KEUTAMAAN MALU DAN PERINTAH BERAKHLAKNYA

MUQADDIMAH:
Rasa malu atau “hayaa” merupakan salah satu karakteristik utama yang menjadi bagian integral dari iman. Rasulullah SAW telah mengajarkan kepada umatnya bahwa “hayaa” adalah bagian dari iman mereka. Hadis ini ditemukan dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, dan dipercayai oleh banyak ulama.

Rasulullah SAW bersabda, “الْحَيَاءُ مِنَ الإيمَانِ” yang dapat diterjemahkan sebagai “Rasa malu adalah bagian dari iman.” Seorang Muslim yang memiliki rasa malu yang kuat akan cenderung menghindari perilaku yang tidak pantas, tidak bermoral, atau dosa. Mereka akan merasa malu melakukan tindakan yang bertentangan dengan ajaran Islam serta akan berusaha untuk menjalani kehidupan sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Rasa malu adalah sikap yang menghormati norma sosial dan nilai-nilai moral dalam Islam. Ini mencakup rasa malu terhadap Allah SWT, yang menginspirasi seseorang untuk menjauhi dosa dan melakukan perbuatan baik. Rasa malu juga mencakup rasa malu terhadap manusia, yang mendorong seseorang untuk menjaga etika dan moral dalam masyarakat serta berinteraksi dengan baik dengan orang lain.

Dalam pandangan Islam, rasa malu adalah salah satu karakteristik yang membedakan antara tindakan yang layak dan perilaku yang tidak pantas. Ini adalah hal yang dituntut dalam syariat untuk menjaga kesucian hati dan perilaku. Rasa malu memotivasi seseorang untuk melakukan perbuatan baik, menjauhi dosa, dan menjaga martabat diri serta nilai-nilai agama.

Rasa malu tidak hanya merupakan perasaan atau emosi, tetapi juga merupakan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Seorang Muslim yang memiliki rasa malu akan selalu berusaha untuk menjalani kehidupan yang mencerminkan iman dan moralitas Islam yang tinggi. Dengan menjaga rasa malu, seorang Muslim dapat memberikan teladan yang baik dalam masyarakat dan membantu memelihara integritas individu dan komunitas Muslim.

Ibnu Qayyim al-Jawziyyah telah memberikan pandangan yang mendalam mengenai konsep malu dan bagaimana hal ini berkaitan dengan kehidupan dan iman. Dalam pemikirannya, ia menggambarkan malu sebagai sesuatu yang tak terpisahkan dari vitalitas hati seseorang. Dalam pandangannya, kehadiran malu mencerminkan kehidupan hati yang lebih kuat, sementara kurangnya malu berhubungan erat dengan ‘kematian hati’, yaitu: keadaan di mana kepedulian terhadap nilai-nilai moral dan etika memudar.

Kata-kata bijak Umar bin Khattab, salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, menegaskan pentingnya malu dalam konteks kehati-hatian dalam beragama atau “wara’.” Jika seseorang memiliki sifat malu, maka ia cenderung lebih berhati-hati dalam menjalankan ajaran agama dan mematuhi norma-norma moral. Sebaliknya, ketika malu berkurang, hati individu dapat menjadi mati terhadap nilai-nilai tersebut. Ini mengingatkan kita pada peran penting malu dalam menjaga integritas moral dan spiritual seseorang.

Pernyataan Ibnu Mas’ud, sahabat Nabi yang bijak, memberikan pandangan lebih lanjut tentang makna malu dalam hubungan antara manusia dan Allah. Dia menekankan bahwa orang yang tidak merasa malu terhadap manusia kemungkinan besar tidak akan merasa malu terhadap Allah. Ini adalah pengingat bahwa malu adalah tanda dari penghargaan terhadap Allah dan kesadaran akan pengawasan-Nya.

Salah satu cara untuk mengembangkan sifat malu yang mulia adalah dengan selalu sadar akan kehadiran Allah yang dekat dan bersyukur atas berbagai nikmat yang diberikan-Nya. Mengetahui bahwa Allah adalah Pengawas yang dekat dan Pemberi Nikmat yang murah hati akan memotivasi seseorang untuk menjauhi perbuatan dosa dan merasa malu ketika akan menggunakan nikmat-Nya dalam cara yang tidak sesuai.

Dengan demikian, pandangan Ibnu Qayyim dan kata-kata bijak dari para sahabat Nabi menyiratkan bahwa malu bukan hanya sekadar perasaan atau sifat pribadi, tetapi juga merupakan indikator kualitas moral, spiritual, dan etika individu. Perasaan malu adalah cerminan dari hati yang hidup, sejalan dengan nilai-nilai agama, dan berfungsi sebagai penjaga moral dalam kehidupan sehari-hari. Kesadaran akan Allah dan penghargaan atas nikmat-Nya membentuk dasar bagi perkembangan sifat malu yang kuat dan mendalam dalam diri seseorang.”

HADITS PERTAMA:
عن ابن عمر رضي الله عنهما: أنَّ رسول الله -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الأنْصَار وَهُوَ يَعِظُ أخَاهُ في الحَيَاءِ، فَقَالَ رسولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم-: ((دَعْهُ، فَإنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الإيمَانِ)). متفقٌ عَلَيْهِ
Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma bahwasanya Rasulullah s.a.w. berjalan melalui seorang lelaki dari golongan kaum Anshar dan ia sedang menasihati saudaranya tentang hal sifat malu. Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda: "Biarkanlah ia, sebab sesungguhnya sifat malu itu termasuk dari keimanan." (Muttafaq 'alaih)

Keterangan:
Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:
1. Malu merupakan salah satu cabang keimanan, karena sifat malu ini dapat mencegah pemiliknya dari melakukan perbuatan maksiat, sebagaimana iman telah mencegahnya dari hal tersebut.
2. Kewajiban menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar, serta tidak menunda untuk memberi penjelasan dari waktu yang dibutuhkan.

HADITS KEDUA:
وعن عمران بن حصينٍ رضي الله عنهما، قَالَ: قَالَ رسولُ الله -صلى الله عليه وسلم-: ((الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِي إِلاَّ بِخَيْرٍ)). متفقٌ عَلَيْهِ. وفي رواية لمسلمٍ: ((الحياءُ خَيْرٌ كُلُّهُ)) أَوْ قَالَ: ((الْحَيَاءُ كُلُّهُ خَيْرٌ)).
Dari Imran bin Hushain -raḍiyallāhu 'anhuma-, ia berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Malu itu tidak membawa kecuali kebaikan." (Muttafaq Alaih). Dalam riwayat lain: "Malu itu baik seluruhnya," atau beliau bersabda, "Malu itu seluruhnya baik."  

Keterangan:
Malu merupakan sifat dalam jiwa yang mendorong manusia melakukan apa yang indah dan bagus, dan meninggalkan yang kotor dan buruk. Dengan demikian, malu tidak membawa kecuali kebaikan. Sebab munculnya hadis ini adalah ketika ada seorang laki-laki menasehati saudaranya terkait sifat malu, dan dia melarangnya dari sifat malu tersebut. Maka Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda kepadanya dengan ucapan ini.  

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:
1. Anjuran untuk berakhlak mulia, karena malu itu baik bagi individu maupun masyarakat, sebab di dalamnya mengandung dorongan untuk melakukan hal yang baik dan meninggalkan perbuatan yang jahat.
2. Malu yang dimaksudkan dalam beberapa hadits ialah yang bersifat syar’i. Adapun malu yang muncul karena pelanggaran hak atau takut menghadapi orang yang melakukan kemungkaran bukan termasuk yang berisfat syar’i, tetapi ia merupakan satu bentuk kelemahan dan sifat hina lagi tidak baik meski disebut malu, karena kemiripannya dengan malu yang syar’i hanya dalam bentuk luarnya saja.

HADITS KETIGA:
وعن أَبي هريرة -رضي الله عنه-: أنَّ رسول الله -صلى الله عليه وسلم-، قَالَ: ((الإيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً: فَأفْضَلُهَا قَوْلُ: لاَ إلهَ إِلاَّ الله، وَأدْنَاهَا إمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَالحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإيمَانِ)). متفقٌ عَلَيْهِ
Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan, bahwa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Iman itu memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling utama ialah ucapan Lā ilāha illallāh, dan cabang yang paling rendah ialah menyingkirkan duri dari jalan, dan malu adalah salah satu cabang dari iman." (Muttafaq Alaih)

Keterangan:
Iman bukan hanya satu perangai atau satu cabang, tetapi ia memiliki banyak cabang, yaitu tujuh puluhan atau enam puluhan cabang. Hanya saja, cabang paling utama adalah satu kalimat, yaitu Lā ilāha illallāh, dan cabang yang paling mudah adalah menghilangkan segala hal yang mengganggu orang yang lewat, berupa batu, duri atau hal lainnya dari jalan. Malu juga merupakan salah satu cabang dari iman. 

HADITS KEEMPAT:
وعن أَبي سعيدٍ الخدري -رضي الله عنه-، قَالَ: كَانَ رسول الله -صلى الله عليه وسلم- أشَدَّ حَيَاءً مِنَ العَذْرَاءِ في خِدْرِهَا، فَإذَا رَأَى شَيْئاً يَكْرَهُهُ عَرَفْنَاهُ في وَجْهِه. متفقٌ عَلَيْهِ
Dari Abu Sa'īd al-Khudri -raḍiyallāhu 'anhu-, ia berkata, "Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- lebih pemalu dari seorang gadis di kamar pingitannya. Jika beliau melihat sesuatu yang tidak disukainya, kami dapat mengetahuinya dari wajahnya." (Muttafaq Alaih)

Keterangan:
Nabi Muhammad -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- lebih pemalu dari seorang wanita yang belum menikah. Gadis itu adalah wanita paling pemalu karena belum menikah dan belum pernah berhubungan dengan laki-laki, sehingga engkau mendapatinya sangat pemalu di ruang pingitannya. Sementara itu Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- lebih pemalu dari gadis tersebut. Hanya saja Nabi Muhammad -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- jika melihat sesuatu yang tidak disukainya dan bertentangan dengan tabiatnya, maka hal itu dapat diketahui dari (perubahan) wajahnya.

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:
1. Perlunya bercermin kepada Rasulullah saw. dalam hal malu, karena malu merupakan akhlak mulia.
2. Malu merupakan sifat bawaan dalam diri kaum Wanita.

Oleh: Ust. Faqih Aulia (LITKA PC Pemuda PERSIS Batununggal Kota Bandung)

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama