RAMADLAN MELAHIRKAN GENERASI PELOPOR

Ikhwatu Iman Rahimakumullah!

Mengawali khutbah pada hari ini, saya mengajak segenap jama’ah untuk bersama memanjatkan puji dan syukur kita yang setulus-tulusnya ke hadirat Allah Swt., yang limpahan nikmat karunia-Nya tidak mungkin dapat dihitung dengan ilmu yang kita miliki dan tidak mungkin dapat didata dengan angka yang ada pada manusia. Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah dan ditaati selain Allah subhanahu wa ta’ala dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Rasul-Nya yang terakhir.

Tiada hari yang amat membahagiakan bagi seorang mukmin yang menunaikan ibadah puasa melebihi kebahagiaan hari raya dan sebagaimana kebahagiaan yang kita rasakan setiap hari berbuka. Dan kita yakin kita akan merayakan kebahagiaan kita yang terbesar dari buah ibadah puasa kit aini di suatu hari yang amat istimewa, yaitu hari berjumpanya kita dengan Allah Swt., hari dimana semua manusia digiring menuju “Pengadilan Ilahi”, sebagaimana Rasul yang mulia menyatakan:

وَلِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ بِفِطْرِهِ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ. صحيح مسلم.

Dan bagi yang berpuasa itu ada dua kebahagiaan yang ia akan bergembira dengannya, yaitu ia bergembira di saat berbuka puasa dan bergembira ketika ia berjumpa Tuhannya ia bergembira dengan puasanya.

Pada hari perjumpaan dengan Allah itulah wajah orang-orang yang pendurhaka akan hitam kelam penuh ketakutan dan kehinaan, bertolak belakang dengan wajahnya orang-orang beriman dan beramal shaleh yang berseri-seri dan bersinar penuh harapan berjumpa dengan Tuhannya yang amat dicintainya. Allah menggambarkannya:

وُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍ نَّاضِرَةٌۙ اِلٰى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ۚ وَوُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍۢ بَاسِرَةٌۙ تَظُنُّ اَنْ يُّفْعَلَ بِهَا فَاقِرَةٌ ۗ.

22.  Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. 23.  (karena) memandang Tuhannya. 24.  Wajah-wajah (orang kafir) pada hari itu muram. 25.  (karena) mereka yakin akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang sangat dahsyat. Qs. Al-Qiyamah [75]: 22-25.

Dan di antara penyebab kebahagiaan berjumpanya orang-orang mukmin dengan Allah adalah karena mereka berpuasa. Bukankah orang-orang yang berpuasa itu bersusah payah menahan lapar dan dahaga serta syahwat dan nafsu mereka selama puasa di dunia tidak ada yang diharapkan kecuali keridhaan Tuhannya, dan tidak ada yang ditakutkan kecuali kemurkaan-Nya. Dan sekarang mereka telah sukses menunaikan itu semua tinggal menunggu harapan itu jadi kenyataan, maka Allah pun akan memanggil para ahli puasa di dunia itu dari pintu khusus yang bernama “Bab ar-Rayyan”, pintu surga yang tidak akan dibukakan kepada siapapun kecuali bagi para Ahli Puasa.

Ikhwatu Iman Rahimakumullah!

Sebagaimana kita Yakini bahwa dalam ibadah puasa Ramadhan yang agung itu terdapat banyak sekali pendidikan ilahi kepada umat manusia. Karena itu saat puasa Ramadhan adalah saatnya seluruh umat beriman mendapat tarbiyah ilahiyah (pendidikan ilahi) secara langsung. Yang buah dari pendidikan itu adalah para sarjana dan alumni Ramadhan yang handal. Yang mempunyai semangat dan ruh pejuang Tangguh untuk memikul beban pengorbanan demi meraih kebahagiaan sejati di yaumul akhir nanti. Di antara ruh atau spirit penting yang dibangun melalui tarbiyah ilahiyyah dalam puasa Ramadhan adalah membangun “semangat kepeloporan”, “semangat inisiatif”, atau “ar-ruh al-mubaadarah war-raaidah.”

Dengan bulan Ramadhan kita dibiasakan untuk selalu bersemangat, bersegera dan berlomba dalam melaksanakan kebaikan. Bukankah kita berlomba dengan waktu agar dapat melaksanakan makan sahur sebelum terbit fajar, menyegerakan berbuka di saat sudah terbenam matahari, bersegera menuju masjid untuk shalat berjamaah, berlomba dalam bersedekah, berlomba dalam mengkhatamkan al-Quran, berlomba dalam segala kebaikan. Ar-Ruh al-Mubaadarah atau semangat untuk selalu memelopori dan mengambil inisiatif dalam kebaikan itu merupakan salah satu yang ingin saya sampaikan dalam kesempatan khutbah yang penting ini.

Mengapa demikian, sebab salah satu prasyarat penting dari kejayaan satu umat adalah mempunyai semangat kepeloporan, semangat inisiatif, dan semangat inovatif untuk menjadi umat yang terdepan dan menjadi contoh dari teladan bagi umat yang lainnya. Suatu umat akan mempunyai jiwa kepeloporan yang bersemangat memimpin atas umat yang lain, manakala ia mempunyai ajaran, ideologi, dan pedoman hidup yang agung, luhur dan suci. Kemudian ia mempunyai kesadaran yang kuat akan misi agung yang diembannya itu, dan kesadaran atas amanah besar yang jadi tanggung jawabnya.

Adakah di muka bumi ini, satu umat yang diberi warisan ajaran yang begini mulia dan luhur melebihi apa yang telah Allah dan Rasulullah berikan kepada kita sebagai umat Islam? Adakah satu umat dan bangsa yang diberi amanah begitu besar dan agung melebihi amanah yang Allah pikulkan kepada kita sebagai umat Nabi akhir zaman ini? Allah telah memilih kita, umat Nabi Muhammad sebagai para pemikul warisan agung dari nubuwwah dan risalah para Nabi Allah sepanjang zaman. Sebagaimana Allah firmankan:

ثُمَّ اَوْرَثْنَا الْكِتٰبَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَاۚ فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهٖ ۚوَمِنْهُمْ مُّقْتَصِدٌ ۚوَمِنْهُمْ سَابِقٌۢ بِالْخَيْرٰتِ بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيْرُۗ .

Kemudian, Kitab Suci itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami. Lalu, di antara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan, dan ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Itulah (dianugerahkannya kitab suci adalah) karunia yang besar. Qs. Fathir [35]: 32.

Pada ayat di atas dengan tegas Allah firmankan bahwa Allah telah mewariskan kitab itu kepada hamba-hamba pilihan-Nya. Yang dimaksud kitab itu tidak lain dan tidak bukan adalah kitab al-Quran yang di dalamnya seluruh ajaran kitab para Nabi terdahulu telah tercakup, demikian juga semua ajarannya telah diterangkan, dipraktikkan, didakwahkan dan diperjuangkan oleh Rasulullah beserta para sahabatnya yang setia. Dan yang dimaksud hamba-hamba yang dipilih Allah adalah para pengikut Nabi Muhammad Saw yang di antaranya adalah kita yang masih hidup di zaman sekarang ini.

Allah telah mengistimewakan kita sebagai umat akhir zaman yang dipilih untuk melanjutkan misi suci para Nabi dan memikul tanggung jawab amanah yang besar pelanjut risalah para Rasul Allah. Karena itulah Allah telah memberi karunia kepada umat Nabi Muhammad ini dengan “tiga gelar kemuliaan”.

Pertama, Allah menggelari kita, umat Islam dengan gelar “Khairu Ummah” yang maknanya adalah umat terbaik dari semua umat yang pernah ada di muka bumi hingga hari kiamat.

كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ وَلَوْ اٰمَنَ اَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ ۗ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَكْثَرُهُمُ الْفٰسِقُوْنَ.

Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kamu menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Seandainya Ahlulkitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik. Qs. Ali Imran [3]: 110.

Kedua, Allah menggelari umat Islam dengan sebutan “Ummatan Wasathan”, yaitu umat pertengahan atau umat yang moderat dalam segala hal.

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ.

Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Qs. Al-Baqarah [2]: 143.

Ketiga, Allah menggelari umat Islam dengan gelar “Ummatan Wahidatan”, yaitu umat yang satu. Satu aqidah, satu pedoman hidup, satu syari’at agama, yaitu Dinul Islam.

اِنَّ هٰذِهٖٓ اُمَّتُكُمْ اُمَّةً وَّاحِدَةًۖ وَّاَنَا۠ رَبُّكُمْ فَاعْبُدُوْنِ.

Sesungguhnya ini (agama tauhid) adalah agamamu, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu. Maka, sembahlah Aku. Qs. Al-Anbiya [21]: 92.

Sebagai “Khairu Ummah” misi umat Islam yang utama adalah berdakwah, yaitu menyeru manusia kepada Allah dan menegakkan amar ma’ruf nahyi munkar dalam segala aspek. Baik itu aqidah, ibadah, akhlaq, mu’amalah dan sebagainya. Tidak ada kedudukan dan gelar yang paling tinggi bagi suatu umat kecuali gelar sebagai “Umat Pendakwah”. Karena dakwah itu pada asalnya adalah misi eksklusif atau misi khusus para Rasul, manusia pilihan Allah yang diberi keistimewaan mukjizat, wahyu dan kemaksuman. Maka setelah berakhirnya masa nubuwwah dan risalah, kewajiban dan tugas dakwah itu menjadi tanggung jawab umat Islam pilihan Allah. Padahal Allah Swt firmankan, “Siapakah manusia yang paling mulia perkataan (kedudukan dan tugasnya) dibanding orang yang berdakwah ke jalan Allah …?” (Qs. Fushshilat: 33). Karena itulah umat Islam wajib menjadi umat dakwah secara kolektif menggantikan posisi para Nabi dan Rasul, yang tentu saja wajib meniru dan meneladani kepribadian mereka secara keseluruhan.

Sebagai “Ummatan Wasathan” misi utama umat Islam adalah menjadi saksi atas umat manusia di dunia dan di akhirat atas keimanan dan kekafiran mereka, demikian juga menjadi saksi dalam membuktikan keagungan dan kemuliaan ajaran Islam. Yaitu membuktikan keagungan Islam dari ajaran menjadi kenyataan, dari teori menjadi praktek, dari cerita menjadi karya. Sayang sekali dalam kenyataannya kita sebagai umat Nabi Muhammad lebih sering menjadi “umat pengkhiyanat” alias umat yang senang bercerita masa lampau daripada mewujudkan kejayaan Islam masa kini. Kita sering terbuai dengan ungkapan hadis Nabi bahwa sebaik-baik zaman adalah tiga zaman permulaan Islam, namun kita melalaikan tanggung jawab dan visi kita ke depan untuk menjadi pembukti-pembukti kejayaan Islam. Sehingga kelemahan terpenting pada umat saat ini adalah kelemahannya dalam mempersiapkan, me-manage dan men-design perjuangan guna mencapai kejayaan masa depan.

Mengenang, mencintai dan meneladani generasi terdahulu yang disebut sebagai generasi “salafush shalih” adalah suatu kemestian dalam menjaga kemurnian ajaran Islam yang lurus, tetapi memahami dan menyikapi kondisi masa kini serta mempersiapkan segala perangkat kejayaan masa depan juga suatu kewajiban yang tidak kalah pentingnya. Kita tidak boleh beku menjadi generasi umat yang selalu berrnostalgia dengan kejayaan masa lampau, tapi buta terhadap realitas zaman yang sedang dijalani, apalagi lupa dan tidak paham bagaimana membentangkan jalan perjuangan menuju keemas an masa yang akan datang. Untuk itulah al-Qur’an mengingatkan kita dengan tepat:

تِلْكَ اُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَّا كَسَبْتُمْ ۚ وَلَا تُسْـَٔلُوْنَ عَمَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ.

Itulah umat yang telah lalu. Baginya apa yang telah mereka usahakan dan bagimu apa yang telah kamu usahakan. Kamu tidak akan diminta pertanggungjawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan. Qs. Al-Baqarah [2]: 134.

Sehebat apapun umat pendahulu kita, kita tidak dapat mendompleng kemuliaannya hanya dengan menceritakan dan memuja-mujanya tanpa meneladani bagaimana caranya mereka dapat mencapai kejayaan setinggi itu di dunia dan di akhirat. Oleh sebab itu, sebagai “Ummatan Wasathan” kita tidak baik terus menerus dibebani kejayaan masa lampau sehingga senang bercerita nostalgia dan romantisme sejarah. Sehingga kita larut dalam gerakan yang ingin memutar arah jarum jam sejarah ke belakang dan menyalahkan segala macam yang ada di masa sekarang. Kejayaan masa lampau harus kita jadikan landasan keteladanan untuk menghadapi masa sekarang dan masa depan. Sehingga gerakan dakwah kita berpijak kepada dua rel: Kemurnian dalam prinsip dan ajaran serta dinamis dan inovatif dalam pemikiran dan gerakan.

Ikhwatu Iman Rahimakumullah!

Sebagai “Ummatan Wahidah” misi dan tanggung jawab utama kita adalah mewujudkan ukhuwwah islamiyyah, membangun kesatuan, dan persatuan umat sehingga menjadi umat yang benar-benar Bersatu, kuat dan tidak terpecah belah.

Saat ini tidak ada nestapa yang paling menyedihkan sekaligus menghinakan yang menimpa umat Islam dunia selain nestapa perpecahan. Perpecahan umat yang bukan hanya dalam batas pertentangan madzhab dan perbedaan pendapat dalam urusan ijtihadiyyah, tetapi perpecahan sampai pada pertumpahan darah yang tidak dapat terhitung lagi jumlahnya.

Perpecahan dan peperangan inilah yang Sekarang sedang menjadi adzab kepada umat pewaris para Nabi ini, yang dengan perpecahan ini hilanglah kewibawaannya di hadapan umat yang lain; hilanglah kesempatan untuk menunaikan misi sebagai umat terbaik yang menyeru umat lain untuk menerima keagungan ajaran Islam; hilanglah peluang untuk menjadi umat penengah yang ditiru dan diteladani umat lain. Yang ada adalah kehancuran dan kemunduran di banyak aspek kehidupan. Kerusakan moral dan akhlaq, kemunduran di bidang sains dan teknologi, keterbelakangan di bidang ekonomi dan pendidikan.

Kalaupun sekarang ada fenomena bangsa-bangsa yang berbondong-bondong memeluk Islam, dapat dikatakan itu bukanlah jasa dakwah umat Islam sebagai ummatan wasathan, tetapi lebih dikarenakan anak bangsa-bangsa itu sendiri yang mencari kebenaran dari sumber Islam itu sendiri, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Nabi, meskipun mereka kesulitan mencari fakta dan kenyataan dari kehidupan masyarakat muslim di negeri-negeri mereka sendiri.

Penyebab perpecahan tentu saja banyak sekali, dari musuh-musuh Islam dan juga dari dalam egoisme umat Islam itu sendiri. Tidaklah pada tempatnya kalau kita selalu menyalahkan penderitaan dan kemunduran dunia Islam itu kepada kejahatan musuh-musuh Islam, tetapi melupakan factor terbesar adalah kelemahan dan kebodohan internal umat Islam kita sendiri. Kalaupun perpecahan umat Islam itu adalah karena rekayasa dan kejahatan musuh-musuh Islam dari luar, lalu apakah salahnya mereka? Bukankah itu memang telah menjadi tugas dan misi hidup mereka pula sebagai musuh-musuh para Rasul. Bukankah al-Qur’an dan Sunnah Nabi telah memberitakan dengan gamblang bahwa setiap pembawa tugas risalah para Rasul akan senantiasa dihadang oleh musuh dari bangsa jin dan bangsa manusia, akan tetapi selama para pengikut Rasul itu berpegang teguh kepada ajaran agamanya secara konsisten, menunaikan misi dan amanahnya secara istiqamah, niscaya tidak akan memberi mudharat apapun rekayasa dan tipu daya musuh-musuh Allah. al-Qur’an menegaskan:

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu! Orang yang sesat itu tidak akan memberimu mudarat apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, lalu Dia akan menerangkan kepadamu apa yang selama ini kamu kerjakan.” Qs. Al-Maidah [5]: 105.

Demikian juga peringatan Nabi kita yang mulia bahwa umatnya ini tidak akan pernah tersesat selamanya sepanjang mereka berpegang teguh kepada kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya.

Maka kemunduran dan kelemahan kita lebih banyak disebabkan oleh kelemahan internal diri umat kita sendiri. Inilah yang telah diisyaratkan pada surat Fathir ayat 32 di atas, bahwa di tengah umat Islam para pewaris Kitab ini masih banyak “yang zhalim terhadap dirinya sendiri”, yaitu generasi yang jangankan memikirkan nasib Islam dan masa depan kejayaan umatnya, menunaikan kewajiban pokok agama dan meninggalkan yang diharamkan saja tidak. Sebagian lagi sudah masuk tahapan pertengahan, yang disebut sebagai golongan “muqtashidun” tanggung jawab terhadap kewajiban dan meninggalkan yang haram, tetapi belum suka menunaikan yang sunnah dan meninggalkan yang tercela. Sedang yang diperintahkan Allah kepada kita sebagai umat terbaik adalah kita menjadi golongan “saabiqun bil-khairaat”, yaitu generasi istimewa yang mempunyai semangat dan ruh kepeloporan, berjiwa inisiator dan innovator dalam memotori kebajikan dan kemajuan umat. Generasi umat yang punya komitmen dalam menunaikan kewajiban, menjaga sunnah, mencegah yang mungkar dan haram, serta tidak menolerir merajalelanya perbuatan kemakruhan dan hanya pandai mengekor, menjiplak dan membebek masa lampau tanpa menangkap ruh dan esensinya, apalagi hanya meniru dan mengekor bangsa lain.

Allah menjanjikan bahwa generasi umat yang saabiqun bil-khairaat inilah yang membawa kejayaan Islam di sepanjang zaman sebagai karunianya yang terbesar di dunia maupun di akhirat. Oleh sebab itu, harapan terbesar kita paska Ramadhan ini adalah semoga kita terlahir menjadi generasi baru dengan semangat, ruh dan spirit baru, menjadi pribadi-pribadi pelopor yang menjadi inspirator bagi kejayaan Islam dan umatnya pada tataran pribadi, keluarga, tetangga, maupun masyarakat pada umumnya.

Tidak ada kebahagiaan dan kesuksesan yang paling besar dibandingkan kita mampu terlahir menjadi generasi umat yang berjiwa saabiqun bil-khairaat, karena mereka inilah generasi istimewa yang tidak pernah bisa menjadi mayoritas di tengah umat, keberadaan mereka senantiasa sedikit tetapi menjadi saripatinya umat, mereka senantiasa minoritas tetapi mampu mewarnai mayoritas dan mampu menjadi garam yang memberi cita rasa kepada masyarakat. Al-Qur’an menyatakan:

وَالسّٰبِقُوْنَ السّٰبِقُوْنَۙ اُولٰۤىِٕكَ الْمُقَرَّبُوْنَۚ فِيْ جَنّٰتِ النَّعِيْمِ ثُلَّةٌ مِّنَ الْاَوَّلِيْنَۙ وَقَلِيْلٌ مِّنَ الْاٰخِرِيْنَۗ.

10.  Selain itu, (golongan ketiga adalah) orang-orang yang paling dahulu (beriman). Merekalah yang paling dahulu (masuk surga). 11.   Mereka itulah orang-orang yang didekatkan (kepada Allah). 12.   (Mereka) berada dalam surga (yang penuh) kenikmatan. 13.   (Mereka adalah) segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu. 14.   dan sedikit dari orang-orang yang (datang) kemudian. Qs. Al-Waqi’ah [56]: 10-14.

Akhirnya kita memohon kepada Allah Swt semoga kita diberi karunia untuk menggapai martabat saabiqun bil-khairaat yang mampu meneladani generasi as-saabiquunal-awwaluun.

Oleh: KH. DR. JEJE ZAENUDIN, M.Ag (KETUA UMUM PP PERSIS)

Ditulis ulang oleh: Hanafi Anshory

Bersumber dari: RISALAH NO. 3 TH. 56 JUNI 2018 hlm. 54-60, KHUTBAH IDUL FITRI.

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama