ISTIQOMAH


Istiqomah salah satu ungkapan yang sering kita dengar, dan sering pula kita ungkapkan. Istiqomah lafal mengandung makna yang bernilai tinggi, menarik perhatian bagi setiap orang yang berkeinginan hidup dan kehidupannya dalam kebenaran. Tentu saja hal ini hendaklah tidak sebatas ungkapan kata-kata saja, akan tetapi mesti menjadi karakter dan sikap dalam segala ruang lingkup kehidupannya.

Kiranya perlu kita ungkapkan apa makna Istiqomah itu agar tidak terjadi kesalahan dalam penerapannya.

اَلْإِسْتِقَامَةُ: اَلْإِسْتِمْرَارُ فِيْ جِهَةٍ وَاحِدَةٍ مِنْ غَيرِ أَخْذٍ فِيْ جِهَةِ اليَمِيْنِ وَالشِّمَالِ.

Istiqomah adalah terus menerus dalam satu arah tanpa mengambil ke kanan dan ke kiri. Al-Qurthubiy, VII: 107.

Dalam tafsir al-Maraghi diterangkan: Hendaklah tetap pada jalan yang lurus yang tidak bengkok.

Dengan demikian Istiqomah itu adalah tetap teguh pada jalan yang lurus dengan tidak melihat ke kanan dan ke kiri. Dengan kata lain tetap tegaknya dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi cegahan-Nya.

Imam al-Maraghi menjelaskan:

اَلإِسْتِقَامَةُ: كَلِمَةٌ جَامِعَةٌ لِكُلِّ مَا يَتَعَلَّقُ بِالعِلْمِ وَالعَمَلِ وَالأَخْلَاقِ الفَضِيْلَةِ.

Istiqomah adalah kalimah yang mencakup bagi seluruh yang berhubungan dengan ilmu, amal dan akhlak yang utama. Al-Maraghi, XVIII: 90.

Untuk mewujudkan sikap istiqomah dalam segala ruang lingkup kehidupan kita, tentunya tidak semudah mengungkapkan dalam kata-kata, karena mempertahankan sikap di atas kebenaran, seringkali berbenturan dengan berbagai kepentingan baik pribadi, keluarga maupun lingkungan. Adakalanya keadaan itu terpaksa harus berubah walau tidak selamanya. Kendati demikian, usaha untuk istiqomah harus terus berjalan, walaupun tidak bisa mencapai tingkat utama, namun bukan berarti harus ditinggalkan, dengan kata lain apa yang tidak bisa dicapai semuanya jangan ditinggalkan semuanya.

ISTIQOMAH DENGAN ILMU

Jika kita merujuk kepada keterangan dalam kitab tafsir di atas, jelas bahwa istiqomah itu harus ditunjang dengan keilmuan. Yang dengannya menjadi jelas batas-batas antara yang benar dan yang salah, yang lurus dan bengkok, bahkan dengan ilmu itu pula jelas batasan setiap perkara. Oleh karenanya akan teguhlah pendirian di atas kebenaran itu. Akan tetapi sebaliknya, tanpa ilmu mustahil dapat bersikap istiqomah.

Namun di lapangan ternyata kita dapatkan banyak pemilik ilmu yang tidak teguh pendiriannya. Jika demikian tidak semua pemilik ilmu pasti istiqomah, namun yang istiqamah pasti memiliki ilmu.

Dalam kitab Kasyfu al-Kurbah diterangkan bahwa pemilik ilmu terbagi tiga golongan: 1. Ahlu syubuhat. 2. Ahlusy syahawat. 3. Ahlul ilmu hum ahluhu.

AHLUSY SYUBUHAT

Ahlusy Syubuhat adalah golongan pemilik ilmu yang tidak lepas dari keragu-raguan. Seringkali mereka merasa kurang banyak, kurang Afdhal dan kurang sempurna, jika beramal hanya dengan yang dicontohkan oleh Nabi Saw. Karena itulah dibuatkan berbagai tambahan-tambahan dalam ibadah dengan alasan agar lebih utama, lebih sempurna. Akhirnya ibadah direkayasa oleh pikiran dan perasaan manusia, maka lahirlah berbagai bid'ah dalam ibadah.

Keinginan untuk mencapai kesempurnaan dan keutamaan, hal itu sesuatu yang wajar bagi setiap manusia dari sejak manusia itu ada, namun tentu saja harus jelas batasannya dan batasan sempurna itu harus bersifat mutlak tidak relatif, dan batasan yang mutlak itu adalah batasan dari Allah yang Maha Sempurna dan Maha Tahu tentang batasan sempurna bagi makhluk-Nya.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَمَرَهُمْ أَمَرَهُمْ مِنْ الْأَعْمَالِ بِمَا يُطِيقُونَ قَالُوا إِنَّا لَسْنَا كَهَيْئَتِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ قَدْ غَفَرَ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ فَيَغْضَبُ حَتَّى يُعْرَفَ الْغَضَبُ فِي وَجْهِهِ ثُمَّ يَقُولُ إِنَّ أَتْقَاكُمْ وَأَعْلَمَكُمْ بِاللَّهِ أَنَا.

Dari Aisyah Ra., ia berkata: "Rasulullah Saw. apabila memerintah mereka, beliau memerintahkan dengan amal yang mereka mampu." Mereka berkata, "Kami tidak seperti engkau wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah telah mengampuni dosa anda yang lalu dan yang akan datang." Maka beliau marah sehingga kemarahan itu terlihat pada wajahnya, lalu bersabda, "Sesungguhnya yang paling takwa dan mengenal Allah adalah aku." Hr. al-Bukhariy.

Pada hadis lain diterangkan bahwa di zaman Rasulullah Saw. ada tiga orang sahabat yang bertanya kepada istri Nabi Saw. tentang ibadah beliau. Setelah mendapat penjelasan, mereka pun berkesimpulan, dan berkata, "Nabi Saw. yang sudah diampuni dosanya yang lalu dan yang akan datang demikian rajinnya dalam beribadah. Maka kita yang belum tentu diampuni dosa, tentu harus lebih rajin daripadanya. Maka yang seorang berkata, "Aku akan shalat malam tidak akan tidur." Yang seorang lagi berkata, "Aku akan shaum, tidak akan berbuka." Yang seorang lagi berkata, "Aku tidak akan beristri (akan beribadah terus menerus)."

Inilah bukti bahwa adanya rasa ketidakpuasan dengan ibadah yang sudah ada, namun pada saat itu Nabi meluruskannya dan beliau pun mengajarkan kepada mereka bahwa yang paling utama itu adalah yang dicontohkan oleh beliau, dengan demikian ibadah yang lebih dari batasan yang beliau tetapkan itu adalah bukan keutamaan, melainkan kesesatan.

Dari sabda beliau: "Aku yang lebih tahu dan lebih mengenal Allah." Merupakan batasan, bahwa yang disebut sempurna itu adalah apa yang telah dicontohkan beliau. Dengan itu para sahabat pun menerimanya dengan senang hati, merekapun merasa puas dengan ketetapan itu, dan karena itu para sahabat pun berpegang teguh atas segala ilmu yang mereka terima dari Rasulullah Saw.

AHLUSY SYAHAWAT

Ahlusy Syahawat yaitu mereka yang memiliki ilmu, yang seharusnya dengan ilmu yang mereka miliki itu menjadikan dirinya tetap teguh dalam kebenaran, karena ilmu itu bagaikan cahaya yang menerangi jalan hidup sehingga jelas kemana arah yang harus dituju dalam setiap langkahnya. Namun sayang ilmunya hanya dijadikan alat untuk memenuhi keinginan hawa nafsunya. Karena itulah mereka tidak teguh pendiriannya, walaupun tidak sesuai dengan kebenaran. Kelompok ini yang dimitsilkan dalam Al-Qur'an:

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ. وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الأرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ. سَاءَ مَثَلا الْقَوْمُ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَأَنْفُسَهُمْ كَانُوا يَظْلِمُونَ.

Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Alkitab), kemudian dia melepaskan diri daripada ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada kehidupan dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya dijulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia menjulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir. Amatlah buruk perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat dzalim. QS. Al-A'raf: 175-177.

AHLUL ILMI

Kelompok yang ketiga ini adalah pemilik ilmu yang benar-benar telah meyakini kebenaran ilmu dari Allah yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. Mereka jadikan ilmu itu sebagai cahaya penuntun dalam setiap langkah hidupnya. Mereka amalkan ilmu itu apa adanya, dan merekapun menjadikannya sebagai hujjah dalam setiap amalnya, dan menjadikan pula sebagai rujukan untuk setiap masalahnya. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً.

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. QS. An-Nisa: 59.

Oleh: KH. Zae Nandang (Ketua Dewan Hisbah PP PERSIS)

Dikutip dari: Majalah al-Qudwah

Ditulis ulang oleh: Hanafi Anshory.

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama