MUQADDIMAH:
Persatuan Islam (Persis) berdiri pada permulaan tahun 1920-an, tepatnya tanggal 12 September 1923 di Bandung. Idenya bermula dari seorang alumnus Dâr al-‘Ulûm Mekkah bernama H. Zamzam yang sejak tahun 1910-1912 menjadi guru agama di sekolah agama Dâr al-Muta’alimîn. Ia bersama teman dekatnya, H. Muhammad Yunus, seorang pedagang sukses yang sama-sama kelahiran Palembang, yang di masa mudanya memperoleh pendidikan agama secara tradisional dan menguasai bahasa Arab, sehingga ia mampu autodidak melalui kitab-kitab yang jadi perhatiannya. Latar belakang pendidikan dan kultur yang sama ini, menyatukan mereka dalam diskusi-diskusi tentang keislaman. Tema diskusi biasanya mengenai beberapa masalah di sekitar gerakan keagamaan yang tengah berkembang saat itu, atau masalah agama yang dimuat dalam majalah al-Munîr terbitan Padang dan majalah al-Manâr terbitan Mesir, yang telah lama menjadi bacaan dan perhatian mereka.
Satu tulisan dalam majalah al-Manar yang ditulis Muhammad Abduh yang sangat menyentuh emosi keagamaan mereka, adalah; “Al-Islâm Mahjûbun bi al-Muslimîn, Islam telah tertutup oleh kaum muslimin,” yang kemudian menjadi ungkapan yang sangat terkenal di kalangan pembaru, baik di Timur Tengah maupun di Indonesia. Tulisan ini menghendaki cara berpikir dan cara hidup yang baru dan kemajuan bagi ummat Islam dengan keinginan menghidupkan kembali ajaran al-Quran dan al-Sunnah.
Dalam setiap diskusi, H. Zamzam dan Muhammad Yunus, merupakan pembicara utama, keduanya banyak mengemukakan pikiran baru. Keduanya memang memiliki kapasitas dan wawasan pengetahuan yang cukup luas dalam masalah keagamaan, apalagi ditunjang oleh profesi sebagai guru agama, seperti halnya H. Zamzam. Di samping itu, mereka memang mempunyai latar belakang pendidikan agama yang cukup kuat di masa mudanya.
Suatu saat diskusi mereka berlangsung seusai acara kenduri di rumah salah seorang anggota keluarga yang berasal dari Sumatera yang telah lama tinggal di Bandung. Materi diskusi itu adalah mengenai perselisihan paham keagamaan antara al-Irsyâd dan Jamî’at Khair. Sejak saat itu, pertemuan-pertemuan berikutnya menjelma menjadi kelompok penelaah, semacam studi club dalam bidang keagamaan di mana para anggota kelompok tersebut dengan penuh kecintaan menelaah, mengkaji, serta menguji ajaran-ajaran yang diterimanya. Diskusi mereka juga dilakukan dengan para jama’ah shalat Jum’ah, sehingga frekuensi bertambah dan pembahasannya makin mendalam. Jumlah mereka tidak banyak hanya sekitar 12 orang. Diskusi tersebut semakin intensif dan menjadi tidak terbatas dalam persoalan keagamaan saja terutama dikotomis tradisional-modernis Islam yang terjadi ketika itu, yang diwakili oleh Jamî’at Khair dan al-Irsyâd di Batavia, tetapi juga menyentuh pada masalah-masalah komunisme yang menyusup ke dalam Syarikat Islam (SI), dan juga usaha-usaha orang Islam yang berusaha menghadapi pengaruh komunikasi tersebut.
Maka sejak saat itu, timbulah gagasan di kalangan mereka untuk mendirikan organisasi Persatuan Islam atau nama lain yang diajukan oleh kelompok ini yaitu Permupakatan Islam, untuk mengembalikan ummat Islam kepada pimpinan al-Quran dan al-Sunnah. Organisasi yang didirikan di Bandung ini untuk menampung kaum muda maupun kaum tua, yang memiliki perhatian pada masalah-masalah agama. Kegiatan utamanya adalah diskusi. Setiap anggota dapat mengajukan masalah keagamaan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Pada tahun 1924 A. Hassan seorang kelahiran Singapura pada tahun 1887 dari ayah Tamil dan ibu Jawa, bergabung dalam kegiatan diskusi-diskusi Persatuan Islam. Ia seorang yang cerdas dan lancar berbahasa Arab, Inggris, Melayu dan Tamil, serta menguasai pengetahuan agama dan umum secara luas. Ia memperoleh pendidikan sekolah-sekolah agama di Singapura dan Johor, serta suka menulis artikel-artikel pada harian Utusan Melayu yang terbit di Singapura.
A. Hassan dari Singapura pernah berkunjung ke Surabaya pada tahun 1920 dalam hubungan perdagangan batik keluarganya. Di sanalah ia mulai terlibat diskusi-diskusi agama dengan tokoh-tokoh agama di Indonesia sekitar pertentangan antara kaum muda dan kaum tua, antara paham modernis dan paham tradisional. Ayah A. Hassan memang termasuk orang yang berpandangan modernis. Maka dapat dimengerti jika A. Hassan juga sejalan dengan faham kaum muda.
Tidak lama kemudian A. Hassan pindah ke Bandung dan masuk lingkungan Persatuan Islam. Selanjutnya ia memusatkan kegiatan hidupnya dalam pengembangan pemikiran Islam dan menyediakan dirinya sebagai pembela Islam.
Sampai awal tahun 1926, Persatuan Islam masih belum menampakan sebagai organisasi pembaharu, karena di dalamnya masih bergabung kaum muda dan kaum tua. Yang penting setiap anggota saling mendorong untuk lebih mendalami Islam secara umum sebagai agama yang dibawa nabi terakhir, Muhammad SAW.
Namun dari segi penamaan, organisasi ini sejak awal memang sudah bersifat liberal. Betapa tidak, nama Persatuan Islam yang disingkat PERSIS adalah nama Latin, yang dianggap sebagai pengaruh penjajah Belanda. Apalagi sakralitas dan pengidentikan Islam dengan Arab sangat kuat di kalangan umat Islam ketika itu. Artinya mereka siap menerima risiko dan mempertahankan pendirian serta keyakinan yang mereka miliki, atas pemberian nama latin tersebut. Padahal organisasi yang lebih dulu muncul seperti Jamî’at Khair, Muhammadiyah, dan al-Irsyâd, menggunakan nama dan bahasa Arab.
Dari segi ini, Persatuan Islam menghendaki apa yang seharusnya disakralkan dan apa yang tidak seharusnya disakralkan oleh umat Islam. Karena penilaian terhadap sesuatu yang bersifat sakral itu berkaitan erat dengan kualitas ketauhidan dan bahkan pula berkaitan dengan wawasan keislaman yang dimiliki. Jika setiap berbahasa Arab identik dengan Islam, disitu wawasan keislaman yang dimiliki seseorang adalah tergolong awam.
Hal itu terbukti kemudian Persatuan Islam menjelma menjadi organisasi yang paling ekstrim dan liberal dibandingkan dengan Muhammadiyah dan al-Irsyâd dalam melakukan penentangan terhadap tradisi-tradisi yang dianggap merupakan ajaran agama Islam, melalui konsep bid’ah, khurafat dan takhayul.
AKTIVITAS DAKWAH:
Sebagai organisasi, Persatuan Islam memiliki ciri khas dalam gerak dan langkahnya, yaitu menitikberatkan pada pembentukan paham keagamaan yang dilancarkan melalui pendidikan dan da’wah lainnya. Aktifitas ini misalnya berbeda dengan Muhammadiyah, yang bergerak di bidang sosial dan pendidikan. Kecenderungan Persatuan Islam untuk menempatkan dirinya sebagai pembentuk paham keagamaan Islam di Indonesia, hal ini dibuktikan dalam setiap aktivitas yang dibawa oleh misi Persatuan Islam.
Pedoman pokok yang di dalamnya terkandung prinsip-prinsip perjuangan kembali kepada ajaran al-Quran dan al-Sunnah, sekaligus sebagai identitas yang mewarnai seluruh gerak-langkah organisasi dan anggota-anggotanya, secara kongkrit tertulis dalam Qanûn Asasi (Anggaran Dasar) dan Qanûn Dakhîli (Anggaran Rumah Tangga) Persatuan Islam.
Persatuan Islam bertujuan:
Pertama, mengamalkan segala ajaran Islam dalam setiap segi kehidupan anggotanya dalam masyarakat.
Kedua, menempatkan kaum muslimin pada ajaran aqidah dan syari’ah berdasarkan al-Quran dan al-Sunnah. Untuk mencapai tujuan ini, maka organisasi dijalankan dalam bentuk ber-jama’ah, berimâmah, berimarah seperti dicontohkan Rasulullah SAW. Agar organisasi tetap terarah dalam mengemban misi perjuangannya maka Persatuan Islam menentukan sifatnya sebagai organisasi pendidikan, tabligh dan kemasyarakatan yang berdasarkan al-Quran dan al-Sunnah, dengan rencana jihad diantaranya:
a) Mengadakan kegiatan-kegiatan dakwah secara lisan, tulisan dan amal perbuatan dalam masyarakat yang sejalan dengan al-Quran dan al-Sunnah.
b) Melakukan amar ma’rûf dan nahyi munkar dalam segala ruang dan waktu, membela dan menyelamatkan umat Islam dari gangguan lawan-lawan Islam dengan cara hak dan ma’rûf yang sesuai dengan ajaran al-Quran dan al-Sunnah.
c) Menghidupkan dan memelihara rûh al-jihâd (jiwa perjuangan) dan ijtihâd dalam kalangan para anggota khususnya dan umat Islam umumnya.
d) Membasmi munkarat, bid’ah, khurafat, takhayul, taqlîd dan syirk dalam lingkungan anggota khususnya dan umat Islam umumnya.
e) Memberikan jawaban dan perlawanan terhadap tantangan aliran yang mengancam hidup keislaman demi tegak dan kokohnya agama Allah.
f) Mengadakan dan memelihara hubungan yang baik dengan segenap organisasi Islam di Indonesia dan seluruh dunia untuk menuju terwujudnya bun-yân al-Islâm (bangunan Islam) yang kokoh.
Dalam strategi da’wah, Persatuan Islam berlainan dengan Muhammadiyah yang mengutamakan penyebaran pemikiran-pemikirannya dengan tenang dan damai, Persatuan Islam seakan gembira dengan perdebatan dan polemik. Bagi Persatuan Islam dalam masalah agama tidak ada istilah kompromi. Apa yang dipandang tidak benar menurut dalil al-Quran dan al-Sunnah secara tegas ditolak. Sedangkan apa yang dianggap benar akan sampaikan walaupun pahit.
… Bagi Persatuan Islam dalam masalah agama tidak ada istilah kompromi. Apa yang dipandang tidak benar menurut dalil al-Quran dan al-Sunnah secara tegas ditolak. Sedangkan apa yang dianggap benar akan sampaikan walaupun pahit.
Latar belakang demikian itulah tampaknya yang membawa Persatuan Islam ke alam perdebatan, baik dalam rangka mempertahankan keyakinan keagamaannya maupun menunjukkan bahwa keyakinan agama yang dipegangi lawan dalam perdebatan itu dianggap salah.
Dalam bidang publikasi melalui media cetak, pertama kali diterbitkan majalah Pembela Islam pada bulan Oktober 1929 di Bandung. Majalah tersebut terbit atas prakarsa Komite Pembela Islam yang diketuai oleh H. Zamzam. Penerbitannya berlangsung sampai tahun 1933 dan berhasil menerbitkan 72 nomor dengan sirkulasi sebanyak 2000 eksemplar, tersebar di seluruh pelosok tanah air bahkan sampai ke Malaysia dan Muangthai.
Pada bulan Nopember 1931, Persatuan Islam menerbitkan majalah khusus yang membicarakan masalah-masalah agama, tanpa menantang pihak-pihak bukan Islam. Majalah ini diberi nama al-Fatwa, ditulis dalam hurup Jawi, sehingga lebih banyak diminati oleh kalangan muslim di Sumatera, Kalimantan dan Malaysia. Namun publikasi majalah ini hanya berlangsung sampai Oktober 1933 sebanyak 20 kali terbit dengan sirkulasi 1000 eksemplar.Sebagai gantinya pada tahun 1935 diterbitkan lagi majalah baru yang bernama al-Lisan yang berlangsung sampai bulan Juni 1942 dengan 65 nomor penerbitan. Akan tetapi pada masa itu erat kaitannya dengan perpindahan A. Hassan, maka nomor 47 (terbit bulan Mei 1940) sampai dengan nomor 65 terbit di Bangil, Pasuruan Jawa Timur.
Majalah lain yang terbit pada tahun 1930-an ialah al-Taqwâ, sebuah majalah dalam bahasa Sunda, yang sempat terbit 20 nomor dengan sirkulasi 1000 eksemplar. Ada pula majalah yang berisi artikel-artikel jawaban terhadap pertanyaan para pembaca, yang umumnya berkenaan dengan masalah agama, ialah sebuah majalah bernama Sual-Jawab.
Sejalan dengan situasi politik Indonesia, yaitu masa pendudukan Jepang dan diteruskan dengan gawatnya revolusi Indonesia, semua penerbitan Persatuan Islam terhenti. Baru pada tahun 1948 terbit majalah Aliran Islam meskipun bukan resmi diterbitkan oleh Persatuan Islam, tetapi selalu memuat tulisan-tulisan tokoh-tokoh seperti Isa Anshary, M. Natsir dan E. Abdurrahman, yang mengutamakan peranan umat Islam dalam kancah politik Indonesia.
Pada tahun 1954, di Bangil terbit majalah al-Muslimûn, yang secara resmi juga tidak diterbitkan atas nama Persatuan Islam, tetapi tetap mengembangkan paham-pahamnya terutama yang berkaitan dengan hukum dan pengetahuan agama Islam. Pada bulan Maret 1956, Persatuan Islam Bangil menerbitkan lagi majalah yang meneruskan cita-cita Pembela Islam yang diberi nama Himayat al-Islâm (Pembela Islam). Majalah ini terbit sembilan kali dan berhenti pada bulan Mei 1957.
Majalah resmi yang diterbitkan Persatuan Islam pada masa kemerdekaan ialah Hujjat al-Islâm pada tahun 1956, Setelah Persatuan Islam resmi berdiri kembali pada tahun 1948 yang berpusat di Bandung. Majalah tersebut hanya terbit satu kali, kemudian dilanjutkan pada tahun 1962 dengan majalah Risalah, yang dipimpin oleh KH. E. Abdurrahman dan Yunus Anis.
Di samping majalah-majalah, juga banyak diterbitkan buku-buku karangan tokoh Persatuan Islam seperti M. Isa Anshary, M. Natsir, KH. E. Abdurrahman dan terutama buku-buku karangan A. Hassan yang yang paling banyak dan mendominasi kebutuhan baca anggota Persatuan Islam. Namun sejak saat itu dunia tulis menulis di kalangan ulama Persatuan Islam mengalami kemandegan, jika tidak boleh dikatakan tradisi itu mati sama sekali. Misalnya, untuk jenis buku terbaru yang bersifat kajian yang khas keagamaan Persatuan Islam, yang muncul ke permukaan terlihat baru ada satu, yaitu buku al-Hidâyah yang ditulis oleh Ustadz A. Zakaria dalam bahasa Arab, yang kemudian diterjemahkan oleh penulisnya ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan dalam 3 jilid pada tahun 1996. Selebihnya buku-buku yang beredar masih yang ditulis oleh ulama-ulama Persatuan Islam periode terdahulu.
Sementara dalam kegiatan perdebatan, Persatuan Islam, yang diwakili oleh A. Hassan, dan KH. E. Abdurrahman tercatat telah beberapa kali melakukan perdebatan dalam rangka mempertahankan keyakinan dan sekaligus menunjukkan mana sesungguhnya ajaran agama Islam yang benar, sekurang-kurangnya dalam pandangan keagamaan Persatuan Islam. Perdebatan secara terbuka mengenai masalah taqlîd, talqîn dan lain sebagainya, A. Hassan dengan KH. Wahab Hasbullah, Salim bin Zindan, H. Abu Chair, KH. A. Hidayat, Ahmad Sanusi, yang bertempat di Bandung, Cirebon, Makasar, Gorontalo dan tempat-tempat lainnya.
Sementara perdebatan dengan pihak non-muslim, juga pernah terjadi beberapa kali perdebatan, dalam kurun waktu antara tahun 1930-1940 tercatat dalam verslag debat, laporan tentang diskusi dengan pihak non-muslim, antara lain yaitu:
Perdebatan dengan orang Kristen Sevendays Adventist, tentang kebenaran agama Kristen dan Bibel.
Perdebatan dengan para intelektual Belanda seperti Dier huis, Eising dan Prof Schoemaker. Yang terakhir ini kemudian masuk Islam dan menjadi sahabat A. Hassan serta menjadi co-editor buku Cultur Islam bersama Muhammad Natsir.
Dalam penyebaran anggota, Persis lebih mementingkan kualitas daripada menambah jumlah. Deliar Noer menyebut Persis “Tidak berminat membentuk banyak cabang atau menambah sebanyak mungkin anggota. Kendati demikian, dalam keanggotaan yang sedikit itu, Menurut Deliar Noer, masyarakat belum siap menerima pembaharuan gaya Persatuan Islam, terutama muslim tradisional. Tetapi ada suatu keistimewaan dalam Persatuan Islam ini yaitu anggotanya terdiri dari golongan intelektual kendati dalam jumlah terbatas.”
Dengan demikian kegiatan da’wah yang dilakukan oleh Persatuan Islam menggunakan ragam media. Dari mulai penerbitan buku, majalah dan jurnal-jurnal lainnya, ceramah, dan hingga perdebatan.
PERSATUAN ISLAM (PERSIS) DALAM WACANA DAN GERAKAN INTELEKTUAL ISLAM:
Menjelang seabad Persatuan Islam (PERSIS) 1923-2020 sudah nyaris hampir tidak terdengar gaung gerakan Persatuan Islam (PERSIS) dalam gerakan ataupun wacana Intelektual nasional maupun Internasional. Sebagaimana sejarah kelompok ini lahir dari study club (Deliar Noer, 1993: 96) yang berorientasi pada wacana dan gerakan Intelektual (baca, diskusi, dan menulis) yang lebih banyak membahas konten-konten keagamaan. Tidak hanya sebatas di diskusikan, hasil dari kajian tersebut di publish pada media-media milik Persatuan Islam (PERSIS), maka ajaran hadis “Li Yuballigh As Syaahid lil Ghaib” (Share to share dalam bingkai Qulil Haq walau Kaana Murran) menjadi semacam spectrum kuat dalam penyebarluasan paham dan ajaran Persatuan Islam (PERSIS) dan mengguncang tatanan dan adat yang ada di Indonesia, terutama dalam aspek kajian aqidah, fiqh ibadah mainstream umat Islam kala itu. Maka kemudian peran Persis dalam bidang pemikiran keagamaan lebih menonjol, selain karena adanya keterlibatan banyak tokoh-tokoh Intelektual-Ulama diantaranya dari Muhammadiyyah yang ikut terlibat dalam wacana dan gerakan Intelektual Persatuan Islam (PERSIS) diantaranya Munawar Chalil, adapula tokoh negarawan muda Islam M Natsir sebagai anggota di Jong Islamitien Bond, Sabirin tokoh dari Sarekat Islam, Hamka ataupun Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy (Tiar, Pepen,2019:60-61).
Pengaruh Persatuan Islam (PERSIS) dalam wacana dan gerakan Intelektual Islam begitu besar, Ahmad Hassan (A.Hassan) yang baru terlibat di tahun 1926 di Persatuan Islam (PERSIS) yang kemudian menjadi representasi dari Pemikiran khas Persatuan Islam yang kritis, radikal, terhadap fenomena keagamaan menyimpang seperti takhayul, bid’ah, ataupun khurafat ketika itu. A Hassan menjadi figure yang vital, lewat pemikiran dan karya-karyanya serta lembaga khusus milik jam’iyyah Persatuan Islam (PERSIS) yang dikenal sebagai Majelis Ulama Persatuan Islam (Tiar, Pepen, 2019: 61).
Darimana kontruks dasar pemikiran Persatuan Islam (PERSIS) yang lahir dari ulama-ulama Persatuan Islam (PERSIS) berasal? Hari ini sering kita menyebut bahwa pemahaman tsb lahir dari luar atau transnasional, yaitu gerakan dengan misi pemurnian (purfikasi) sebagaimana disinggung diatas, bahwa konstruk pemikiran Persatuan Islam (PERSIS) lahir dari tren dan dinamika pemikiran keagamaan di Timur Tengah. Ada yang menyebut Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam bulletin Al Manar Mesir yang fokus dalam menyoroti trend dan dinamika keagamaan serta persoalan-persoalan aktual umat Islam dalam konteks lokal maupun dunia Internasional.
Lalu secara sederhana, kita bisa menyimpulkan bahwa Persatuan Islam (PERSIS) memiliki akses terhadap informasi aktual (bahkan dalam konteks Internasional) serta mampu mengolah hal tersebut sebagai daya tawar baru gerakan alternatif yang disebut gerakan reformis Islam. Diluar itu semua, kita bisa menilai bahwa pengaruh dari luar dan intensitas dari dalam (kajian dan publikasi) membuat Persatuan Islam (PERSIS) hidup untuk terus membaca persoalan, melakukan penelaahan, dan juga tentunya gebrakan dalam wacana dan gerakan Intelektual Islam.
Lalu bagaimana hari ini?
Persatuan Islam (PERSIS) sebagaimana disinggung oleh Jeremy Menchik dalam Islam and Democracy In Indonesia 2016 Cambridge University Press, menyebut dalam satu abad terakhir gerakan Islam di Indonesia bahwa Persatuan Islam (PERSIS) menjadi ormas Islam terbesar ketiga dengan basis terbesar di Jawa Barat, NU di Jawa Timur, dan Muhammadiyah di Jawa Tengah yang menjadi representasi wacana dan pemahaman politik Islam di dunia. Maka menarik jika kita melihat relevansi data tersebut dengan gerakan dan wacana Intelektual Persatuan Islam (PERSIS) hari ini.
Kiprah Persatuan Islam (PERSIS) dalam arus wacana dan gerakan Intelektual Islam, tidak seperti dulu sebagaimana sejarah berbicara. Persatuan Islam (PERSIS) cenderung pasif dan menunggu, misalkan dalam wacana Liberalisme dan Radikalisme Pemikiran, belum terlalu banyak kader-kader Persatuan Islam (PERSIS) sebut saja Doktor Tiar Anwar B sejarawan asal UI, ataupun Malki M Natsir, P.hD asal Malaysia yang cenderung tidak difasilitasi dan diberi wadah khusus untuk menelurkan pemikiran dan pengembangan keilmuan mereka dalam wacana dan gerakan Intelektual Persis, yang justru sebagian dari mereka berada di komunitas di luar Persis sebut saja misalkan INSIST (Islamic Though and Civilization). Stagnansi, dari keterlibatan besar Persatuan Islam (PERSIS) hari ini, dalam wacana dan gerakan Intelektual Islam disinyalir karena lemahnya upaya untuk ber-transformasi, mengembangkan pola dan menyebar kader-kader terbaik Persatuan Islam (PERSIS) di berbagai bidang keilmuan, membuka lahan garapan baru dalam proyek dan tradisi keilmuan yang berbasis pada Al Qur’an dan As Sunnah. Karena sejatinya, nilai puritan dan konservatisme Persatuan Islam (PERSIS) yang dulu dan sampai sekarang bertahan, pemahaman fiqh sentris dalam masalah Aqidah dan Ibadah merupakan suatu keistimewaan untuk membentuk muslim sejati. Tinggal langkah selanjutnya, apakah siap Persatuan Islam (PERSIS) untuk mengembangkan wacana dan gerakan Intelektual Islam dengan versi yang upgrade dan modern sebagaimana Persatuan Islam (PERSIS) dulu?
MENCERMATI KARAKTERISTIK PERSIS:
Mencermati gerak Jam’iyyah Persatuan Islam (Persis) dalam dimensi peta pergerakan ormas-ormas Islam yang ada di Indonesia, kayaknya ada nuansa yang cukup menarik yang perlu kita kaji secara mendalam. Sebagai salah satu organisasi kemasyarakatan yang sudah cukup tua bila di bandingkan dengan ormas-ormas yang lain seperti Muhamadiyyah, PSII, NU bahkan al Irsyad sekalipun. Disamping itu pula persis lahir dan menjelma sebagai organisasi kemasyarakatan yang mempunyai komitmen terhadap persoalan-persoalan tajdid (pembaharu) maka konsekwensi logis yang harus di terapkan persis adalah; Bagaimana Persis mampu menjelma sebagai organisasi kemasyarakatan yang terjun langsung untuk membersihkan segala penyakit yang mengganggu umat islam di dalam melaksankan praktek-praktek ibadahnya. Dengan demikian Persis harus siap dan berani bangkit untuk menghidupkan Tajdid (pembaharu) yang telah menjadi trade mark perjuangan Persis itu sendiri.
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa Persis lahir dari sebuah kelompok kajian-kajian keislaman yang menitik beratkan dalam aspek da’wah dan tarbiyyah yang terletak di Bandung (Jawa Barat) dengan pendirinya KH. Zamzam, dan guru utamanya Tuan Hasan. Bahkan Tuan Hasan bisa disebutkan sebagai guru utama persis. karena corak atau karakteristik pemikirannya, terutama dalam bidang fikih, banyak sekali dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran beliau yang sangat brilian. Sehingga tidak asing lagi kalau beliau dikalangan persis sendiri sampai kapanpun akan senantiasa di kenang, karena ajaran-ajarannya yang mencerahkan yang telah menjadi trade mark perjuangan persis pada awalnya, yaitu mengadakan perufikasi (mengadakan pemurnian dalam beribadah). Hal ini terjadi disebabkan kefaqihan beliau serta keberanian beliau dalam berdebat dengan lawan ataupun kawan, Sehingga banyak sekali orang-orang yang tertarik dengan pemahaman beliau dan menyatakan diri ikut bergabung dengan jamiyyah persatuan islam.
Akan tetapi banyak pula yang berdebat dengan beliau tapi tidak ikut bergabung dengan jamiyyah Persatuan Islam disebabkan malu karena terlanjur sudah banyak pengikut, dan tidak mau taslim atau kembali kepada ajaran al-qur’an dan assunnah yang shahih. Sekalipun menurut pandangan lawan debatnya, apa yang diterimanya itu benar adanya. Diantara orang yang pernah berdebat dengan beliau adalah: Ir Soekarno presiden republik Indonesia yang pertama. Pada waktu itu perang opini sangat ramai di media masa, ketika Ir Soekarno banyak menyinggung masalah kenegaraan dengan memadukan antara nasionalis dan komunisnya, sehingga kejadian ini memaksa tuan Hasan merasa terpanggil untuk meluruskan ide-ide Ir Soekarno, yang kemudian Ir Soekarno sedikit banyaknya dapat menerima masukan-masukan atau kritikan-kritikan yang telah di lontarkan oleh Tuan Hasan. Salah satu contohnya adalah ketika Ir Soekarno berada dalam pembuangan dalam dekapan penjara yang terletak di Rengas Dengklok. Konon katanya beliau masih melakukan dialog dengan sepucuk surat yang di layangkan kepada Tuan Hasan, dan sekaligus Tuan Hasan menjawabnya dengan jawaban-jawaban yang memuaskan dan mencerahkan. Sehingga pada akhirnya banyak sekali Ir Soekarno melahap buku-buku yang dikirimkan oleh Tuan Hasan ketika berada dalam dekapan penjara pada waktu itu. Selanjutnya KHE Abdurahman yang menjadi murid kesayangannya pada waktu itu. Beliau juga tertarik terhadap pemahaman tuan Hasan setelah melalui sebuah perdebatan yang sengit selama berhari-hari. Yang akhirnya KHE. Abdurrahman menyatakan diri bergabung dengan Persatuan Islam disebabkan dengan pemahaman fiqihnya yang sangat luas dan mencerahkan. Bahkan KH E. Abdurrahman juga banyak melahirkan murid-muridnya untuk senantiasa berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al Sunnah yang shahih dalam seluruh dimensi kehidupan, sehingga orang-orang sudah merasa tidak asing lagi ketika mendengar nama Persis maka yang terdengar adalah dengan pemahaman fiqihnya yang sangat kental. Atau yang terkenal dengan fiqih orientied. Hal ini wajar sekali karena Persis berdiri sesuai dengan tuntutan jaman pada waktu itu.yaitu mengembalikan ibadah umat kepada ajaran yang sebenar-benarnya. Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh Persis yang berani menyuarakan,dan mengusung ide Tajdid (pembaharu) baik itu dalam ranah ibadah ataupun ranah kenegaraan. Dalam ranah ibadah yang berani melakukan perufikasi (pemurnian) semisal Tuan Hasan bersama dengan muridnya yang akhirnya sebagai pelanjut tonggak perjuangan persis setelah beliau, siapa lagi kalau bukan KHE. Abdurrahman, KH. Isya Anshari yang terkenal dengan laqab macan mimbar, karena keberanian dan ketegasan beliau dalam menyampaikan risalah keagamaan. Serta masih banyak lagi ulama ulama berkelas yang tertarik terhadap pemahaman Persis, seperti Hasby Assidiqi, Cholil Ridwan, KH Qamarudin Shaleh, Abdul Hamid Hakim dan masih banyak lagi yang lainnya. Adapun dalam masalah kenegaraan; kita mengenal sosok seorang tokoh seperti Muhammad Natsir yang menjadi murid pertama Tuan Hasan pada waktu itu. Dan beliau berhasil menjadi perdana menteri pertama di bumi pertiwi tercinta ini. Beliau sangat kental sekali dengan corak pemikiran kenegaraan yang tak pernah memisahkan urusan negara dengan agama, dan orang-orangpun selamanya akan mengenal siapa dan bagaimana sosok Muhammad Natsir dalam kancah perpolitikan ketika itu, bahkan tetap dikenang sampai sekarang.
Maka dengan demikian jelaslah, bahwa Persis lahir dengan karateristiknya sendiri, dan berbeda dengan ormas-ormas yang lainya, yang bermunculan pada waktu itu. Yaitu mengusung ide Tajdid (pembaharuan), dan mengadakan perufikasi (pemurnian dalam beribadah) atau dengan bahasa yang sudah tidak asing lagi yang sering terdengar di telinga kita. Persis lahir untuk memberantas penyakit Tahayaul, Khurafat dan Bid’ah yang sangat merebak dan semarak yang banyak dilakukan oleh umat islam pada waktu itu.
PERSIS DAN PEMURNIAN ISLAM:
Tampilnya Persatuan Islam (Persis) dalam pentas sejarah Islam di Indonesia pada awal abad ke-20 telah memberikan corak dan warna baru dalam gerakan pembaruan pemikiran Islam. Persis lahir sebagai jawaban atas tantangan dari kondisi umat Islam yang saat itu tenggelam dalam kejumudan (kemandegan berfikir), terperosok ke dalam kehidupan mistisisme, tumbuh suburnya khurafat, bid'ah, takhayul, dan syrik, serta umat Islam terbelenggu oleh penjajahan kolonial Belanda yang berusaha memadamkan cahaya Islam.
Diawali dengan terbentuknya suatu kelompok tadarusan penelaahan agama Islam di kota Bandung yang dipimpin oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus, warga Palembang yang menetap di Bandung. Mereka ini sebenarnya adalah seorang pedagang, namun keduanya memiliki minat yang tinggi terhadap masalah masalah agama. Perhatian keduanya terhadap permasalahan agama ditunjukkan dengan sering diadakannya pertemuan antar kedua keluarga besar, beserta rekan untuk menelaah, mengkaji serta menguji ajaran ajaran Islam.
Diskusi semakin semarak setelah bergabungnya A. Hassan sekitar tahun 1926 ke dalam kelompok ini. Dari kelompok ini, mereka berkeinginan melakukan gerakan tajdid dan pemurnian ajaran Islam dari paham sesat dan menyesatkan. Kesadaran akan kehidupan berjamaah berimamah, dan berimarah dalam menyebarkan syiar Islam menimbulkan semangat kelompok tadarus ini untuk mendirikan sebuah organisasi baru dengan ciri dan karakteristik yang khas. Pada tanggal 12 September 1923 bertepatan dengan tanggal Shafar 1342 H, kelompok tadarus ini secara resmi mendirikan organisasi yang diberi nama "Persatuan Islam" (Persis).
Nama "Persatuan Islam" diberikan dengan maksud untuk mengarahkan ruhul jihad, ijtihad, dan tajdid, serta berusaha dengan sekuat tenaga untuk mencapai harapan dan cita - cita yang sesuai dengan kehendak penyebaran dan cita-cita Jamiyyah, yaitu persatuan pemikiran Islam persatuan rasa Islam, persatuan suara Islam, dan persatuan usaha Islam. Ide filosofi dari konsepsi persatuan pemikiran, rasa, suara dan usaha Islam ini diilhami oleh firman Allah dalam al-Qur'an salah Ali - Imran ayat 103; "Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (undang-undang/aturan) Allah seluruhnya dan janganlah kam bercerai berai", serta sebuah hadits Nabi yang diriwayatkan ole Tirmidzi yang berbunyi; "Kekuatan Allah itu beserta jamaah". Firman Allah dan hadits Nabi tersebut dijadikan motto Persis dan ditulis dalam lambang Persis yang berbentuk lingkaran bintang bersudut 12.
Menurut Federspiel, Persis mempunyai ciri tersendiri yang berbeda dengan organisasi-organisasi lain yang berdiri pada awal abad 20. Kegiatan Persis dititikberatkan pada pembentukkan faham keagamaan, sementara kelompok pergerakan lainnya seperti Boedi Oetomo (1908) bergerak di bidang pendidikan bagi orang-orang pribumi; Syarekat Islam (1912) bergerak dibidang perdagangan dan politik; Muhammadiyyah (1912) bergerak di bidang kesejahteraan sosial masyarakat muslim dan kegiatan pendidikan keagamaan. Sejalan dengan ini, Isa Anshary mengemukakan bahwa Persis tampil sebagai sebuah organisasi dari kaum muslimin yang sefaham dan sekeyakinan; kaum pendukung dan penegak Al Quran dan As Sunnah, mengutamakan perjuangan dalam lapangan ideologi Islam, tidak dalam lapangan organisasi. Persis berjuang membentuk dirinya menjadi intisari dari kaum muslimin; ia mencari kualitas, bukan kuantitas; ia mencari isi, bukan mencari jumlah. Persis tampil sebagai suatu sumber kebangkitan dan kesadaran baru; menjadi daya dinamika yang menggerakkan kebangunan umat Islam.
Pada dasarnya, perhatian Persis ditujukan terutama pada penyebaran faham al-Qur'an dan as-Sunnah. Hal ini dilakukan dengan berbagai macam aktivitas di antaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tabligh, kelompok studi (halaqah), tadarus, mendirikan sekolah-sekolah (pesantren), menerbitkan majalah-majalah dan kitab-kitab, serta berbagai aktivitas keagamaan lainnya. Dalam bidang pendidikan misalnya, pada tahun 1924 diselenggarakan kelas pendidikan aqidah dan ibadah bagi orang dewasa; pada tahun 1927 didirikan lembaga pendidikan kanak-kanak dan HIS (Holland Inlandesch School) yang merupakan proyek lembaga pendidikan Islam di bawah pimpinan Mohammad Natsir, pada tanggal 4 Maret 1936 didirikan secara resmi Pesantren Persatuan Islam yang pertama dan diberi nomor 1 di Bandung. Dalam bidang penerbitan, Persis banyak menerbitkan buku-buku dan majalah-majalah di antaranya majalah Pembela Islam, majalah Al-Fatwa, majalah Al-Lissan, majalah At-Taqwa, majalah berkala Al-Hikam, majalah Aliran Islam, majalah Risalah, majalah Pemuda Persis Tamaddun, Majalah berbahasa Sunda Iber, dan berbagai majalah ataupun siaran publikasi yang diterbitkan di cabang-cabang Persis.
Di awal abad ke-21, aktivitas Persis telah meluas ke dalam aspek aspek lain, tidak hanya dalam serangkaian kegiatan yang disebut atas, akan tetapi telah meluas ke berbagai bidang garapan yang dibutuhkan oleh umat Islam melalui bidang pendidikan (pendidikan tinggi dan pendidikan dasar/menengah), dakwah, bimbingan perzakatan, sosial, ekonomi, perwakafan, dan pembangunan fisik. Demikian pula serangkaian kegiatan dakwah banyak digelar di daerah-daerah, baik atas inisiatif pimpinan pusat Persis maupun inisiatif dari cabang-cabang Persis, undangan dari organisasi organisasi Islam lainnya serta masyarakat luas.
Dalam kegiatan dakwah ini, yang patut dicatat dan khas Persis, tidak hanya bersifat ceramah sebagaimana biasanya, tetapi juga diisi dengan menggelar perdebatan tentang berbagai masalah keagamaan; di antaranya perdebatan Persis dengan Al-Ittihadul Islam di Sukabumi (1932). Perdebatan dengan kelompok Ahmadiyah (1933), perdebatan dengan Nahdlatul Ulama (1936), serta serangkaian perdebatan dengan orang orang kristen, perdebatan dengan kelompok nasionalis, bahkan polemik yang berkepanjangan antara A. Hassan dengan Ir. Soekarno tentang faham kebangsaan.
Bila memperhatikan kegiatan yang dilakukan Persis pada masa awal berdirinya memang sangat terlihat bahwa orientasi Persis lebih banyak pada masalah-masalah yang berkait dengan pemikiran Islam. Karena yang diperbincangkan oleh Persis berangkat dari masalah-masalah yang sifatnya praktis, yaitu yang muncul dalam amaliah sehari-hari masyarakat, maka pemikiran Islam yang diperbincangkan oleh Persis pun cenderung lebih banyak membincangkan masalah-masalah fikih keseharian. Oleh sebab bersentuhan langsung dengan publik, maka beberapa isu yang berbeda dengan keseharian masyarakat menjadi topik cukup kontroversial seperti larangan melafalkan niat dalam shalat, larangan membaca talkin bagi yang sudah meninggal, larangan kenduri pasca-kematian/tahlilan, dan semisalnya. Masalah-masalah kontroversial ini justru pada gilirannya dapat memunculkan nama Persatuan Islam ke permukaan.
Oleh sebab banyak yang mempertanyakan landasan berpikir yang dilontarkan oleh Persis, maka salah satu yang juga menjadi perhatian cukup mendalam dalam wacana pemikiran yang dikembangkan oleh Persis adalah isu-isu berkaitan dengan ushul fiqh yang menjadi dasar berpikir Persis, Isu-isu mengenai ushul Fiqh ini sebetulnya yang kemudian menjadi daya tarik bagi para aktivis Islam dari kalangan modernis untuk memberikan apresiasi pada gerakan Persis. Muslim modernis ini pada umumnya adalah kalangan terpelajar yang mau menerima sesuatu bila argumennya kokoh. Terbitan-terbitan Persis cukup mewakili corak berpikir kritis kaum modernis. Tidak mengherankan bila Federspiel mengakui bahwa pada bidang pemikiran bila dicari corak berpikir keagamaan kaum modernis pada awal ke 20 di Indonesia, maka perwujudannya dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Persatuan Islam. Usaha-usaha Persis menyajikan landasan berpikir fikih ini pula yang menempatkan Persis menjadi salah satu pelopor pembaharuan hukum Islam di Indonesia pada awal abad ke 20. Apa yang dilakukan oleh Persis ini telah berhasil membuka pintu ijtihad dalam fikih yang nantinya cukup berpengaruh pada perumusan fikih baru setelah indonesia merdeka, terutama yang berkaitan dengan perumusan fikih yang berpengaruh pada hukum legal di Indonesia.
KESIMPULAN:
Lahirnya Persatuan Islam (Persis) sebagai organisasi sosial keagamaan telah menjadi solusi atas permasalahan umat Islam di Indonesia yang terkerangkeng oleh kejumudan, pola hidup yang penuh khurafat, bid’ah, takhayul dan kemusyrikan serta merosotnya moral dan akhlak umat manusia. Menyonsong satu abad usianya, Persis sebagai Organisasi masyarakat (ormas) Islam semakin dihadapkan pada berbagai persoalan yang kian kompleks. Untuk itu Persis telah melakukan berbagai hal baik bidang dakwah maupun Pendidikan. Dalam bidang Pendidikan, Persis telah mendirikan lembaga pendidikan Islam berbentuk pesantren mulai dari tingkat Taman Kanak-Kanak sampai tingkat perguruan tinggi. Selain itu, Persis juga membuat dan menyelenggrakan kursus-kursus dan kelompok-kelompok diskusi yang mengkaji masalah masalah keagamaan terutama yang berkaitan dengan keimanan dan ibadah umat Islam. Persis juga banyak menerbitkan buku-buku dan majalah-majalah. Melalui penerbitan ini, Persis menyebarluaskan pemikiran dan ide-ide mengenai dakwah pembaruan dan Pendidikan Islam.
Adapun dari aspek kurikulum pendidikannya, Persis tidak hanya menekankan pendidikan keislaman melalui penguasaan bahasa Arab dan pengkajian Alquran dan Hadits semata, namun juga penguasaan pendidikan umum (mata pelajaran umum). Namun dalam penyelenggaraan Lembaga Pendidikan Islam tersebut, Persis perlu berbenah karena masih terdapat kelemahan dalam hal manajemen dan minimnya sarana pendidikan, serta kualitas SDM yang belum memadai. Karena itu, Persis perlu melakukan refleksi terhadap gerakan-gerakan yang sudah dilakukan selama ini, baik dakwah maupun Pendidikan. Persis juga perlu meningkatkan koordinasi dengan seluruh Lembaga Pendidikan Islam Persis yang tersebar di berbagai cabang Persis di wilayah Indonesia.
Pemikiran Persis, atau Persatuan Islam, mencakup serangkaian gagasan dan prinsip yang menjadi fondasi ideologis gerakan tersebut. Berikut adalah beberapa pemikiran utama Persis:
1. Pentingnya Islam dalam Kehidupan: Persis meyakini bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi juga sistem yang mencakup semua aspek kehidupan manusia. Mereka memandang Islam sebagai panduan utama dalam mengatur perilaku individu, masyarakat, dan negara.
2. Penerapan Syariah: Persis mendukung penerapan hukum Islam (syariah) dalam masyarakat. Mereka percaya bahwa syariah adalah cara yang paling baik untuk mencapai keadilan, moralitas, dan kesejahteraan bagi individu dan masyarakat.
3. Kepemimpinan Berbasis Islam: Persis mengadvokasi pemimpin yang berdasarkan pada prinsip-prinsip Islam. Mereka percaya bahwa pemimpin yang adil, bijaksana, dan bertaqwa adalah kunci untuk mencapai kemajuan dan keberhasilan.
4. Dakwah dan Pendidikan: Persis sangat aktif dalam kegiatan dakwah (penyiaran agama) dan pendidikan Islam. Mereka mendirikan sekolah-sekolah, pesantren, dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya untuk menyebarkan ajaran Islam dan memperkuat identitas Muslim.
5. Solidaritas Umat: Persis mendorong solidaritas dan persatuan umat Muslim. Mereka memperjuangkan kepentingan bersama umat Islam dan mendukung kerjasama antara negara-negara Muslim.
6. Peran Sosial dan Politik: Persis terlibat dalam berbagai kegiatan sosial, seperti bantuan kemanusiaan, pengembangan masyarakat, dan pemberdayaan ekonomi. Mereka juga memiliki pengaruh politik yang signifikan, meskipun umumnya tidak secara langsung terlibat dalam politik praktis.
Pemikiran Persis merupakan kombinasi dari nilai-nilai keagamaan, sosial, dan politik yang mengarah pada peran Islam yang kuat dalam kehidupan individu dan masyarakat.
Pergerakan Persis, atau Persatuan Islam, telah menjadi salah satu kekuatan penting dalam sejarah sosial, keagamaan, dan politik di Indonesia. Beberapa pergerakan yang signifikan yang terkait dengan Persis antara lain:
1. Pergerakan untuk Pemberlakuan Syariah: Persis telah aktif dalam mengadvokasi pemberlakuan hukum Islam (syariah) dalam masyarakat Indonesia. Mereka telah mengorganisir kampanye, demonstrasi, dan diskusi publik untuk memperjuangkan penerapan prinsip-prinsip Islam dalam hukum dan kebijakan negara.
2. Pergerakan Pendidikan Islam: Persis telah berperan besar dalam pengembangan pendidikan Islam di Indonesia. Mereka mendirikan sekolah-sekolah, pesantren, dan lembaga pendidikan lainnya yang berfokus pada pembelajaran agama Islam dan pengembangan karakter Muslim.
3. Pergerakan Dakwah dan Penyebaran Islam: Persis secara aktif terlibat dalam kegiatan dakwah (penyiaran agama) dan penyebaran Islam di Indonesia. Mereka mengorganisir ceramah, kajian, dan acara-acara keagamaan lainnya untuk menyebarkan ajaran Islam dan memperkuat iman umat Muslim.
4. Pergerakan Kemanusiaan: Persis juga terlibat dalam kegiatan kemanusiaan, seperti memberikan bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan, menyediakan fasilitas kesehatan, dan mendukung korban bencana alam.
5. Pergerakan Politik: Meskipun tidak secara langsung terlibat dalam politik praktis, Persis memiliki pengaruh politik yang signifikan di Indonesia. Anggotanya sering terlibat dalam gerakan politik Islam dan dapat mendukung partai-partai politik yang memiliki agenda Islam.
6. Pergerakan Sosial Ekomomi: Persis juga memiliki peran dalam pengembangan ekonomi umat Muslim. Mereka mengorganisir program-program ekonomi yang berbasis pada prinsip-prinsip Islam, seperti program koperasi dan usaha mikro.
Pergerakan Persis mencakup berbagai aspek kehidupan dan telah menjadi kekuatan yang berpengaruh dalam membentuk masyarakat dan politik di Indonesia.
SUMBER PENULISAN:
https://cabangmargaasih.blogspot.com/2013/10/sejarah-persatuan-islam-persis.html
https://pwkpersis.wordpress.com/2008/03/20/mencermati-karakteristik-persis/
https://www.kompasiana.com/kautsar15709/62c2ef594fdf913cc316e772/persis-dan-pemurnian-islam
“PERSIS ORGANISASI KEAGAMAAN TIDAK PERNAH PUNYA WATAK MENGHIMPUN SUATU KEKUATAN UNTUK DIHADAPKAN DENGAN KEKUATAN LAIN. AKAN TETAPI PERSIS PUNYA WATAK, BAGAIMANA MENGHIMPUN BERBAGAI KEKUATAN YANG ADA UNTUK BERSAMA-SAMA MEWUJUDKAN RAHMATAN LIL ALAMIN.”
MENJADI MUBALIGH DI PERSIS:
1. JANGAN MAU DISETIR OLEH JAMAAH.
2. BAHAN CERAMAH ITU JANGAN SATU, TAPI SIAPKAN BAHAN CERAMAH YANG LAIN.
3. BEKALI DENGAN ILMU.
4. IDEALNYA ANTARA UCAPAN DAN AMALAN SELARAS.
5. HARUS CERDAS DAN PANDAI MENGGUNAKAN BAHASA.
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan