Mengawali khutbah pada hari ini,
saya mengajak segenap jama’ah untuk bersama memanjatkan puji dan syukur kita
yang setulus-tulusnya ke hadirat Allah Swt., yang limpahan nikmat karunia-Nya tidak
mungkin dapat dihitung dengan ilmu yang kita miliki dan tidak mungkin dapat
didata dengan angka yang ada pada manusia. Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan
yang berhak disembah dan ditaati selain Allah subhanahu wa ta’ala dan saya
bersaksi bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Rasul-Nya
yang terakhir.
Tiada hari yang amat
membahagiakan bagi seorang mukmin yang menunaikan ibadah puasa melebihi
kebahagiaan hari raya dan sebagaimana kebahagiaan yang kita rasakan setiap hari
berbuka. Dan kita yakin kita akan merayakan kebahagiaan kita yang terbesar dari
buah ibadah puasa kit aini di suatu hari yang amat istimewa, yaitu hari
berjumpanya kita dengan Allah Swt., hari dimana semua manusia digiring menuju
“Pengadilan Ilahi”, sebagaimana Rasul yang mulia menyatakan:
وَلِلصَّائِمِ
فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ بِفِطْرِهِ وَإِذَا لَقِيَ
رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ. صحيح مسلم.
Dan bagi yang berpuasa itu ada
dua kebahagiaan yang ia akan bergembira dengannya, yaitu ia bergembira di saat
berbuka puasa dan bergembira ketika ia berjumpa Tuhannya ia bergembira dengan
puasanya.
Pada hari perjumpaan dengan Allah
itulah wajah orang-orang yang pendurhaka akan hitam kelam penuh ketakutan dan
kehinaan, bertolak belakang dengan wajahnya orang-orang beriman dan beramal shaleh
yang berseri-seri dan bersinar penuh harapan berjumpa dengan Tuhannya yang amat
dicintainya. Allah menggambarkannya:
وُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍ نَّاضِرَةٌۙ اِلٰى رَبِّهَا
نَاظِرَةٌ ۚ وَوُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍۢ بَاسِرَةٌۙ تَظُنُّ اَنْ يُّفْعَلَ بِهَا
فَاقِرَةٌ ۗ.
22. Wajah-wajah (orang
mukmin) pada hari itu berseri-seri. 23.
(karena) memandang Tuhannya. 24.
Wajah-wajah (orang kafir) pada hari itu muram. 25. (karena) mereka yakin akan ditimpakan
kepadanya malapetaka yang sangat dahsyat. Qs. Al-Qiyamah [75]: 22-25.
Dan di
antara penyebab kebahagiaan berjumpanya orang-orang mukmin dengan Allah adalah
karena mereka berpuasa. Bukankah orang-orang yang berpuasa itu bersusah payah
menahan lapar dan dahaga serta syahwat dan nafsu mereka selama puasa di dunia
tidak ada yang diharapkan kecuali keridhaan Tuhannya, dan tidak ada yang
ditakutkan kecuali kemurkaan-Nya. Dan sekarang mereka telah sukses menunaikan
itu semua tinggal menunggu harapan itu jadi kenyataan, maka Allah pun akan
memanggil para ahli puasa di dunia itu dari pintu khusus yang bernama “Bab
ar-Rayyan”, pintu surga yang tidak akan dibukakan kepada siapapun kecuali bagi
para Ahli Puasa.
Ikhwatu Iman
Rahimakumullah!
Sebagaimana
kita Yakini bahwa dalam ibadah puasa Ramadhan yang agung itu terdapat banyak
sekali pendidikan ilahi kepada umat manusia. Karena itu saat puasa Ramadhan
adalah saatnya seluruh umat beriman mendapat tarbiyah ilahiyah (pendidikan
ilahi) secara langsung. Yang buah dari pendidikan itu adalah para sarjana dan
alumni Ramadhan yang handal. Yang mempunyai semangat dan ruh pejuang Tangguh
untuk memikul beban pengorbanan demi meraih kebahagiaan sejati di yaumul akhir
nanti. Di antara ruh atau spirit penting yang dibangun melalui tarbiyah
ilahiyyah dalam puasa Ramadhan adalah membangun “semangat kepeloporan”,
“semangat inisiatif”, atau “ar-ruh al-mubaadarah war-raaidah.”
Dengan bulan
Ramadhan kita dibiasakan untuk selalu bersemangat, bersegera dan berlomba dalam
melaksanakan kebaikan. Bukankah kita berlomba dengan waktu agar dapat melaksanakan
makan sahur sebelum terbit fajar, menyegerakan berbuka di saat sudah terbenam
matahari, bersegera menuju masjid untuk shalat berjamaah, berlomba dalam
bersedekah, berlomba dalam mengkhatamkan al-Quran, berlomba dalam segala
kebaikan. Ar-Ruh al-Mubaadarah atau semangat untuk selalu memelopori dan
mengambil inisiatif dalam kebaikan itu merupakan salah satu yang ingin saya
sampaikan dalam kesempatan khutbah yang penting ini.
Mengapa
demikian, sebab salah satu prasyarat penting dari kejayaan satu umat adalah
mempunyai semangat kepeloporan, semangat inisiatif, dan semangat inovatif untuk
menjadi umat yang terdepan dan menjadi contoh dari teladan bagi umat yang
lainnya. Suatu umat akan mempunyai jiwa kepeloporan yang bersemangat memimpin
atas umat yang lain, manakala ia mempunyai ajaran, ideologi, dan pedoman hidup
yang agung, luhur dan suci. Kemudian ia mempunyai kesadaran yang kuat akan misi
agung yang diembannya itu, dan kesadaran atas amanah besar yang jadi tanggung
jawabnya.
Adakah di
muka bumi ini, satu umat yang diberi warisan ajaran yang begini mulia dan luhur
melebihi apa yang telah Allah dan Rasulullah berikan kepada kita sebagai umat
Islam? Adakah satu umat dan bangsa yang diberi amanah begitu besar dan agung
melebihi amanah yang Allah pikulkan kepada kita sebagai umat Nabi akhir zaman
ini? Allah telah memilih kita, umat Nabi Muhammad sebagai para pemikul warisan
agung dari nubuwwah dan risalah para Nabi Allah sepanjang zaman. Sebagaimana
Allah firmankan:
ثُمَّ اَوْرَثْنَا الْكِتٰبَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْنَا
مِنْ عِبَادِنَاۚ فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهٖ ۚوَمِنْهُمْ مُّقْتَصِدٌ
ۚوَمِنْهُمْ سَابِقٌۢ بِالْخَيْرٰتِ بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ
الْكَبِيْرُۗ .
Kemudian,
Kitab Suci itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara
hamba-hamba Kami. Lalu, di antara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada
yang pertengahan, dan ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin
Allah. Itulah (dianugerahkannya kitab suci adalah) karunia yang besar. Qs. Fathir
[35]: 32.
Pada ayat di
atas dengan tegas Allah firmankan bahwa Allah telah mewariskan kitab itu kepada
hamba-hamba pilihan-Nya. Yang dimaksud kitab itu tidak lain dan tidak bukan
adalah kitab al-Quran yang di dalamnya seluruh ajaran kitab para Nabi terdahulu
telah tercakup, demikian juga semua ajarannya telah diterangkan, dipraktikkan,
didakwahkan dan diperjuangkan oleh Rasulullah beserta para sahabatnya yang
setia. Dan yang dimaksud hamba-hamba yang dipilih Allah adalah para pengikut
Nabi Muhammad Saw yang di antaranya adalah kita yang masih hidup di zaman
sekarang ini.
Allah telah
mengistimewakan kita sebagai umat akhir zaman yang dipilih untuk melanjutkan
misi suci para Nabi dan memikul tanggung jawab amanah yang besar pelanjut
risalah para Rasul Allah. Karena itulah Allah telah memberi karunia kepada umat
Nabi Muhammad ini dengan “tiga gelar kemuliaan”.
Pertama, Allah
menggelari kita, umat Islam dengan gelar “Khairu Ummah” yang maknanya adalah
umat terbaik dari semua umat yang pernah ada di muka bumi hingga hari kiamat.
كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ
بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ وَلَوْ
اٰمَنَ اَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ ۗ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ
وَاَكْثَرُهُمُ الْفٰسِقُوْنَ.
Kamu (umat
Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kamu menyuruh
(berbuat) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.
Seandainya Ahlulkitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara
mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik. Qs. Ali Imran
[3]: 110.
Kedua, Allah
menggelari umat Islam dengan sebutan “Ummatan Wasathan”, yaitu umat pertengahan
atau umat yang moderat dalam segala hal.
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا
لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ
شَهِيْدًا ۗ.
Demikian pula
Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan agar kamu menjadi
saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi
Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Qs. Al-Baqarah [2]: 143.
Ketiga, Allah
menggelari umat Islam dengan gelar “Ummatan Wahidatan”, yaitu umat yang satu.
Satu aqidah, satu pedoman hidup, satu syari’at agama, yaitu Dinul Islam.
اِنَّ هٰذِهٖٓ اُمَّتُكُمْ اُمَّةً وَّاحِدَةًۖ
وَّاَنَا۠ رَبُّكُمْ فَاعْبُدُوْنِ.
Sesungguhnya
ini (agama tauhid) adalah agamamu, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu.
Maka, sembahlah Aku. Qs. Al-Anbiya [21]: 92.
Sebagai
“Khairu Ummah” misi umat Islam yang utama adalah berdakwah, yaitu menyeru
manusia kepada Allah dan menegakkan amar ma’ruf nahyi munkar dalam segala
aspek. Baik itu aqidah, ibadah, akhlaq, mu’amalah dan sebagainya. Tidak ada
kedudukan dan gelar yang paling tinggi bagi suatu umat kecuali gelar sebagai
“Umat Pendakwah”. Karena dakwah itu pada asalnya adalah misi eksklusif atau
misi khusus para Rasul, manusia pilihan Allah yang diberi keistimewaan
mukjizat, wahyu dan kemaksuman. Maka setelah berakhirnya masa nubuwwah dan
risalah, kewajiban dan tugas dakwah itu menjadi tanggung jawab umat Islam
pilihan Allah. Padahal Allah Swt firmankan, “Siapakah manusia yang paling
mulia perkataan (kedudukan dan tugasnya) dibanding orang yang berdakwah ke
jalan Allah …?” (Qs. Fushshilat: 33). Karena itulah umat Islam wajib
menjadi umat dakwah secara kolektif menggantikan posisi para Nabi dan Rasul,
yang tentu saja wajib meniru dan meneladani kepribadian mereka secara keseluruhan.
Sebagai
“Ummatan Wasathan” misi utama umat Islam adalah menjadi saksi atas umat manusia
di dunia dan di akhirat atas keimanan dan kekafiran mereka, demikian juga
menjadi saksi dalam membuktikan keagungan dan kemuliaan ajaran Islam. Yaitu
membuktikan keagungan Islam dari ajaran menjadi kenyataan, dari teori menjadi
praktek, dari cerita menjadi karya. Sayang sekali dalam kenyataannya kita
sebagai umat Nabi Muhammad lebih sering menjadi “umat pengkhiyanat” alias umat
yang senang bercerita masa lampau daripada mewujudkan kejayaan Islam masa kini.
Kita sering terbuai dengan ungkapan hadis Nabi bahwa sebaik-baik zaman adalah
tiga zaman permulaan Islam, namun kita melalaikan tanggung jawab dan visi kita
ke depan untuk menjadi pembukti-pembukti kejayaan Islam. Sehingga kelemahan
terpenting pada umat saat ini adalah kelemahannya dalam mempersiapkan, me-manage
dan men-design perjuangan guna mencapai kejayaan masa depan.
Mengenang,
mencintai dan meneladani generasi terdahulu yang disebut sebagai generasi “salafush
shalih” adalah suatu kemestian dalam menjaga kemurnian ajaran Islam yang lurus,
tetapi memahami dan menyikapi kondisi masa kini serta mempersiapkan segala
perangkat kejayaan masa depan juga suatu kewajiban yang tidak kalah pentingnya.
Kita tidak boleh beku menjadi generasi umat yang selalu berrnostalgia dengan
kejayaan masa lampau, tapi buta terhadap realitas zaman yang sedang dijalani,
apalagi lupa dan tidak paham bagaimana membentangkan jalan perjuangan menuju keemas
an masa yang akan datang. Untuk itulah al-Qur’an mengingatkan kita dengan
tepat:
تِلْكَ اُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ
مَّا كَسَبْتُمْ ۚ وَلَا تُسْـَٔلُوْنَ عَمَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ.
Itulah umat
yang telah lalu. Baginya apa yang telah mereka usahakan dan bagimu apa yang
telah kamu usahakan. Kamu tidak akan diminta pertanggungjawaban tentang apa
yang telah mereka kerjakan. Qs. Al-Baqarah [2]: 134.
Sehebat apapun
umat pendahulu kita, kita tidak dapat mendompleng kemuliaannya hanya dengan
menceritakan dan memuja-mujanya tanpa meneladani bagaimana caranya mereka dapat
mencapai kejayaan setinggi itu di dunia dan di akhirat. Oleh sebab itu, sebagai
“Ummatan Wasathan” kita tidak baik terus menerus dibebani kejayaan masa lampau
sehingga senang bercerita nostalgia dan romantisme sejarah. Sehingga kita larut
dalam gerakan yang ingin memutar arah jarum jam sejarah ke belakang dan
menyalahkan segala macam yang ada di masa sekarang. Kejayaan masa lampau harus
kita jadikan landasan keteladanan untuk menghadapi masa sekarang dan masa
depan. Sehingga gerakan dakwah kita berpijak kepada dua rel: Kemurnian dalam
prinsip dan ajaran serta dinamis dan inovatif dalam pemikiran dan gerakan.
Ikhwatu Iman
Rahimakumullah!
Sebagai “Ummatan
Wahidah” misi dan tanggung jawab utama kita adalah mewujudkan ukhuwwah islamiyyah,
membangun kesatuan, dan persatuan umat sehingga menjadi umat yang benar-benar Bersatu,
kuat dan tidak terpecah belah.
Saat ini tidak
ada nestapa yang paling menyedihkan sekaligus menghinakan yang menimpa umat
Islam dunia selain nestapa perpecahan. Perpecahan umat yang bukan hanya dalam
batas pertentangan madzhab dan perbedaan pendapat dalam urusan ijtihadiyyah,
tetapi perpecahan sampai pada pertumpahan darah yang tidak dapat terhitung lagi
jumlahnya.
Perpecahan dan
peperangan inilah yang Sekarang sedang menjadi adzab kepada umat pewaris para
Nabi ini, yang dengan perpecahan ini hilanglah kewibawaannya di hadapan umat
yang lain; hilanglah kesempatan untuk menunaikan misi sebagai umat terbaik yang
menyeru umat lain untuk menerima keagungan ajaran Islam; hilanglah peluang
untuk menjadi umat penengah yang ditiru dan diteladani umat lain. Yang ada
adalah kehancuran dan kemunduran di banyak aspek kehidupan. Kerusakan moral dan
akhlaq, kemunduran di bidang sains dan teknologi, keterbelakangan di bidang
ekonomi dan pendidikan.
Kalaupun sekarang
ada fenomena bangsa-bangsa yang berbondong-bondong memeluk Islam, dapat
dikatakan itu bukanlah jasa dakwah umat Islam sebagai ummatan wasathan, tetapi
lebih dikarenakan anak bangsa-bangsa itu sendiri yang mencari kebenaran dari
sumber Islam itu sendiri, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Nabi, meskipun mereka
kesulitan mencari fakta dan kenyataan dari kehidupan masyarakat muslim di
negeri-negeri mereka sendiri.
Penyebab perpecahan
tentu saja banyak sekali, dari musuh-musuh Islam dan juga dari dalam egoisme umat
Islam itu sendiri. Tidaklah pada tempatnya kalau kita selalu menyalahkan
penderitaan dan kemunduran dunia Islam itu kepada kejahatan musuh-musuh Islam,
tetapi melupakan factor terbesar adalah kelemahan dan kebodohan internal umat
Islam kita sendiri. Kalaupun perpecahan umat Islam itu adalah karena rekayasa
dan kejahatan musuh-musuh Islam dari luar, lalu apakah salahnya mereka? Bukankah
itu memang telah menjadi tugas dan misi hidup mereka pula sebagai musuh-musuh
para Rasul. Bukankah al-Qur’an dan Sunnah Nabi telah memberitakan dengan gamblang
bahwa setiap pembawa tugas risalah para Rasul akan senantiasa dihadang oleh
musuh dari bangsa jin dan bangsa manusia, akan tetapi selama para pengikut
Rasul itu berpegang teguh kepada ajaran agamanya secara konsisten, menunaikan
misi dan amanahnya secara istiqamah, niscaya tidak akan memberi mudharat apapun
rekayasa dan tipu daya musuh-musuh Allah. al-Qur’an menegaskan:
“Wahai
orang-orang yang beriman, jagalah dirimu! Orang yang sesat itu tidak akan
memberimu mudarat apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu
kembali semuanya, lalu Dia akan menerangkan kepadamu apa yang selama ini kamu
kerjakan.” Qs. Al-Maidah [5]: 105.
Demikian juga
peringatan Nabi kita yang mulia bahwa umatnya ini tidak akan pernah tersesat
selamanya sepanjang mereka berpegang teguh kepada kitab Allah dan sunnah
Rasul-Nya.
Maka kemunduran
dan kelemahan kita lebih banyak disebabkan oleh kelemahan internal diri umat
kita sendiri. Inilah yang telah diisyaratkan pada surat Fathir ayat 32 di atas,
bahwa di tengah umat Islam para pewaris Kitab ini masih banyak “yang zhalim
terhadap dirinya sendiri”, yaitu generasi yang jangankan memikirkan nasib Islam
dan masa depan kejayaan umatnya, menunaikan kewajiban pokok agama dan
meninggalkan yang diharamkan saja tidak. Sebagian lagi sudah masuk tahapan
pertengahan, yang disebut sebagai golongan “muqtashidun” tanggung jawab
terhadap kewajiban dan meninggalkan yang haram, tetapi belum suka menunaikan
yang sunnah dan meninggalkan yang tercela. Sedang yang diperintahkan Allah
kepada kita sebagai umat terbaik adalah kita menjadi golongan “saabiqun
bil-khairaat”, yaitu generasi istimewa yang mempunyai semangat dan ruh
kepeloporan, berjiwa inisiator dan innovator dalam memotori kebajikan dan
kemajuan umat. Generasi umat yang punya komitmen dalam menunaikan kewajiban,
menjaga sunnah, mencegah yang mungkar dan haram, serta tidak menolerir merajalelanya
perbuatan kemakruhan dan hanya pandai mengekor, menjiplak dan membebek masa
lampau tanpa menangkap ruh dan esensinya, apalagi hanya meniru dan mengekor
bangsa lain.
Allah menjanjikan
bahwa generasi umat yang saabiqun bil-khairaat inilah yang membawa kejayaan Islam
di sepanjang zaman sebagai karunianya yang terbesar di dunia maupun di akhirat.
Oleh sebab itu, harapan terbesar kita paska Ramadhan ini adalah semoga kita
terlahir menjadi generasi baru dengan semangat, ruh dan spirit baru, menjadi pribadi-pribadi
pelopor yang menjadi inspirator bagi kejayaan Islam dan umatnya pada tataran
pribadi, keluarga, tetangga, maupun masyarakat pada umumnya.
Tidak ada
kebahagiaan dan kesuksesan yang paling besar dibandingkan kita mampu terlahir menjadi
generasi umat yang berjiwa saabiqun bil-khairaat, karena mereka inilah generasi
istimewa yang tidak pernah bisa menjadi mayoritas di tengah umat, keberadaan
mereka senantiasa sedikit tetapi menjadi saripatinya umat, mereka senantiasa
minoritas tetapi mampu mewarnai mayoritas dan mampu menjadi garam yang memberi
cita rasa kepada masyarakat. Al-Qur’an menyatakan:
وَالسّٰبِقُوْنَ السّٰبِقُوْنَۙ اُولٰۤىِٕكَ الْمُقَرَّبُوْنَۚ
فِيْ جَنّٰتِ النَّعِيْمِ ثُلَّةٌ مِّنَ الْاَوَّلِيْنَۙ وَقَلِيْلٌ مِّنَ الْاٰخِرِيْنَۗ.
10. Selain itu, (golongan ketiga adalah)
orang-orang yang paling dahulu (beriman). Merekalah yang paling dahulu (masuk
surga). 11. Mereka itulah orang-orang
yang didekatkan (kepada Allah). 12.
(Mereka) berada dalam surga (yang penuh) kenikmatan. 13. (Mereka adalah) segolongan besar dari
orang-orang yang terdahulu. 14. dan
sedikit dari orang-orang yang (datang) kemudian. Qs. Al-Waqi’ah [56]: 10-14.
Akhirnya kita
memohon kepada Allah Swt semoga kita diberi karunia untuk menggapai martabat
saabiqun bil-khairaat yang mampu meneladani generasi as-saabiquunal-awwaluun.
Oleh: KH. DR.
JEJE ZAENUDIN, M.Ag (KETUA UMUM PP PERSIS)
Ditulis ulang
oleh: Hanafi Anshory
Bersumber dari:
RISALAH NO. 3 TH. 56 JUNI 2018 hlm. 54-60, KHUTBAH IDUL FITRI.
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan