ada di dalamnya.” [Tafsir Ibnu Katsir, II:73]

Demikianlah ciri-ciri yang dapat ditelusuri pada diri kita masing-masing untuk menunjukkan kita sebagai pemenang atau pihak yang kalah pada “pertandingan” selama bulan Ramadhan. Wallahu A’lam.

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama