Menelaah Maksud dan Tujuan Penciptaan Manusia
Fahrevi Firdaus (all rights
reserved)
Pendahuluan
Sebagaimana kita tahu bahwa Al-Qur’an
merupakan firman Allah ta’alaa yang selalu menarik untuk dikaji dan dipelajari
baik secara universal maupun parsial termasuk kisah-kisah di dalamnya sekaligus
menjadi bukti akan nubuwwah Nabi Muhammad saw. Rangkaian kisah dalam
al-Qur’an memuat berbagai permasalahan yang diikuti dengan bukti sejarah
terhadap kebenarannya, mengandung nilai-nilai dan makna tinggi sehingga dapat
membawa manfaat bagi pembacanya (Rofiqoh & Ansori,
25-26: 2017).
لَقَدْ كَانَ فِى قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ
لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ ۗ مَا كَانَ
حَدِيثًا يُفْتَرَىٰ وَلَٰكِن تَصْدِيقَ ٱلَّذِى بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَىْءٍ
وَهُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Sesungguhnya
pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai
akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan
(kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman” (QS. Yusuf: 111).
Al-Qur’an dalam memuat kisah
tidak bisa disamakan dengan cerita pada umumnya yang meliputi berbagai aspek
peristiwa. Maka dari itu perlu penjelasan lebih lanjut atau biasa kita sebut
tafsir dengan mengacu pada penjelasan hadist Nabi saw, karena pada faktanya
kisah dalam suatu surat misalkan hanya disebut sebagian dan sebagiannya lagi
pada surat lainnya, ataupun diungkapkan secara panjang lebar terkadang juga
hanya disebutkan secara substansial. Sehingga dalam hal ini kisah Nabi Adam
yang merupakan manusia pertama mulai dari penciptaan, latar belakang dan
sebagainya memerlukan sub-tema pembahasan agar terstruktur dengan baik melalui
pendekatan studi tafsir al-Qur’an karya Ibnu Katsir sebagai acuan utamanya
Proses Penciptaan
Manusia
وَإِذْ
قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ
خَلِيفَةً ۖ قَالُوٓا۟ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ ٱلدِّمَآءَ
وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّىٓ أَعْلَمُ مَا لَا
تَعْلَمُونَ
Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang
khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
menyucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang
tidak kamu ketahui” (QS. Al-Baqarah: 30).
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya
menjelaskan bahwa Allah swt mengabarkan berkenaan karunia-Nya hendak
menciptakan Bani Adam di tengah para Malaikat dengan fungsi sebagai khalifah
(pengganti kaum sebelumnya) di Bumi. Semakna dengan hal tersebut disebutkan
pula oleh az-Zamarkasyi dan lainnya yang dinukil oleh al-Qurthubi dari Zaid bin
Ali tersebar di beberapa ayat dalam al-Qur’an, antara lain وَهُوَ ٱلَّذِى جَعَلَكُمْ خَلَٰٓئِفَ
ٱلْأَرْضِ (“Dan
Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi”. QS. al-An’am: 165),
وَيَجْعَلُكُمْ
خُلَفَآءَ ٱلْأَرْضِ (“dan
yang menjadikan kamu ‘manusia’ sebagai khalifah di bumi”. QS. an-Naml: 62), وَلَوْ نَشَآءُ
لَجَعَلْنَا مِنكُم مَّلَٰٓئِكَةً فِى ٱلْأَرْضِ يَخْلُفُونَ
(“Dan kalau Kami kehendaki
benar-benar Kami jadikan sebagai gantimu di muka bumi malaikat-malaikat yang
turun temurun”. QS. az-Zukhruf: 60) dan فَخَلَفَ مِنۢ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ
(“Maka datanglah sesudah mereka,
pengganti”. QS. Maryam: 59).
Adapun
dalam proses penciptaannya, termaktub dalam surat Ali-Imran ayat 59 yang
artinya “Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti
(penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman
kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia”. Pada ayat ini
terdapat kalimat تراب
yang memiliki arti tanah, Imam Ibnu
Katsir memberikan penjelasan rinci bahwa pada penciptaan Nabi Adam sama halnya
dengan Nabi Isa yang tidak memiliki bapak. Disamping itu dalam surat al-Hajj
ayat 5 dan al-Hijr ayat 26 Allah swt menjelaskan.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِن كُنتُمْ فِى
رَيْبٍ مِّنَ ٱلْبَعْثِ فَإِنَّا
خَلَقْنَٰكُم مِّن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِن
مُّضْغَةٍ مُّخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِّنُبَيِّنَ لَكُمْ ۚ وَنُقِرُّ فِى
ٱلْأَرْحَامِ مَا
نَشَآءُ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ
لِتَبْلُغُوٓا۟ أَشُدَّكُمْ ۖ وَمِنكُم مَّن يُتَوَفَّىٰ وَمِنكُم مَّن يُرَدُّ
إِلَىٰٓ أَرْذَلِ ٱلْعُمُرِ لِكَيْلَا
يَعْلَمَ مِنۢ بَعْدِ عِلْمٍ شَيْـًٔا ۚ وَتَرَى ٱلْأَرْضَ هَامِدَةً
فَإِذَآ أَنزَلْنَا عَلَيْهَا ٱلْمَآءَ ٱهْتَزَّتْ وَرَبَتْ
وَأَنۢبَتَتْ مِن كُلِّ زَوْجٍۭ بَهِيجٍ
“Hai manusia, jika kamu dalam
keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami
telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari
segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan
yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam
rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian
Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu
sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang di wafatkan dan
(adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia
tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu
lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya,
hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan
yang indah.
وَلَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ مِن
صَلْصَٰلٍ مِّنْ حَمَإٍ مَّسْنُونٍ
“Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur
hitam yang diberi bentuk.
Ibnu
Abbas, Mujahid dan ad-Dhahak memberikan tafsir dalam Ibnu Katsir berkenaan
dengan lafadz حٰمإ مسنون ialah tanah yang berbau busuk,
adapun pendapat lain yaitu yang diberi bentuk. Dengan demikian proses
penciptaan manusia berasal dari tanah yang dibentuk dan disempurnakan yang
kemudian melalui Maha Agung-Nya Allah swt ditiupkan ruh pada jasadnya (QS.
Shad: 72).
Menurut Qatadah yang dikutip oleh
Ibnu Katsir dalam kitab Qashashul Anbiyaa bahwa sebelumnya telah ada makhluk
yang diciptakan yakni kalangan jin dan bunn (sekelompok jin), selain itu
Abdullah bin Umar menuturkan makhluk tersebut sudah ada 2000 tahun sebelum Nabi
Adam As diciptakan. Adapun Ibnu Umar dan Ibnu Abbas berpendapat para malaikat
mengetahui ketika jin melakukan pertumpahan darah di bumi, maka seketika Allah
Swt mengutus malaikat untuk mengusir mereka ke laut. Sebagaimana kita ketahui
penciptaan manusia pertama adalah Nabi Adam As yang diberi mandat untuk menjadi
khalifah di bumi. Rencana Allah Swt tersebut mendapatkan respon dari malaikat
yang mempertanyakan dalam rangka untuk mencari tahu dan mengungkap hikmah,
bukan untuk membantah ataupun dengki terhadap Nabi Adam As dan keturunannya
kelak atas kekhawatiran manusia yang akan merusak dan menumpahkan darah (QS.
Al-Baqarah: 30).
Maha Benar Allah dengan segala
keputusan-Nya, rasa khawatir tersebut di respon dengan redaksi ayat
قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ
مَا لَا تَعْلَمُوْنَ
(Sesungguhnya
Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui) maksudnya adalah menurut Ibnu
Katsir bahwa ada kemaslahatan dibalik penciptaan manusia diantaranya menjadikan
mereka para Nabi, Rasul, orang-orang yang benar dan soleh. Kendati demikian
dengan kasih sayang-Nya, Nabi Adam As mendapatkan anugerah dari Allah Swt
berupa pengetahuan yang menjadi modal utama untuk mengemban tugas sebagai
khalifah di Bumi. Bahkan karunia ini tidak dimiliki oleh malaikat, sebagaimana
firman Allah Swt:
وَعَلَّمَ
ءَادَمَ ٱلْأَسْمَآءَ كُلَّهَا ثُمَّ
عَرَضَهُمْ عَلَى ٱلْمَلَـٰٓئِكَةِ فَقَالَ
أَنۢبِـُٔونِى بِأَسْمَآءِ هَـٰٓؤُلَآءِ إِن كُنتُمْ صَـٰدِقِينَ ٣١ قَالُوا۟
سُبْحَـٰنَكَ لَا عِلْمَ لَنَآ إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَآ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلْعَلِيمُ ٱلْحَكِيمُ ٣٢ قَالَ يَـٰٓـَٔادَمُ
أَنۢبِئْهُم بِأَسْمَآئِهِمْ ۖ فَلَمَّآ أَنۢبَأَهُم بِأَسْمَآئِهِمْ قَالَ
أَلَمْ أَقُل لَّكُمْ إِنِّىٓ أَعْلَمُ غَيْبَ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا
تُبْدُونَ وَمَا كُنتُمْ تَكْتُمُونَ ٣٣
Dia mengajarkan kepada Adam
nama-nama (benda) seluruhnya, kemudian Dia memperlihatkannya kepada para
malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama-nama (benda) ini jika kamu
benar!” Mereka menjawab, “Maha Suci Engkau. Tidak ada pengetahuan bagi kami,
selain yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Dia (Allah) berfirman, “Wahai Adam, beri
tahukanlah kepada mereka nama-nama benda itu!” Setelah dia (Adam) menyebutkan
nama-nama itu, Dia berfirman, “Bukankah telah Kukatakan kepadamu bahwa Aku
mengetahui rahasia langit dan bumi, dan Aku mengetahui apa yang kamu nyatakan
dan apa yang selalu kamu sembunyikan?” (QS. Al-Baqarah: 31-33).
Keterangan ini menjadi penegasan
selanjutnya dari Allah Swt melalui memberikan kemuliaan dalam hal ilmu kepada
Nabi Adam As dan keturunannya. Sehingga malaikat merespon dengan menyucikan
Allah Swt bahwa seseorang tidak mungkin mengetahui sebagian ilmu-Nya kecuali
Dia menghendaki begitupun tidak mungkin mereka mengetahui sesuatu kecuali yang
Allah Swt ajarkan kepada mereka maka para malaikat berkata قَالُوا۟
سُبْحَـٰنَكَ لَا عِلْمَ لَنَآ إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَآ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلْعَلِيمُ
ٱلْحَكِيمُ yakni
Maha mengetahui atas segala sesuatu, Maha bijaksana pada apa yang diciptakan,
perintah dan setiap pengajaran-Nya terhadap siapa yang Allah Swt kehendaki
ataupun penolakan. Ini pula menjadi bukti atas hikmah dan keadilan yang Allah
Swt terapkan.
Pesan dibalik sujudnya malaikat kepada Nabi Adam
as
Nabi Adam As beserta keturunannya
akan diberi tugas ketika hidup di muka bumi yang sebelumnya tidak sempurna
dilaksanakan oleh kalangan jin yaitu melakukan pertumpahan darah, perselisihan
dan membuat kerusakan lainnya, maka manusia menggantikan untuk membawa risalah
menurut ketentuan Allah Swt. Materi penciptaan manusia sendiri berbeda dengan
makhluk sebelumnya seperti jin dan malaikat.
وَالْجَاۤنَّ خَلَقْنٰهُ مِنْ قَبْلُ مِنْ نَّارِ السَّمُوْمِ
“Sebelumnya
Kami telah menciptakan jin dari api yang sangat panas” (QS. Al-Hijr: 27).
Sedangkan manusia sebagai makhluk diciptakan
melalui kalimat بَشَرًا yang disebutkan dalam al-Qur’an dalam bentuk tunggal sebanyak satu kali
yang memiliki pengertian tampilan luar yang halus, lunak dan lembut dengan
bahan materi dari bagian terluar dari lapisan Bumi (QS. Al-Ḥijr: 28) sehingga para ahli tafsir menjelaskan
bahwa penamaan Adam untuk menjelaskan ragam warna kulit ataupun karakteristik
dan sifat yang dimiliki manusia berasal dari saripati tanah atau lapisan
terluar Bumi. Disamping itu apabila dialihkan menjadi kata kerja, maka Adam
memiliki arti ashlahaa wa allafa yaitu sesuatu yang menghadirkan
kemashlahatan dan kelembutan untuk melahirkan kebaikan dalam setiap
aktivitasnya, didukung dengan fisik yang sempurna (QS. at-Tin: 4) begitu pula
kesempurnaan fungsi yang melahirkan kemuliaan (QS. al-Isra’: 70). Karena itulah
Allah Swt menurunkan rangkaian hukum untuk menjaga kehormatan manusia yang
memiliki tujuan baik maka jangan sampai terjerumus kepada hal-hal yang tidak
baik, bukan untuk memberatkan maupun mempersulit keadaan melainkan menjaga
fithrah manusia sebagai makhluk yang melahirkan ragam kebaikan melalui amal
shaleh.
"Dari Aisyah berkata Rasulullah saw.
bersabda, Malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari api yang
menyala-nyala dan Adam diciptakan dari sesuatu yang telah disebutkan (ciri-cirinya)
untuk kalian." (HR. Muslim).
Maka dari itu hal yang paling fundamental bahwa
Nabi Adam as dan keturunannya mendapatkan kemuliaan adalah dengan memegang ilmu
berupa aturan syariat dari Allah swt, selain itu sebagai penyempurna dari
penciptaan manusia yakni ditiupkan ruh ke dalam jasadnya yang diikuti perintah
Allah swt kepada para malaikat untuk bersujud.
وَاِذْ قُلْنَا
لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اسْجُدُوْا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوْٓا اِلَّآ اِبْلِيْسَۗ قَالَ
ءَاَسْجُدُ لِمَنْ خَلَقْتَ طِيْنًاۚ
(Ingatlah) ketika Kami
berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu semua kepada Adam.” Mereka pun
sujud, tetapi Iblis (enggan). Ia (Iblis) berkata, “Apakah aku harus bersujud
kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?” (Al-Isrā' [17]:61)
Sifat Iblis
tersebut menjadi bukti terhadap sifat perbandingan terhadap suatu kondisi atau
keputusan Allah swt yang Maha Bijaksana, yakni merasa lebih tinggi dan mulia
karena dari segi penciptaan berbeda antara tanah dan api. Imam Ibnu Katsir
menjelaskan bahwa perbandingan (qiyas) akan gugur dengan adanya nash
atau wahyu dari Allah swt, di sisi lain justru tanah lebih unggul yaitu
terkandung sifat-sifat keseimbangan, kesantunan, kelembutan, dan pertumbuhan.
Adapun api memiliki sifat liar, ringan, cepat, dan membakar. Permusuhan yang
dimunculkan Iblis ini ada sejak penciptaan manusia yakni disebabkan penolakan
untuk sujud karena membangkang dan sombong, berbeda dengan Malaikat yang
langsung taat terhadap perintah Allah swt, pada saat itu Iblis pun meminta
untuk ditangguhkan terhadap yang telah diperintahkan. Mengutip perkataan
Mujahid dan lainnya dalam Tafsir Ibnu Katsir bahwa Iblis akan mengepung manusia
dengan menyesatkannya dari hidayah Allah swt.
قَالَ اَرَاَيْتَكَ
هٰذَا الَّذِيْ كَرَّمْتَ عَلَيَّ لَىِٕنْ اَخَّرْتَنِ اِلٰى يَوْمِ الْقِيٰمَةِ
لَاَحْتَنِكَنَّ ذُرِّيَّتَهٗٓ اِلَّا قَلِيْلًا
Ia (Iblis) berkata, “Terangkanlah kepadaku tentang orang ini
yang lebih Engkau muliakan daripada aku. Sungguh, jika Engkau memberi tenggang
waktu kepadaku sampai hari Kiamat, niscaya aku benar-benar akan menyesatkan
keturunannya, kecuali sebagian kecil.” (Al-Isrā' [17]:62).
Penyebab
Iblis tidak mau sujud kepada Allah
1) Nama setan
فَاَزَلَّهُمَا
الشَّيْطٰنُ عَنْهَا فَاَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيْهِ ۖ وَقُلْنَا اهْبِطُوْا
بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ ۚ وَلَكُمْ فِى الْاَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَّمَتَاعٌ
اِلٰى حِيْنٍ
Lalu,
setan menggelincirkan keduanya darinya sehingga keduanya dikeluarkan dari
segala kenikmatan ketika keduanya ada di sana (surga). Kami berfirman,
“Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain serta bagi kamu ada
tempat tinggal dan kesenangan di bumi sampai waktu yang ditentukan.” (Al-Baqarah [2]:36)
2) Setan asalnya Iblis dan Perintah sujud sebagai
penghormatan kepada Allah
وَاِذْ
قُلْنَا لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اسْجُدُوْا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوْٓا اِلَّآ
اِبْلِيْسَۗ اَبٰى وَاسْتَكْبَرَۖ وَكَانَ
مِنَ الْكٰفِرِيْنَ
(Ingatlah)
ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka,
mereka pun sujud, kecuali Iblis.14) Ia menolaknya dan menyombongkan diri, dan
ia termasuk golongan kafir. (Al-Baqarah
[2]:34)
3) Iblis adalah golongan Jin
وَاِذْ
قُلْنَا لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اسْجُدُوْا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوْٓا اِلَّآ اِبْلِيْسَۗ
كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ اَمْرِ رَبِّهٖۗ اَفَتَتَّخِذُوْنَهٗ
وَذُرِّيَّتَهٗٓ اَوْلِيَاۤءَ مِنْ دُوْنِيْ وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّۗ بِئْسَ
لِلظّٰلِمِيْنَ بَدَلًا
(Ingatlah)
ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu semua kepada Adam!”
Mereka pun sujud, tetapi Iblis (enggan). Dia termasuk (golongan) jin, kemudian
dia mendurhakai perintah Tuhannya. Pantaskah kamu menjadikan dia dan
keturunannya sebagai penolong449) selain Aku, padahal mereka adalah musuhmu?
Dia (Iblis) seburuk-buruk pengganti (Allah) bagi orang-orang zalim. (Al-Kahf
[18]:50)
4) Untuk mempertegas penolakan Iblis terhadap
perintah Allah agar tidak dibantah olehnya
قَالَ
مَا مَنَعَكَ اَلَّا تَسْجُدَ اِذْ اَمَرْتُكَ ۗقَالَ اَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْهُۚ
خَلَقْتَنِيْ مِنْ نَّارٍ وَّخَلَقْتَهٗ مِنْ طِيْنٍ
Dia
(Allah) berfirman, “Apakah yang menghalangimu (sehingga) kamu tidak bersujud
ketika Aku menyuruhmu?” Ia (Iblis) menjawab, “Aku lebih baik daripada dia.
Engkau menciptakanku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” (Al-A‘rāf
[7]:12)
5) Perasaan besar disebut kaburo, merasa
besar disebut dengan takabbur, kalau sifat kebesaran Allah swt diambil
kemudian dilekatkan kepada Iblis disebut istakbaro. Maka hadist
menyebutkan.
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ
مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ (رواه مسلم)
Artinya:
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan
sebesar biji sawi.” (HR Muslim)
Inti Jiwa Manusia
Makhluk
yang ada di semesta bergerak untuk memenuhi kebutuhan dalam hidupnya. Adapun
manusia sendiri sebagai ciptaan Allah swt yang paling mulia ditandai dengan
kemampuannya membedakan antara kejahatan serta kebaikan, melalui akalnya dalam
menunaikan keperluan primer maupun sekunder bisa kondusif seiring terhadap apa
yang dilakukannya. Maka kelebihan tersebut menjadikan manusia sebagai pengendali
untuk memanfaatkan ragam rezeki yang tersebar di semesta ini. disamping itu
dipandang perlu menetapkan rangkaian aturan mengawasi juga membatasi agar tidak
seperti kehidupan binatang misalnya yaitu tidak tahu aturan, rasa malu, dan
solidaritas antar sesama manusia maupun makhluk sekitarnya. Keniscayaan
tersebut dipertegas ketika melihat kondisi sosial saat ini yang melampaui batas
dimana manusia sudah tidak peduli terhadap lingkungannya. Keserakahan, tamak,
nir-empati serta perilaku buruk lainnya menjadi bukti betapa berbahayanya
manusia ketika hawa nafsu menguasai alam bawah sadar dan daya pikir. Fakta ini
selaras dengan firman Allah swt dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 77.
وَلَا
تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا
وَضَلُّوا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ
“Dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan
Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka
tersesat dari jalan yang lurus.”
Sudah
tampak jelas bahwa kita butuh terhadap petunjuk yang mampu menekan potensi
kehewanan agar tetap pada koridor manusia sebagai makhluk mulia disisi Sang
Pencipta yang ditandai dengan memiliki nafs yang mengendalikan terhadap
semua yang kita lakukan. Kendati demikian bahwa pada dasarnya manusia
memiliki hawa nafsu yang mesti dikendalikan secara bijaksana melalui bimbingan
Allah Swt baik melalui firman-Nya maupun apa yang dicontohkan Rasulullah Saw.
Adapun nafs yang berada dalam salah satunya memiliki yang melahirkan dua
perilaku yaitu fujuur untuk menggambarkan kejahatan dan taqwa dari sisi
kebaikannya (QS. asy-Syams: 8).
Potensi
berbuat keburukan yang dimiliki manusia dimanfaatkan oleh setan yang menjadi
laknat baginya (QS. an-Nisa: 118). Buruk atau suu’i (dalam bahasa Arab),
maka apabila nafs bertemu suu’i akan melahirkan perilaku yang
tidak baik sehingga dalam keseharian sering disebut dengan nafsu (QS. Yusuf:
53). Disamping itu nafs ini bersifat netral, karena adanya fujuur bukan
berarti menjadikan manusia berbuat buruk tetapi merupakan katalis dari potensi
taqwa yaitu dengan cara ketika ada dorongan tidak baik muncul segera cari cepat
lawannya yang baik (taqwa).
Jaminan
mengikuti Hidayah Allah
فَمَنْ
تَبِـعَ هُدَايَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ
“Maka barang siapa
mengikuti petunjuk-Ku, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak
bersedih hati." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 38).
Mengutip
keterangan dari Tafsir Ibnu Katsir bahwa petunjuk yang harus diikuti dalam ayat
diatas adalah para Nabi dan Rasul melalui kitab-kitab-Nya. Sehingga rasa
kekhawatiran terutama terhadap nasib kehidupan akhirat. Senada dengan itu, Ibnu
Abbas r.a menambahkan hidayah tidak akan membawa kesesatan pada dunia dan
celaka di akhirat mengacu pada al-Qur’an surat Taha ayat 124 yang artinya “Dan
barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan
yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam kedaan buta.”
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan berkenaan dengan bahayanya hawa nafsu setelah
mengetahui agama Islam yang Allah swt amanahkan kepada Rasul-Nya yang telah
dijelaskan. Manusia seperti ini para ulama salaf menamakan dengan ahli bid’ah
dengan ciri berpecah-belah yaitu menyelisihi al-Qur’an dan Sunnah (Hadist) karena
menerima apa yang mereka sukai dan menolak terhadap sesuatu yang dibenci dengan
dasar hawa nafsu (kesenangan semata) tanpa mengikuti petunjuk dari Allah swt (Majmu’
al-Fatawa, 4:190). Keterangan inilah yang menjadi bukti ternyata keruwetan
yang dialami dalam keseharian penyebab utamanya adalah belum maksimal mengikuti
petunjuk dari Allah swt dan Rasul-Nya. Karena sejatinya yang sudah dan biasa
yang dilakukan mesti berdampak dari ibadah tersebut sehingga terbentuk atau
hadirnya akhlak baik ditengah-tengah umat. Perlu disadari dan diakui dengan
hati bahwa sering lalai bahkan sengaja lupa terhadap apa yang menjadi kewajiban
kita sebagai hamba.
وَلَـقَدْ
ذَرَأْنَا لِجَـهَنَّمَ كَثِيْرًا مِّنَ الْجِنِّ وَا لْاِ نْسِ ۖ لَهُمْ
قُلُوْبٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ بِهَا ۖ وَلَهُمْ
اَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُوْنَ بِهَا ۖ وَلَهُمْ
اٰذَا نٌ لَّا يَسْمَعُوْنَ بِهَا ۗ اُولٰٓئِكَ
كَا لْاَ نْعَا مِ بَلْ هُمْ اَضَلُّ ۗ اُولٰٓئِكَ
هُمُ الْغٰفِلُوْنَ
"Dan sungguh, akan
Kami isi Neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki
hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka
memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat
lagi. Mereka itulah orang-orang yang
lengah."(QS. Al-A'raf:179).
Urgensi mengikuti Petunjuk Allah swt dan Rasul-Nya
Berangkat
dari keterangan diatas semakin menegaskan bahwa kesadaran kita selaku hamba
Rabb Ta’alaa mesti terus dibangun melalui pengkajian ilmu dengan tujuan dapat
menekan potensi kehewanan dalam diri yang hanya bisa dihindari tiada lain hanya
dengan agama yang disentuh oleh keimanan sehingga memiliki kesadaran untuk
mempelajari al-Qur'an. Apabila kita umpamakan melalui perhitungan terhadap
waktu yang Allah swt berikan dalam 30 hari x 24 jam = 720 kemudian kita
sisihkan 2 jam untuk mengikuti satu kali kajian ilmu per-pekan maka akan
didapati 2 : 720 = 0.0027, tetapi bukan berarti harus 50 : 50 melainkan perlu
diagendakan pula waktu yang dimiliki untuk fokus kajian ilmu keislaman dalam
rangka pemenuhan kebutuhan rohani. Rasulullah saw sudah memperingatkan bahwa
ketika manusia lepas dari bimbingan al-Qur’an akan hilang rasa malu dalam
dirinya.
إذا
لم تستح فاصنع ماشئت (رواه البخري)
"jika
kamu tidak malu, lakukanlah sekehendakmu" (HR. al-Bukhari).
Lantas
yang menjadi jaminan ketika manusia memiliki iman dalam hatinya yaitu
ketenangan hakiki dari Allah swt.
هُوَ
الَّذِيْۤ اَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ فِيْ قُلُوْبِ الْمُؤْمِنِيْنَ لِيَزْدَا دُوْۤا
اِيْمَا نًا مَّعَ اِيْمَا نِهِمْ
"Dialah yang telah
menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin untuk menambah keimanan
atas keimanan mereka (yang telah ada)." (QS. Al-Fath 48: Ayat 4).
Wallahu ‘alam bii as-shawwab
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan