بسم الله الرحمن الرحيم
PRA SEMINAR DAKWAH
“MENGENAL SEJARAH DAN PERKEMBANGAN DEWAN HISBAH SERTA METODOLOGI DAN PRODUK IJTIHADNYA”
Oleh: Faqih Aulia (14.3887 & 06.62)
MUQADDIMAH:
Persatuan Islam yang sejak awal didirikan merupakan sebuah kelompok tadarus atau kelompok kajian dari orang-orang yang prihatin terhadap kondisi akidah, ibadah, dan akhlak ummat, yang tenggelam dalam berbagai perbuatan bid’ah, syirik, dan munkarat lainnya, di bawah pimpinan Zam-zam dan M. Yunus, kemudian membentuk sebuah jam’iyyah dengan misi dan doktrin utama “Ar-Ruju ‘ila al-Qur’an wa as-Sunnah”, dan mengambil peran aktif dalam menunaikan tugas tajdid dalam arti “Islahul Islam, I’adatul Islam Ila Ashliha, dan Ibanah”. Keberadaan Dewan Hisbah sebelumnya bernama Majlis Ulama Persis bisa disebutkan sebagai lanjutan atau mata rantai dari kelompok tadarus atau kajian Islam tersebut di atas.
Majelis Ulama Persis baru resmi terbentuk dalam Muktamar ke XVI yang berlangsung 15-18 Desember 1956 di Bandung atau 33 tahun setelah Persis berdiri. Mengenai fungsi dan kedudukan Majelis Ulama Persis termaktub dalam Qanun Asasi Persis tahun 1957 bab V pasal 1:
a. Persatuan Islam mempunyai Majelis Ulama yang bertugas menyelidiki dan menetapkan hukum-hukum Islam berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah, dan Pusat Pimpinan menyiarkannya.
b. Majelis Ulama diangkat oleh Pimpinan Pusat buat selama-lamanya.
c. Sesuai dengan kedudukannya sebagai Warasatul Anbiya, Majelis Ulama memiliki hak veto (menolak atau membatalkan) segala keputusan dan langkah yang diambil dalam segala instansi organisasi Persatuan Islam.
d. Cara bekerja Majelis Ulama diatur dalam Qaidah Majelis Ulama.
Dalam pasal 2 dinyatakan:
a. Segala keputusan dan atau ketetapan yang diambil oleh Majelis Ulama dalam lapangan hukum agar wajib dipatuhi oleh Pusat Pimpinan dan segenap anggota Persatuan Islam.
b. Instansi Majelis Ulama hanya diadakan oleh Pimpinan Pusat.
c. Cabang-cabang berhak mencalonkan ulama daerahnya kepada Pimpinan Pusat untuk menjadi anggota Mejelis Ulama, disertai riwayat hidup ulama tersebut.
d. Pusat Pimpinan berhak menolak calon yang diajukan itu. (Amien dkk, 2007:151-152)
Dalam Qanun Dakhili hasil Muktamar Pondok Gede 2015 BAB V bagian Pertama mengenai Anggota dan Pimpinan Dewan Hisbah, pasal 31 disebutkan:
1. Anggota Dewan Hisbah diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Umum.
2. Pengangkatan anggota Dewan Hisbah dapat diusulkan oleh Pimpinan Wilayah.
3. Dalam pengangkatan dan pemberhentian anggota Dewan Hisbah, Ketua Umum dapat menyelenggarakan Musyawaah Khusus.
4. Pimpinan Dewan Hisbah terdiri atas Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Ketua-Ketua Komisi.
5. Ketua Dewan Hisbah dipilih oleh para anggota Musyawarah Pimpinan Lengkap Pimpinan Pusat.
6. Untuk kelancaran tugasnya, Pimpinan Dewan Hisbah dapat membuat kaifiat kerja yang disahkan oleh Pimpinan Pusat.
Dalam Qanun Dakhili Bagian Kedua mengenai Tugas dan Fungsi pasal 32 disebutkan:
1. Dewan Hisbah berfungsi sebagai dewan pertimbangan hukum syara’ dalam Jam’iyyah Persis.
2. Dewan Hisbah bertugas melakukan pengkajian syara’ atas berbagai persoalan yang berkembang.
3. Dewan Hisbah bertugas memutuskan persoalan-persoalan syara’ di bidang dakwah, pendidikan, ekonomi, sosial, dan politik.
Dalam Qanun Dakhili Bagian Ketiga mengenai Persidangan pasal 33 disebutkan:
1. Dewan Hisbah melaksanakan sidang sekurang-kurangnya enam bulan sekali.
2. Dewan Hisbah melaksanakan sidang sesuai dengan kebutuhan umat.
3. Dewan Hisbah dapat mengundang Dewan Tafkir, Dewan Hisab dan Rukyat, dan pakar lain di bidangnya.
4. Hasil kajian, penelitian, dan keputusan hukum Dewan Hisbah disosialisasikan oleh Pimpinan Pusat bersama Dewan Hisbah.
Masih dalam Qanun Dakhili bagian Keempat mengenai Kewajiban dan Hak pasal 34 disebutkan:
1. Dewan Hisbah berkewajiban meneliti hukum-hukum Islam.
2. Dewan Hisbah berkewajiban merespon segala persoalan umat yang berkaitan dengan hukum syara’.
3. Dewan Hisbah berkewajiban membuat petunjuk pelaksanaan ibadah untuk keperluan umat.
Dan terakhir dalam Qaidah Dakhili tercantum pada Pasal 35 disebutkan:
1. Dewan Hisbah melaksanakan sidang dengan sepengetahuan Pimpinan Pusat.
2. Dewan Hisbah berhak mengikuti musyawarah Pimpinan Pusat sesuai ketentuan pasal 90. (PP. Persis, 2015:34-36).
Hasil keputusan sidang Dewan Hisbah mengikat bagi anggotanya karena termasuk dalam kewajiban anggota sebagaimana termaktub dalam Qanun Dakhili bagian Kelima mengenai Hak dan Kewajiban Anggota poin 1 huruf d yang berbunyi, “Menaati imamah, imarah, dan melaksanakan taushiyah pimpinan, selama sejalan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah…”. Adapun bagi yang melanggar akan dikenai sanksi sebagaimana termaktub dalam Qanun Dakhili bagian Keenam mengenai Sanksi Organisasi dan Pelaksanaanya pasal 17 butir 1 huruf a yang berbunyi, “Jam’iyyah Persis dapat menjatuhkan sanksi organisatoris terhadap anggota apabila: a. melakukan perbuatan yang bertentangan atau tidak sesuai dengan ajaran Islam menurut al-Qur’an dan as-Sunnah......”. Dalam artian bahwa Dewan Hisbah berkedudukan sebagai “polisi syariah” di internal Persis yang bisa memberi masukan atau pertimbangan kepada ketua umum Persis untuk memberhentikan seseorang dari keanggotaan Persis. (PP. Persis 2015:24&26).
Majelis Ulama pada masa A. Hassan sering ikut membantu Majelis Tarjih Muhammadiyah. Namun pada masa kepemimpinan Persis dijabat oleh E. Abdurrahman tidak lagi membantu Majelis Tarjih karena beliau mengajukan satu syarat yaitu diharuskan seluruh keputusan Mejelis Tarjih ditaati oleh seluruh anggota Muhammadiyah atau mengikat.
Pada perkembangan berikutnya, semenjak Persatuan Islam dipimpin oleh E. Abdurrahman (sejak 1968 sampai wafatnya pada tahun 1983), Dewan Hisbah pernah dijabat oleh A.Q. Hassan tapi kerena kesibukannya, Dewan Hisbah tidak berjalan. Akhirnya Dewan Hisbah dikelola oleh E. Abdurrahman seorang diri baik secara langsung menjawab berbagai permasalahan keumatan pada setiap pengajian atau melalui rubrik Istifta majalah Risalah. Oleh karena itu, peranan Dewan Hisbah sebagai organisasi khusus dalam tubuh Persatuan Islam tidak terlalu nampak ke permukaan.
Hal ini bisa dimengerti, karena E. Abdurrahman disamping sebagai ketua umum Persatuan Islam, juga sebagai ulama yang mumpuni, setidaknya dalam pandangan para anggota Persis pada waktu itu. Bahkan hingga sekarang, disamping fatwa-fatwa A. Hassan yang kini telah berbentuk buku, merupakan pandangan keagamaan Persatuan Islam. Selama kepemimpinan E. Abdurrahman itulah fungsi Dewan Hisbah hampir tidak ada. Hampir semua kajian hukum Islam dilakukan oleh guru kedua setelah A. Hassan ini, sehingga peranan ulama yang lainnya hampir tidak tampak ke permukaan. Pada masa beliaulah yang merubah nama Majelis Ulama menjadi Dewan Hisbah karena nama Majelis Ulama dipakai oleh lembaga negara pada waktu itu (MUI) sampai sekarang.
Alasan Dewan Hisbah tidak difungsikan sebagai lembaga khusus untuk kancah pemikiran hukum Islam dalam keorganisasian Persatuan Islam sebagaimana yang terdapat dalam Ormas Islam lainnya seperti dalam Muhammadiyah maupun NU. E. Abdurrahman memberikan pernyataan bahwa sesungguhnya dalam organisasi Persatuan Islam tidak ada yang namanya suatau majelis khusus untuk melakukan ijtihad. Sebab, semua ketetapan (hukum) adalah hak mutlak Allah dan monopoli Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Manusia hanya berhak memahami serta mendalami saja, itu pun terbatas dalam masalah keduniaan saja (sosial), karena masalah-masalah ibadah sudah cukup jelas seperti yang telah dicontohkan Rasul.
Sebaliknya, dalam pandangan A. Latief Muchtar, justru dengan tidak berfungsinya lembaga Dewan Hisbah tersebut, gerak keorganisasian Persatuan Islam menjadi tidak berpengaruh (tidak dinamis dan yang berpengaruh adalah E. Abdurrahman sendiri). Padahal, peranan lembaga ini sangat diperlukan keberadaannya. Akibat tidak berfungsinya lembaga ini, PP Persis tidak dapat menyelenggarakan musyawarah dalam arti mengkaji hukum-hukum Islam yang melibatkan banyak orang.
Oleh sebab itu, pada masa kepemimpinan A. Latief Muchtar, tepatnya sejak tahun 1983, Dewan Hisbah difungsikan kembali. Selain A.Q. Hassan dari Bangil yang merupakan putera A. Hassan, tercatat pula E. Abdullah yang merupakan adik E. Abdurrahman juga pernah memimpin lembaga ini.
Selama kepemimpinan A. Latief Muchtar, Dewan Hisbah difungsikan secara optimal dengan diadakannya komisi-komisi khusus berdasarkan suatu pertimbangan untuk efektivitas kerja dan pendayagunaan SDM yang ada pada waktu itu. Komisi-komisi tersebut adalah Komisi Ibadah Mahdhah, Komisi Muamalah, Komisi Aliran Sesat. Selogan dari Dewan Hisbah adalah “Menyelamatkan akidah umat dan menyelamatkan umat dalam berakidah. Menyelamatkan ibadah umat dan menyelamatkan umat dalam beribadah”. (Khaeruman, 2005:42-43, al-Ghifari dalam Hisbah 2001:5-17 & Amien dkk, 2007:153).
ULAMA-ULAMA DEWAN HISBAH:
Anggota Majelis Ulama Persis dan Dewan Hisbah Persis dari tahun 1953 (ketika awal dibentuk) sampai 2015 (hasil Muktamar Pondok Gede): M. Tamim (Bogor), A. Hassan (Bangil), A.Q. Hassan (Bangil), E. Abdurrahman (Bandung), Munawar Khalil (Semarang), Hasby as-Shiddiqy (Yogyakarta), Firdaus A.N (Jakarta), I. Sudibja (Bandung), E. Abdullah (Bandung), Abdullah Ahmad (Jakarta), Junus Khadiri (Jakarta), Abdurrafiq (Bandung), Ma’shum (Yogyakarta), Ahmad Mansur (Bandung), Imam Ghazali (Jakarta), Said B. Thalib (Pekalongan), Qomaruddin Shaleh (Bandung), Ali al-Hamidy (Jakarta), Eman Sar’an (Jakarta), M. Syarief Sukandy (Bandung), O. Syamsuddin (Bandung), I. Shodikin (Bandung), A. Hassan (Purwakarta), A. Syuhada (Cianjur), A. Ghazali (Cianjur), Ismail Fikri (Jakarta), Usman Sholehuddin (Bandung), A. Zakaria (Garut), Shidiq Amien (Tasikmalaya), Suraedi (Tasikmalaya), A. Latief Muchtar (Bandung), Ma’shum Nawawi (Majalengka), Nasihin bin Suyuti (Purwakarta), M. Romli (Bandung), M. Nurdin (Jakarta), Abdul Qodir Shodiq (Bandung), Dailami Abu Hurairah (Sapeken), M. Abdurrahman KS (Tasikmalaya), Ahmad Mubin (Jakarta), Ghazi Abdul Kadir (Bangil), Mochtar Soemawikarta (Sukabumi), M. Abdurrahman (Bandung), Luthfi Abdullah Ismail (Bangil), Wawan Shofwan Sholehuddin (Bandung), Entang Muchtar ZA (Garut), M. Taufiq Rahman A. (Jakarta), Uus M. Ruhiyat (Bandung), M. Rahmat Najieb (Bandung), Wawa Surya Hidayat (Bandung), Ade Abdurrahman (Bandung), U. Jalaluddin (Bandung), A. Daeroby (Bandung), Jeje Zaenuddin (Bekasi), Salam Rusyad (Sukabumi), Uu Suhendar (Tasikmalaya), Nashruddin Syarief (Bandung), Hamid Shiddiq (Bandung), Dedeng Rosyidin (Bandung), Amin Muchtar (Bandung), Husen Zaenal M. (Garut), Haris Muslim (Bandung), Teten Romli Qomaruddin (Jakarta), Fatahillah (Bandung), dan Suud Hasanudin (Bandung). (Amien, 2007:152-157, Firdaus, 1984:74 & Persis 2015:201).
THURUQUL ISTINBATH DEWAN HISBAH:
Draf awal Thuruqul Istinbath Dewan Hisbah pertama kali disusun oleh Ustadz A. Zakaria seiring dengan permintaan dari panitia seminar metodelogi pengambilan hukum Islam dari PP. Pemuda Persis pada tahun 1990-an pada acara Temu Ilmiah dan Ta’aruf Nasional. Kemudian draf tersebut di sempurnakan oleh Ust. M. Abdurrahman. Setelah itu disempurnakan lagi oleh tiga kali Sidang Dewan Hisbah sampai tahun 2007; dan dua kali Sidang Lengkap dan sekali Sidang Terbatas yang kemudian menunjuk Komisi khusus untuk menyempurnakan Thuruqul Istinbath ini. Kemudian pada 30-31 Januari 2018 di Pesantren Persis Bangil Pasuruan Jawa Timur diselenggarakn lagi penyempurnaan melalui sebuah Sidang Lengkap dengan mempertimbangkan beberapa masukan dari Majma’ Buhuts Pesantren Persis Bangil.
Thuruqul Istimbat Dewan Hisbah yang disempurnakan ini secara umum terdiri dari empat bahasan utama, yaitu:
1. Al-Ahkaamus Syar’iyyah/hukum-hukum syariat, mencakup pengertian hukum, pembagian hukum, sumber hukum, dan sumber ijtihad.
2. Istinbaathul Ahkam/metode pengambilan hukum, mencakup pembahasan ijtihad, al-qowaaidul ushuuliyyah lughowiyyah/qo’idah-qo’idah ushul kebahasaan, al-qowaa’idul fiqhiyyah/qo’idah-qo’idah fiqih, dan al-maqooshidul syar’iyyah/tujuan-tujuan syariat. Termasuk juga qo’idah-qo’idah seputar asbaabun nuzul dan asbaabul wuurud.
3. Al-Ikhtilaaf wat-Tafarruq/perbedaan fiqih dan pemecahan umat, mencakup macam-macam ikhtilaf, sebab-sebab terjadinya ikhtilaf, menyikapi perbedaan ikhtilaf menyikapi perbedaan pendapat, kemestian penyelesaian masalah nash yang tampak bertentangan, dan penjelasan hadits ikhtilaafu ummatii rahmah.
4. Rumusan Thuruqul Istinbath. Rumusan Thuruqu Istinbath ini adalah:
A. Asas utama yng dijadikan rujukan dalam setiap pengambilan keputusan hukum adalah al-Qur’an dan as-Sunnah.
1) Rumusan dalam beristidlal dengan al-Qur’an adalah sebegai berikut:
a. Mendahulukan zhohir ayat daripada ta’wil dan memilih cara-cara tafwidl dalam hal-hal yang menyangkut masalah i’tiqodiyyah (aqidah).
b. Menerima dan menyakini isi kandungan al-Qur’an sekalipun tampaknya bertentangan dengan ‘aqli dan ‘adi, seperti masalah Isro dan Mi’roj.
c. Mendahulukan makna haqiqi daripada makna majazi, kecuali jika ada qorinah, seperti kalimat “au laamastumunnisa” dengan pengertian jima’ (berhubungan badan).
d. Apabila ayat al-Qur’an bertentangan dengan hadits, bila tidak ditemukan jalan untuk di jama’, maka didahulukan ayat al-Qur’an.
e. Menerima adanya ayat-ayat naasikh dalam al-Qur’an tetapi tidak menerima adanya ayat-ayat yang mansuukh (naskhul kulli).
f. Menerima tafsir dari para sahabat dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an (tidak hanya penafsiran ahlul bait), dan mengambil penafsiran sahabat yang lebih ahli seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud, jika terjadi perbedaan penafsiran di kalangan para sahabat.
g. Mengutamakan tafsir bil ma’tsuur (manqul) daripada tafsir bir ro’yi (otak).
h. Dalam menafsirkan al-Qur’an lebih mendahulukan manthuuq daripada mafhuum serta menggunakan qo’idah ushuuliyyah lughowiyyah dan qo’idah-qo’idah fiqhiyyah.
2) Rumusan dalam beristidlal dengan hadits adalah sebagai berikut:
a. Menggunakan hadits shohih dan hasan dalam mengambil keputusan.
b. Menerima qo’idah “hadits-hadit dhoif satu sama lain saling menguatkan” dengan catatan apabila dhoif tersebut dari segi dlobth (hafalan) yaitu sayyi’ul hifzhi dan mukhtalith dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an atau hadits lain yang shohih. Adapun jika dhoifnya itu dari segi ‘adaalah seperti kadzdzaab (pendusta), yadla’ul hadits (memalsukan hadits), fisqur rowi (rowi fasik), atau tertuduh dusta, maka qo’idah tersebut tidak dipakai.
c. Tidak menerima qo’idah “hadits dhoif dapat diamalkan dalam hal keutamaan amal”. Karena keutamaan amal juga termasuk sendi-sendi agama yang harus berdasarkan hadits shohih. Masih banyak hadits-hadits shohih yang menunjukkan tentang keutamaan amal.
d. Menerima hadits sebagai tasyri’ (penetapan syariat) yang mandiri, sekalipun tidak merupakan bayan dari al-Qur’an, seperti dalam masalah ‘aqidah dan pengurusan jenazah.
e. Menerima hadits ahad sebagai dasar hukum selama hadits tersebut shohih/hasan, termasuk masalah-masalah yang menyangkut akidah.
f. Hadits mursal shoohabii dan mauquuf bi hukmil marfuu dipakai sebagai hujjah selama sanad hadits tersebut shohih/hasan dan tidak bertentangan dengan hadits shohih/hasan yang lainnnya.
g. Hadits mursal taabi’ii dijadikan hujjah apabila hadits tersebut disertai qoriinah yang menunjukkan ittishoolnya hadits tersebut.
h. Menerima hadits-hadits bayan terhadap al-Qur’an.
i. Menerima qo’idah “anggapan jarh harus didahulukan daripada anggapan ‘adiil). Dengan ketentuan: jika yang menjarah menjelaskan jarhnya, maka didahulukan jarh daripada ta’diil; jika yang menjarh tidak menjelaskan sebab jarhnya, maka didahulukan ta’diil daripada jarh; jika yang dijarh tidak menjelaskan sebab jarhnya, tidak ada seorang pun yang menyatakan tsiqoh, maka jarhnya bisa diterima.
j. Menerima qo’idah “sahabat-sahabat Nabi itu semuanya dinilai adil.”
k. Riwayat rowi yang tsiqoh tetapi sering melakukan tadliis (menyamarkan cara menerima hadits dari guru) diterima jika ia menerangkan bahwa apa yang ia riwayatkan itu jelas shiighoh tahammulnya (kata yang digunakan dalam menerima hadits dari guru) menunjukkan ittishool seperti menggunakan kata “haddatsanii”.
B. Melakukan ijtihad dengan mempertimbangkan ijma’, qiyaas, mashlahah mursalah, istihsaan, istishhaab, syar’u man qoblanaa, saddud dzarii’ah, qaul shohaabii, dan ‘urf, dengan rumusan-rumusan sebagai berikut:
a. Tidak menerima ijma’ secara mutlak kecuali ijma’ sahabat.
b. Tidak menerima qiyaas dalam masalah ibadah mahdhoh dan menerima qiyaas dalam masalah ibadah ghoir mahdhoh selama memenuhi persyaratan qiyaas.
c. Menggunakan qo’idah-qo’idah istihsaan, mashlahah mursalah, saddud dzarii’ah, istishhaab, syar’u man qoblanaa dan ‘urf.
C. Meninggalkan sesuatu yang dikhawatirkan jatuh pada hukum bid’ah lebih didahulukan daripada mengamalkan sesuatu yang diragukan sunnahnya.
D. Dalam membahas masalah ijtihad Dewan Hisbah menggunakan qo’idah-qo’idah ushuuliyyah dan qo’idah-qo’idah fiqhiyyah sebagaimana lazimnya para fuqoha dan ulama salaf terdahulu.
E. Dewan Hisbah tidak mengikatkan diri pada suatu madzhab. Pendapat imam madzhab menjadi bahan pertimbangan dan masukkan dalam mengambil ketentuan hukum, sepanjang sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
F. Dalam memecahkan ta’aarudlul adillah (pertentangan dalil) yang sama-sama kuat diupayakan dengan cara:
1) Thoriiqotul jam’i selama masih dapat dilakukan, yaitu dengan cara mencari makna yang menyerasikan diantara keduanya.
2) Thoriiqotul naskhi bila dilakukan tarikh waktu kejadian, kejadian yang terdahulu mansuukh dan kejadian yang kemudian naasikhnya.
3) Thoriiqotul tarjih, bila tidak dapat dilakukan thoriiqotul jam’i. Thoriiqotul tarjih dilakukan dengan menilik secara cermat berbagai sudut dan seginya, misalnya:
Thobaqoh shohabat yang menjadi sumber berita, apakah ia shoohibul waaqi’ah (pelaku kejadian) atau sumber kedua yang menerima berita dari orang lain. Maka shoohibul waaqi’ah lebih didahulukan dari yang lainnya.
Bila keduanya shoohibul waaqi’ah, maka thobaqoh shohabat yang lebih tinggi, lebih didahulukan. Termasuk menilik thobaqoh rowi-rowi di bawahnya, bila diperlukan.
Mendahulukan riwayat-riwayat yang muttafaq ‘alaih daripada yang lainnya.
Mendahulukan hadits riwayat Bukhori daripada Muslim kecuali pada kasus-kasus tertentu dengan qoriinah lain. Seperti dalam hal pernikahan Nabi dengan Siti Maimunah dan sa’i setelah thowaaf ifaadloh.
Mendahulukan hadits riwayat Muslim daripada riwayat lainnya.
Pada kasus tertentu banyak dan sedikitnya jalan periwayatan dapat menjadi pertimbangan.
4) Thoriiqotul tawaqquf. Bila ketiga jalan di atas telah ditempuh, tetapi tidak menghasilkan istinbaath hukum yang dicari, maka ditempuhlah thoriiqotul tawaqquf. (Persis, 2001:25-40, Persis, 2014:332-347, Amien dkk, 2007:162177, Khaeruman, 2005:5963 & Risalah, 2018:8-27).
HASIL-HASIL KEPUTUSAN SIDANG DEWAN HISBAH:
Menurut Abu al-Ghifari, Keputusan Majelis Ulama sebelum tahun 1983 tidak terlacak dokumentasinya. Namun Majelis Ulama tahun 1953 pernah memutuskan masalah, diantaranya tentang definisi agama, harta warisan, keharaman memilih atau memasuki partai politik yang menentang/bertentangan dengan Islam.
Baru pada tahun 1983 atau pasca kepemimpinan Persis dipegang oleh E. Abdurrahman atau selanjutnya dipegang oleh A. Latief Muchtar, seluruh keputusan sidang Dewan Hisbah tersimpan dengan lengkap berikut ini:
Tahun 1983-1985:
1. Sedekap dalam shalat.
2. Shalat Tarawih 4-4-3.
3. Fidyah bagi yang sakit.
4. Memperbanyak Umrah pada masa haji.
5. Shalat jama’ ketika menunaikan haji.
6. Shalat qoshar di Mekah.
7. Shalat rawatib di waktu shofar.
8. Taswib pada adzan Shubuh.
9. Hukum rokok.
10. Miqat di Qornul Manazil.
11. Hukum menghormat bendera.
12. Tata cara mengikrarkan syahadat.
13. Membantu pembangunan gereja.
14. Membaca al-Fatihah di belakang imam.
15. Sedekap di waktu i’tidal.
16. Menggerak-gerakan telunjuk dalam tahiyyat.
17. Shalat diangkasa luar.
18. Wanita shalat Jum’at.
19. Sholawat kepada Nabi.
20. Kedudukan hadits menikah tanpa wali.
21. Kedudukan anak di luar nikah.
22. Lemak babi.
23. Hukum kodok.
24. Donor kornea mata yang dijanjikan sewaktu hidup
25. Bersalaman setelah shalat.
26. Zakat petani pemborong.
27. Kulit binatang kurban dijual.
28. Memperingati hari wafat.
29. Tahlilan diganti tabligh.
30. Hukum arisan.
31. Tentang tafsir.
32. Kedudukan asbabul nuzul
33. Tentang qodar.
34. Tentang karomah
Tahun 1989:
1. Lafadz Ihlal Ihram.
2. Mengangkat tangan ketika melihat Baitullah.
3. Lafadz doa ketika melihat Baitullah.
4. Tentang al-Multazam.
5. Minum air Zam-zam.
6. Tentang Hajar Aswad dan Ruknul Yamani
7. Sa’i setelah Thawah Ifadhah bagi yang Tamatu.
8. Posisi tangan ketika i’tidal (lanjutan sedekap).
9. Tentang cadar.
10. Hukum di Mina dan singgah di Namirah.
11. Hukum Thowaf Ifadhoh.
12. Takbir dan doa pada Jamarot.
13. Shalat sebelum Ihram.
Tahun 1990:
1. Bayi tabung.
2. Transplantasi.
3. Transeksual.
4. Asurasi.
5. SDSB.
Tahun 1991:
1. Harta yang wajib di zakati.
2. Pengertian riba.
Tahun 1992:
1. Mustahiq zakat.
2. Pengertian lima wasak.
3. Sa’i ba’da Thowaf Ifadhah bagi Mutanatti’.
4. Sholawat pada tasyahud awal.
5. Qunut nazilah.
6. Salam di mimbar pengajian.
Tahun 1993:
1. Ramal pada Thawaf (Qudum).
2. Menikahkan wanita hamil.
3. Posisi imam wanita dalam shalat.
4. KB.
5. Darul Aitam.
Tahun 1994:
1. Darul Arqam.
2. Shalat Jum’at di Arafah.
3. Menjama’ shalat pada Yauman Tarwiyah.
4. Kaifiyat berpakaian Ihram di luar Thowaf Qudum.
5. Hukum Mabit di Mudzalifah dan melontar Jumroh Aqobah.
6. Penggunaan alkohol pada proses produksi makanan.
7. Cara yang disyariatkan di Ruknul Yamani waktu thowaf dan di Ruknul Aswadi ba’da shalat di Maqom Ibrohim.
8. Jama melontar Jamarot dan kaifiatnya.
Tahun 1995:
1. Asuransi Takhoful.
2. Urine dijadikan obat.
3. Transplantasi dengan organ binatang haram.
4. Pengurusan jenazah AIDS.
5. Upacara adat dalam pernikahan dan khitanan.
6. Hadyu diganti Qimah.
7. Rahim titipan / sewa Rahim.
8. Siapakah Ahlus Sunnah wal Jamaah itu.
Tahun 1996:
1. Isbal.
2. Euthanasia.
3. Wanita yang nifas di bulan Romadhon, qodho atau fidyah?
4. Thawaf Ifadhoh di luar tanggal 10 Dzulhijjah.
5. Doa di Jumroh Aqobah pada Yaumul Tasyrik.
6. Thuruqul Istibath hukum Islam (metodelogi pengambilan keputusan hukum Islam).
7. Sighot Taklik Tholak.
Tahun 1997:
1. Isyarat di Hajar Aswad ba’da shalat di Maqom Ibrohim.
2. Hukum Sa’i bagi wanita haidl dan ba’da thowaf.
3. Risalah zakat dan shoum.
Tahun 1998:
1. Perempuan jadi presiden/kepala negara.
2. Isyarat telunjuk pada duduk diantara dua sujud.
3. Shalat Dzuhur pada hari raya ‘Ied yang jatuh pada hari Jum’at.
4. Hukum shalat dua rakaat ba’da Ashar.
5. Posisi telapak kaki waktu sujud.
Tahun 1999:
1. Tasyahud awal pada sholat malam.
2. Thowaf Ifadhoh sepulang dari Mina tanggal 12 atau 13 Dzulhijjah.
3. Hukum menghormat seseorang dengan cara berdiri.
4. Tata tertib sumpah (jabatan) dengan memegang al-Qur’an atau diletakkan di atas kepala.
Tahun 2000-2005:
1. Posisi zakat dan pajak.
2. Posisi Tasawuf dalam ajaran Islam.
3. Tranplantasi dengan tubuh non Muslim.
4. Jual beli saham atau valas dalam rangka profit taking.
5. Menghajikan orang yang lanjut usia, yang sakit, dan mati.
6. Pembuatan obat atau kosmetika dengan organ tubuh manusia yang sudah mati.
7. Perusahaan padat modal wajib zakat atau infaq.
8. Haji Ifrod bagi penduduk di luar Mekkah.
9. Kloning pada manusia.
10. Baca surat dan kaifiyat salam dalam shalat jenazah.
11. Hisab dan rukyat dalam penetapan awal bulan.
12. Magic dan kedugalan.
13. Sholat Jum’at bagi musafir.
14. Istighosah.
15. Memelihara jenggot.
16. Hipnotis dan tayangan ghaib di TV.
17. Jadwal kepulangan sebelum Thowaf Ifadhoh karena haid.
18. Wakaf uang.
19. Mengepalkan tangan waktu bangkit dari sujud.
20. Ihram Haji bagi yang sudah ada di Mina atau Arofah pada Yaumul Tarwiyyah.
21. Hukum Thowaf Wada’Mengangkat imam diantara makmum yang masbuq.
Satu hal yang sangat disayangkan yaitu kurangnya sosialisasi keputusan-keputusan tersebut. Banyak umat yang tidak tahu hukum-hukum yang telah diputuskan oleh Dewan Hisbah Persis. Hal ini akibat kurangnya SDM yang berinisiatif menerbitkan keputusan-keputusan tersebut atau kurang optimalnya kerja Bidang Garapan Penyiaran dan Publikasi PP. Persis.
Selama ini Dewan Hisbah baru menerbitkan kumpulan keputusannya dalam empat buku, yaitu Risalah Shalat, Risalah Shaum, Risalah Zakat, dan Risalah Haji. Alhamdulillah pada tahun 2001 terbit buku Kumpulan Keputusan Dewan Hisbah Persatuan Islam I yang didalamnya memuat 15 hasil keputusan, namun jilid II tidak terlacak oleh penulis (mungkin tidak terbit). Tahun 2007 PP. Persis menerbitkan buku Kumpulan Keputusan Sidang Dewan Hisbah Persatuan Islam (Persis) tentang Akidah dan Ibadah yang didalamnya memuat 65 hasil keputusan. Tahun 2013 PP. Persis menerbitkan lagi buku Kumpulan Keputusan Sidang Dewan Hisbah Persatuan Islam (Persis) tentang Muamalah (Masalah-Masalah Kontemporer) yang didalamnya memuat 24 hasil keputusan. (Persis, 2001:17-231, Persis 2007:5-676, Persis, 2014:1-347, Amien dkk, 2007:158-162 & Khaeruman, 2005:63-126).
Selain diterbitkan dalam bentuk buku, hasil keputusan sidang Dewan Hisbah Keputusan pun di muat dalam majalah Risalah, Iber, Akhbar Jam’iyyah, Gemar, Buletin Risalah Jum’at, Suara Persis dll. Keputusan sidang Dewan Hisbah juga dikirim oleh PP. Persis ke semua PW, PD, PC seluruh Indonesia. Malah sebelum berlangsungnya sidang Dewan Hisbah, PP. Persis mengundang utusan PW dan PD untuk menghadiri dan menyaksikan sidang. Anggota-anggota Dewan Hisbah pun kerap kali mensosialisasikan hasil keputusan sidang Dewan Hisbah ke jama’ah-jama’ah baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan jama’ah baik tingkat PW, PD, dan PC.
Dewan Hisbah tidak menutup diri dari usulan, masukan, dan kritikan baik dari dalam maupun dari luar Persis. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya revisi fatwa misalnya fatwa tentang Musafir Boleh Tidak Jum’at, Shalat Jenazah Pakai Bacaan Suroh al-Qur’an, Manasik Haji. Usulan atau peninjauan kembali (PK) bisa dikirim langsung ke sekretariat Dewan Hisbah berupa tulisan makalah dan/atau yang bersangkutan bisa datang dan memaparkan langsung argumennya di depan anggota dan/atau sidang Dewan Hisbah baik sidang lengkap ataupun terbatas. Perbedaan dan persamaan antara Dewan Hisbah Persis dengan yang lain adalah seakidah hanya beda kaidah.
KADERISASI TAK BOLEH TERHENTI:
Sebagaimana kita telah maklum, Persis terlahir sejatinya oleh semangat generasi muda yang tidak membanggakan siapa pendukung dan mengandalkan tokoh. Kesuksesan dakwah Persis bergantung pada kerja keras dan kerja cerdas yang ditopang oleh semangat dan militansi kaum mudanya. Seperti kata pepatah yang dinisbatkan pada Ali bin Abu Thalib Ra:
ليس الفتى من يقول كان ابي - ولكن الفتى من يقول ها أناذا.
Pemuda bukanlah yang berkata "Ini bapakku" tapi pemuda yang berkata "Inilah aku".
Seruan untuk kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan seruan abadi Persis. Di balik seruan itu terdapat figur-figur teladan bukan karena posisi mereka di Persis, tetapi disebabkan karena pengaruh dan kontribusi mereka sejak muda terhadap perkembangan dakwah Islam, berikut beberapa pigur teladan kita:
a) Ahmad Hassan (1887-1958): 1926 bergabung dengan Persis (Usia 38/39 tahun).
b) Buya M Natsir (1908-1993): 1932 bergabung dengan Persis (Usia 24 tahun).
c) K.H.M. Isa Anshary (1916-1969): 1935 bergabung dengan Persis (Usia 19 tahun).
d) K.H.E. Abdurrahman (1912-1983): 1934 bergabung dengan Persis (Usia 22 tahun).
e) K.H.A. Qadir Hasan (1914-1984): 1925 (Usia 11 tahun) dibina langsung ayahnya: Tuan Hasan, Usia 22 Tenaga Pengajar Pesantren Persis Bandung.
f) K.H.E. Abdullah (1918-1994): 1934 bergabung dengan Persis (Usia 16 tahun).
Tokoh-tokoh Persatuan Islam yang mendampingi para tokoh itu, sebetulnya sangat banyak. Tercatat, misalnya, pada generasi pertama, di samping H. Zamzam, H. Muhammad Yunus dan A. Hassan, adalah KH. Munawar Cholil, Mahmud Aziz, dan TM. Hasbie Ash-Shiddieqy.
Generasi Kedua, di samping Buya M. Natsir dan M. Isa Anshary, tercatat di antaranya KH. Qomaruddin Shaleh, pendiri Universitas Islam Bandung (Unisba), dan KHM. Rusyad Nurdin, sesepuh Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), dan juga merupakan Ketua Umum DDII wilayah Jawa Barat. Namun yang paling terkenal dan pernah menjadi Ketua Umum PP. Persis adalah Fachruddin al-Kahiri.
Generasi Ketiga, di samping KHE. Abdurrahman, KH. Abdul Qadir Hassan, KHE. Abdullah, tercatat KHM. Sudibja.
Generasi keempat, di samping KHA. Latief Muchtar, MA tercatat pula: KH. Aminullah, yang selama akhir hayatnya memimpin Pesantren Persatuan Islam Benda Tasikmalaya, KH. Syihabuddin, pemimpin dan pengembang Pesantren Persatuan Islam Rancabogo Garut, KH. Syarif Syukandi, juga mengabdikan diri di Pesantren Persatuan Islam Bandung, mendampingi gurunya, KHE. Abdurrahman dan KHE. Abdullah. KH.E. Sar’an, tokoh Persatuan Islam perintis dan pengembang Persis DKI Jakarta yang juga Ketua Dewan Hisbah menggantikan KH.E.Abdullah.
Selain itu, tak bisa dikesampingkan peran dan sumbangsih KH.Yahya Wardi, yang pernah lama memimpin Bidang Garapan Haji. HE. Nasrullah, yang memimpin pesantren Persatuan Islam No. 1 Pajagalan Bandung, selepas ditinggal wafat oleh KHE. Abdullah. KH. Achyar Syuhada bersama-sama KH. Ghozali, keduanya berdomisili dan memimpin cabang Persatuan Islam di wilayah Cianjur.
KH.A. Qodir Shadiq, KH. Usman Sholehuddin, KH. I. Shodikin, KH.M Romli, dan KH. A. Zakaria, penulis buku al-Hidayah dalam bahasa Arab dan Indonesia, juga adalah tokoh-tokoh sezamannya Ustadz Latief.
Mereka di samping memimpin pesantren di daerah masing-masing, juga menjadi anggota tetap Dewan Hisbah, suatu lembaga kajian keagamaan Persatuan Islam.
Dan dari kalangan generasi berikutnya, ketika KH. Shiddieq Amien menjadi ketua umum PP. Persatuan Islam, menggantikan KHA. Latief Muchtar, MA, tercatat: Prof. Dr. HM. Abdurrahman, Ust. H. Deddy Rahman, KH. Ghazi Abdul Qadir, KH. Luthfi Abdullah Ismail yang sama-sama sebagai cucu A. Hassan yang memimpin Persantren Persatuan Islam Bangil hingga akhir masa hayatnya.
Mereka adalah ulama dan para mujahid dakwah yang teguh dalam mempertahankan pendapat yang diyakininya benar, tanpa dibarengi dengan memperlihatkan sikap kebencian kepada yang berbeda pendapat dengan beliau.
Mereka para ulama dan mujahid dakwah yang berwawasan cukup luas, dan lebih dari itu konsistensinya dalam menyampaikan dan mempertahankan pandangan-pandangannya.
Keteguhan dalam mempertahankan pendapat yang mereka yakini kebenarannya itulah yang menyebabkan mereka memperoleh tempat tersendiri di kalangan para ulama dan cendekiawan.
Para tokoh Persis mempunyai karakteristik peduli dan banyak peran untuk membimbing umat, tak terkecuali kaum muda, dengan bimbingan wahyu Allah Swt.
Para tokoh Persis itu pun membuktikan bahwa kaum ulama juga adalah para aktivis dakwah, karena mereka secara potensial dapat mengubah dunia. Mereka mempunyai program “Islamisasi” dunia. Nilai-nilai Islam itu dari Allah Swt. Dengan mengikuti Nabi, ulama adalah “agen” Allah.
Para ulama dan mujahid dakwah Persis memandang bahwa dunia harus Islami dan sesuai dengan pandangan Nabi dan para sahabatnya.
Menciptakan kader yang penuh semangat dan militan seperti para tokoh itu bukanlah pekerjaan ringan. Di sana terdapat proses panjang yang menantang sekaligus memerlukan keseriusan yang terkadang menjadi hambatan. Selain itu, dalam praktiknya dibutuhkan kerjasama dan koordinasi antar elemen serta dukungan ragam pihak.
Saya sangat berharap dalam periode ini, kita semua mampu merumuskan langkah-langkah Pemuda sebagai kader Persis di masa depan. Seperti kata pepatah Arab;
غَرَسَ السَّابِقُوْنَ فَأَكَلْنَا أَفَلَا نَغْرِسُ لِيَأْكُلَ اللَّاحِقُوْنَ؟
“Telah menanam orang-orang terdahulu dan kita telah menuainya, apakah kita tidak akan menanam agar orang yang akan datang menuainya.”
Persis sekarang adalah warisan generasi A. Hassan dan tokoh-tokoh lainnya. Kita semua sedang menikmati hasil cocok tanam mereka dahulu. Saat ini, kita sedang menanam dan menumbuhkembangkan Persis untuk generasi 25 tahun atau 50 tahun mendatang. Banyak hal yang harus kita perbaiki dalam diri kita. Yang paling utama adalah ketaatan dalam berimamah dan berimarah. Mari kita kembali kepada harapan dan cita-cita yang sesuai dengan kehendak dan cita-cita jam’iyyah, yaitu: Persatuan pemikiran Islam, Persatuan rasa Islam, Persatuan suara Islam, dan Persatuan usaha Islam. Inilah tugas berat kita, mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan kekuatan, ketabahan dan kemampuan untuk menyeru umat kepada ajaran Alquran dan As-sunnah lewat jam’iyyah Persatuan Islam. Mari kita membangun jam’iyyah yang solid, kokoh dan kompak sebagaimana al-jasad al-wahid demi ‘izzu al-Islam wa al-Muslimin, menjadi jam’iyyah Persis yang disegani kawan maupun lawan melalui para kader yang pantas menjadi tumpuan dan harapan.
SETIAP GENERASI HARUS ADA ULAMA:
“Persatuan Islam bertanggung jawab, bahwa setiap generasi harus ada ulama,” ucap Ketua Dewan Hisbah, K.H. Zae Nandang, Rabu (4/1/2023), Kabupaten Bandung Barat.
Di hadapan puluhan kader ulama PERSIS, Ustaz Zae menegaskan pentingnya keberadaan ulama dalam setiap generasi, sebagaimana yang disebut dalam QS Al-A’raf: 181.
“Dalam Al-Qur’an dinyatakan Wa mim man khalaqnā ummatuy yahdụna bil-ḥaqqi wa bihī ya'dilụn, jadi dengan acara ini kami berharap lahirnya ulama yang tetap sebagai pewaris Nabi,” paparnya dalam acara Tawtsiqul Qalby Wa’amal Jama’iy Team Musa’id & Sekretariat Dewan Hisbah.
Ustaz Zae pun mengingatkan bahwa Nabi Muhammad saw. tidak mewariskan dinar dan dirham, melainkan mewariskan ilmu. Pernyataan yang menegaskan posisi ulama sebenarnya.
Selanjutnya, Ustaz Zae membahas bagaimana dirinya membantah tuduhan yang menilai jamiyyah PERSIS eksklusif.
“Ketika ada yang berbicara PERSIS selalu ingin beda dengan yang lain, maka saya jawab bahwa PERSIS bukan ingin beda, tapi PERSIS ingin benar,” jelasnya tegas.
Di akhir sambutan, Ustaz Zae menyampaikan harapan kepada seluruh kader ulama yang hadir.
“Diharapkan dari kader-kader ulama ini, jika dalam mubahatsah mendapatkan satu ketetapan hukum yang berbeda dengan hasil Dewan Hisbah, jangan disosialisasikan, hendaklah datang dulu ke Dewan Hisbah, karena itu bisa membuat resah umat,” pungkasnya.
SUMBER PENULISAN:
- https://pemudapersis-smd.blogspot.com/2018/08/dewan-hisbah-persis.html?m=1
- Bahan Kajian PC. Pemuda Persis Batununggal 02 Oktober 2022 Kaderisasi Tak Boleh Terhenti (Slide Kyai Amin Muchtar).
- Hasil Resume Kajian Dauroh Qur’an PC. Pemuda Persis Batununggal (Masa Ust. Fahmi Ahkam Abul Hasan).
- https://persis.or.id/ketua-dewan-hisbah-setiap-generasi-harus-ada-ulama
DEWAN HISBAH PERSIS ADALAH LEMBAGA YANG TERKAIT DENGAN ORGANISASI KEAGAMAAN DI INDONESIA YANG DIKENAL DENGAN NAMA "PERSATUAN ISLAM" ATAU "PERSIS". "HISBAH" DALAM BAHASA ARAB BERARTI "PENGAWASAN" ATAU "PEMERIKSAAN". DEWAN HISBAH PERSIS BERTANGGUNG JAWAB ATAS PEMANTAUAN DAN PENEGAKAN KETENTUAN-KETENTUAN KEAGAMAAN DALAM KOMUNITAS MEREKA, SEPERTI PENGAWASAN TERHADAP PRAKTIK KEAGAMAAN, MORALITAS, DAN PERILAKU UMAT. TUGAS-TUGAS INI SERING KALI MENCAKUP HAL-HAL SEPERTI MEMASTIKAN AGAR ANGGOTA KOMUNITAS MEMATUHI AJARAN AGAMA, MENGAWASI KEGIATAN DAKWAH, DAN MENEGAKKAN DISIPLIN DALAM HAL-HAL SEPERTI PUASA, SHALAT, DAN MORALITAS PRIBADI.
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan