SALAT TASBIH MENURUT FIQHUS SUNNAH

SHALAT TASBIH:

عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْعَبَّاسِ ابْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ:
Dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda kepada Abbas bin Abdul Muththalib:

(يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهُ، أَلَا أُعْطِيْكَ، أَلَا أَمْنَحُكَ، أَلَا أَحْبُوْكَ، أَلَا أَفْعَلُ بِكَ عَشْرَ خِصَالٍ، إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ، وَقَدِيْمَهُ وَحَدِيْثَهُ، وَخَطَأَهُ وَعَمْدَهُ، وَصَغِيْرَهُ وَكَبِيْرَهُ، وَسِرَّهُ وَعَلَانِيَّتَهُ. عَشْرُ خِصَالٍ: أَنْ تُصَلِّيَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَسُوْرَةٍ، فَإِذَا فَرَغْتَ مِنَ الْقِرَاءَةِ فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ فَقُلْ وَأَنْتَ قَائِمٌ: سُبْحَانَ اللهِ، وَالْحَمْدُ للهِ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً، ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُوْلُ وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ الرُّكُوْعِ. فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا، ثُمَّ تَهْوِي سَاجِدًا فَتَقُوْلُ وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ السُّجُوْدِ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا، ثُمَّ تَهْوِي سَاجِدًا فَتَقُوْلُ وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ السُّجُوْدِ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا. فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُوْنَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ، تَفْعَلُ ذَلِكَ فِي أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ. وَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيهَا فِي كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَفِي كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ سَنَّةٍ مَرَّةً، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي عُمُرِكَ مَرَّةً). رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَابْنُ مَاجَه وَابْنُ خُزَيْمَةَ فِي صَحِيْحِهِ وَالطَّبْرَانِي.
Wahai Abbas, wahai paman, maukah kamu bila aku memberi kepadamu, maukah kamu bila aku memberi kepadamu, maukah kamu bila memberi kepadamu, maukah kamu bila aku mengajarimu sepuluh amalan, jika kamu melakukan itu maka Allah mengampuni dosamu yang awal dan yang akhir, yang lalu dan yang baru, yang disengaja dan yang tidak sengaja, yang kecil dan yang besar, yang tersembunyi dan yang terang-terangan, sepuluh amalan; Hendaknya engkau mengerjakan shalat 4 rakaat. Setiap rakaat hendaknya engkau membaca al-fatihah dan surat (lainnya). Jika kamu telah selesai dari bacaan pada rakaat pertama, maka ucapkanlah saat kamu masih berdiri: Subhanallah, wal hamdulillah, wa lailaha illallah huwallahu akbar, sebanyak lima belas kali. Kemudian engkau ruku. Dan dalam keadaan ruku, hendaknya engkau mengucapkan bacaan tadi sebanyak sepuluh kali. Kemudian bangkit dari ruku dan hendaknya engkau mengucapkannya sepuluh kali. Kemudian sujud dan dalam keadaan sujud, engkau mengucapkannya sepuluh kali. Kemudian engkau mengangkat kepalamu dari sujud lantas mengucapkannya sepuluh kali. Kemudian engkau sujud dan mengucapkannya sepuluh kali saat engkau dalam keadaan sujud. Kemudian angkat kepalamu dari sujud dan mengucapkannya sepuluh kali (maksudnya duduk istirahat sejenak sebelum berdiri). Jadi, jumlahnya ada tujuh puluh lima kali dalam setiap raka’at. Demikianlah yang engkau kerjakan dalam empat raka’at. Jika engkau mampu mengerjakan sekali dalam sehari, maka lakukanlah. Jika tidak mampu, lakukanlah sepekan sekali. Jika tidak mampu juga, maka kerjakanlah dalam setahun sekali. Dan jika engkau masih belum melakukan juga, maka kerjakanlah sekali dalam seumur hidupmu.” H.R. Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ibnu Khuzaimah dalam kitab Sahihnya dan juga diriwayatkan oleh Thabrani.

قَالَ الْحَافِظُ: وَقَدْ رُوِيَ هَذَا الْحَدِيْثُ مِنْ طُرُقٍ كَثِيْرَةٍ، وَعَنْ جَامَعَةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ. وَأَمْثَلُهَا حَدِيْثُ عِكْرِمَةَ هَذَا، وَقَدْ صَحَّحَهُ جَمَاعَةٌ: مِنْهُمُ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ اَلاجِرِي، وَشَيْخُنَا أَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ الرَّحِيْمِ الْمِصْرِيُّ، وَشَيْخُنَا الحَافِظُ أَبُو الْحَسَنِ الْمَقْدِسِيُّ رَحِمَهُمُ اللهُ.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: Hadits ini diriwayatkan berdasarkan sanad yang banyak, dan sejumlah sahabat, namun riwayat yang paling menonjol adalah hadits Ikrimah ini. Hadits ini shahih menurut sejumlah kalangan diantaranya adalah Al-Hafizh Abu Bakar Al-Ajiriy, syekh kami Muhammad Abdurrahim Al-Mishriy, dan syekh kami Al-Hafizh Abu Hasan Al-Maqdisi -semoga Allah merahmati mereka semua-.

وَقَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ: صَلَاةُ التَّسْبِيْحِ مُرَغَّبٌ فِيْهَا، يُسْتَحَبُّ أَنْ يَعْتَادَهَا فِي كُلِّ حِيْنٍ وَلَا يَتَغَافَلَ عَنْهَا.
Ibnu Mubarak berkata: Shalat Tasbih sangat dianjurkan. Bahkan hendaknya shalat ini biasa dilakukan setiap saat dan jangan sampai dilalaikan.

TAMBAHAN:
Perlu diketahui bahwa hadis-hadis tentang salat tasbih tidak akan didapatkan pada kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim yang telah kita maklumi akan kesahihannya. Oleh sebab itu merupakan suatu hal yang wajar apabila dalam mensikapi masalah ini ulama terbagi ke dalam dua kelompok; yang menyatakan maqbul (sahih atau hasan) dan yang menyatakan mardud (dha’if sampai maudhu’). 

Ulama yang menyatakan hasan antara lain Zaenuddin Ibnu Abdil Aziz dalam kitabnya Fathul Mu’in. Bahkan beliau mengutip pernyataan sebagian ahli tahqiq bahwa tidak akan mencela keutamaannya yang agung dan meninggalkannya selain orang-orang yang menyepelekan agama (Fathul Mu’in, I:249). 

Ulama yang menyatakan sahih antara lain Abu Bakar Al-Ajiri, Abdur Rahim Al-Mishri, dan Abul Hasan Al-Maqdisi (Tuhfatul Ahwadzi, II:598). Ibnul Mubarak berpendapat bahwa salat tasbih itu sunat, serta dianjurkan untuk membiasakannya pada setiap waktu dan tidak boleh dilalaikan (Fiqhus Sunnah, I:213).  

Ulama yang menyatakan da’if antara lain Imam At-Tirmidzi dan Abu Bakar Al-Uqaili yang berpendapat bahwa hadis tersebut tidak benar datangnya dari Nabi saw. Bahkan oleh Ibnul Jauzi (Al-Maudhu’at II:143-146) hadis-hadis tentang salat tasbih itu dikategorikan sebagai hadis maudhu’ (palsu), meskipun pendapat beliau ini banyak yang membantah.

Perbedaan pendapat di atas menunjukkan bahwa:
1. Para ulama itu tidak mendapatkan secara merata hadis-hadis tentang salat tasbih.
2. Hadis-hadis tersebut diukur dengan kriteria masing-masing. Itu sebabnya dalil yang dijadikan sandaran untuk ketetapan adanya salat tasbih tidak sama, baik sanad maupun matan.
3. Di antara hadis tentang salat tasbih ini ada yang hanya hasil rekayasa untuk merangsang umat Islam agar gemar membaca tasbih, paling tidak di dalam salat itu.

Dengan demikian perlu kita bahas secara lebih seksama, dengan harapan akan melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang kuat dan menentramkan. 

TAKHRIJ HADIS SALAT TASBIH:
Hadis tentang salat Tasbih berdasarkan kitab Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfazh Al-Hadits Al-Nabawi, karya Dr. A.J. Wensinck (1943, II:392), terdapat di dalam kitab Sunan Abu Daud, Sunan At-Tirmidzi, dan Sunan Ibnu Majah. Namun berdasarkan penelitian kami, hadis-hadis tentang salat tasbih itu dimuat kurang lebih dalam 13 kitab hadis dengan sanad dan matan yang bermacam-macam, yang disampaikan oleh 5 orang sahabat:

PERTAMA: Ibnu Abbas. 
Diriwayatkan oleh Al-Hakim, Al-Mustadrak I:463; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah II:223; Al-Baihaqi, As-Sunanus Shagir I:391 dan As-Sunanul Kubra III:51; Abu Daud, Sunan Abu Daud II:29; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah I:443; At-Thabrani, Al-Mu’jamul Kabir XI:161 & 243, Al-Mu’jamul Ausath III:14-15, pada umumnya menggunakan redaksi sebagai berikut:  

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ: يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهْ أَلاَ أُعْطِيْكَ أَلاَ أَمْنَحُكَ أَلاَ أَحْبُوْكَ أَلاَ أَفْعَلُ بِكَ عَشْرَ حِصَالٍ إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذلِكَ غَفَرَ اللهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوَّلَهُ وَ أخِرَهْ قَدِيْمَهُ وَحَدِيْثَهُ خَطَأَهُ وَعَمْدَهُ صَغِيْرَهُ وَ كَبِيْرَهُ سِرَّهُ وَعَلاَنِيَّتَهُ, عَشْرُ حِصَالٍ: أَنْ تُصَلِّيَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَسُوْرَةً فَإِذَا فَرَغْتَ مِنَ الْقِرَاءَةِ فِيْ أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَأَنْتَ قَائِمٌ قُلْتَ: سُبْحَانَ اللهِ وَ الْحَمْدُ للهِ وَلاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُوْلُهَا وَ أَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِن الرُّكُوْعِ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَهْوِيْ سَاجِدًا فَتَقُوْلُهَا وَ أَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ السُّجُوْدِ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَسْجُدُ  فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا  ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا فَذلِكَ خَمْسٌ وَ سَبْعُوْنَ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ تَفْعَلُ ذلِكَ فِيْ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِيْ كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِيْ كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً  فَإِنْ لمْ تَفْعَلْ فَفِيْ كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِيْ كُلَّ سَنَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِيْ عُمْرِكَ مَرَّةً. 
“Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda kepada Al-Abbas ibn Abdul Muthallib, ‘Wahai Abbas, wahai pamanku, maukah engkau saya beri? Maukah engkau saya anugerahi? Maukah engkau saya hadiahi? Maukah engkau saya peraktikkan sepuluh perkara, yang jika engkau melakukannya, niscaya Allah akan mengampuni dosamu baik yang pertama dan terakhir, yang lama dan baru, sengaja dan tidak, kecil dan besar, maupun tersembunyi dan terang-terangan. Sepuluh perkara itu ialah engkau salat sebanyak empat rakaat, pada setiap rakaat engkau baca Al-Fatihah dan surah, bila engkau selesai membaca pada awal rakaat, dalam keadaan berdiri engkau ucapkan ‘subhanallah, Al-hamdulillah, lailaaha illallah, dan allahu akbar 15 kali. Kemudian engkau ruku’, maka dalam keadaan ruku engkau ucapkan kalimat-kalimat itu 10 kali. Kemudian engkau bangkit dari ruku’, maka ucapkanlah kalimat-kalimat itu 10 kali. Kemudian engkau turun sujud, maka dalam keadaan sujud engkau ucapkan kalimat-kalimat itu 10 kali. Kemudian engkau bangkit dari sujud maka ucapkan kalimat-kalimat itu 10 kali. Kemudian engkau sujud lagi, maka ucapkanlah kalimat-kalimat itu 10 kali. Kemudian engkau bangkit dari sujud, maka ucapkanlah kalimat-kalimat itu 10 kali. Maka kalimat-kalimat itu sebanyak 75 kali pada setiap rakaat, yang demikian itu engkau lakukan dalam empat rakaat. Jika engkau sanggup melaksanakannya setiap hari satu kali, maka lakukanlah. Jika tidak sanggup, maka setiap minggu satu kali. Jika tidak sanggup, maka setiap bulan satu kali. Jika tidak sanggup, maka setiap tahun satu kali. Jika tidak sanggup, maka seumur hidupmu satu kali.” 

KEDUA: Abu Rafi’.
Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi II:350; Al-Baihaqi, As-Sunanus Shagir I:490; Syu’abul Iman I:427; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah I:442; Ath-Thabrani, Al-Mu’jamul kabir I:329, pada umumnya menggunakan redaksi sebagai berikut:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ لِلْعَبَّاسِ: يَاعَمُّ أَلاَ أَحْبُوْكَ ؟ أَلاَ أَنْفَعُكَ ؟ أَلاَ أَصِلُكَ ؟ قَالَ: بَلَى يَارَسُوْلَ اللهِ, قَالَ: فَصَلِّ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَسُوْرَةٍ فَإِذَا انْقَضَتِ الْقِرَاءَةُ فَقُلْ : سُبْحَانَ اللهِ وَ الْحَمْدُ ِللهِ وَلاَ إِلهَ إِلاَّ اللهِ وَاللهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً قَبْلَ أَنْ تَرْكَعَ ثُمَّ ارْكَعْ فَقُلْهَا عَشْرًا ثُمَّ ارْفَعْ رَأْسَكَ فَقُلْهَا عَشْرًا ثُمَّ اسْجُدْ فَقُلْهَا عَشْرًا ثُمَّ ارْفَعْ  رَأْسَكَ  فَقُلْهَا عَشْرًا ثُمَّ اسْجُدْ  فَقُلْهَا عَشْرًا  ثُمَّ ارْفَع رَأْسَكَ فَقُلْهَا عَشْرًا قَبْلَ أَنْ تَقُوْمَ  فَتِلْكَ خَمْسٌ وَ سَبْعُوْنَ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ  وَهِيَ ثَلاَثُ مِائَةٍ  فِيْ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ فَلَوْ كَانَتْ ذُنُوْبُكَ مِثْلَ رَمْلٍ عَالِجٍ غَفَرَهَا لَكَ قَالَ: يَارَسُوْلَ اللهِ وَمَنْ لَمْ  يَسْتَطِعْ يَقُوْلُهَا  فِيْ  يَوْمٍ ؟ قَالَ: قُلْهَا فِيْ جُمُعَةٍ  فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقُلْهَا فِيْ  شَهْرٍ حَتَّى قَالَ فَقُلْهَا فِيْ  سَنَةٍ. 
‘Rasulullah saw. bersabda kepada Abbas, ‘Wahai pamanku, maukah aku menghadiahimu? Maukah aku memberi manfaat padamu? Maukah aku memberimu?’ Ia menjawab, ‘Ya wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda, ’Salatlah kamu empat rakaat kamu membaca pada setiap rakaat Al-Fatihah dan surah, bila engkau selesai membaca, ucapkanlah ‘subhanallah, Al-hamdulillah, lailaaha illallah, dan allahu akbar 15 kali sebelum kamu ruku’, Kemudian engkau ruku’, maka engkau ucapkan kalimat-kalimat itu 10 kali. Kemudian engkau bangkit dari ruku’, maka ucapkanlah kalimat-kalimat itu 10 kali. Kemudian engkau turun sujud, maka dalam keadaan sujud engkau ucapkan kalimat-kalimat itu 10 kali. Kemudian engkau bangkit dari sujud maka ucapkan kalimat-kalimat itu 10 kali. Kemudian engkau sujud lagi, maka ucapkanlah kalimat-kalimat itu 10 kali. Kemudian engkau bangkit dari sujud, maka ucapkanlah kalimat-kalimat itu 10 kali sebelum engkau berdiri. Maka kalimat-kalimat itu sebanyak 75 kali pada setiap rakaat, dan jumlahnya 300 dalam empat rakaat. maka kalaulah dosa-dosamu seperti pasir yang bertumpuk pasti Allah mengampunimu’. Ia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah siapa yang tidak mampu mengucapkannya setiap hari?’ Beliau menjawab, ‘Ucapkanlah setiap Jum’at, Jika engkau tidak sanggup melaksanakannya setiap Jum’at., maka ucapkanlah setiap bulan satu kali. sehingga beliau bersabda, maka ucapkanlah setiap tahun satu kali.” 
 
KETIGA: Abdullah bin Amr bin Al-Ash.
Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, As-Sunanus Shagir I:391; Abu Daud, Sunan Abu Daud I:292, dengan redaksi sebagai berikut:

عَنْ أَبِيْ الْجَوْزَاءِ قَالَ: حَدَّثَنِيْ رَجُلٌ كَانَتْ لَهُ صُحْبَةٌ يَرَوْنَ أَنَّهُ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرٍو قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ص: إِئْتِنِيْ غَدًا أَحْبُوْكَ وَأُثِيْبُكَ وَأُعْطِيْكَ, حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ يُعْطِيْنِيْ عَطِيَّةً, قَالَ: إِذَا زَالَ النَّهَارُ فَقُمْ فَصَلِّ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ. فَذَكَرَ نَحْوَهُ, قَالَ: تَرْفَعُ رَأْسَكَ - يَعْنِيْ مِنَ السَّجْدَةِ الثَّانِيَةِ - فَاسْتَوِ جَالِسًا وَلاَ تَقُمْ حَتَّى تُسَبِّحَ عَشْرًا وَتُحَمِّدَ عَشْرًا وَتُكَبِّرُعَشْرًا وَتُهَلِّلُ عَشْرًا ثُمَّ تَصْنَعُ ذَلِكَ فِيْ الأَرْبَعِ رَكَعَاتٍ. قَالَ: فَإِنَّكَ لَوْكُنْتَ أَعْظَمَ أَهْلِ الأَرْضِ ذَنْبًا غَفَرَ لَكَ بِذَلِكَ. قُلْتُ: فَإِنْ لَمْ أَسْتَطِعْ أَنْ أُصَلِّيَهَا تِلْكَ السَّاعَةَ ؟ قَالَ: صَلِّهَا مِنَ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ.
“Dari Abu Al-Jauza, ia berkata, “Telah menceritakan kepada kami seorang laki-laki yang memiliki persahabatan (dengan Rasul) yang mereka anggap dia itu Abdullah ibn Amr, ia berkata, ‘Nabi saw. bersabda, ‘Datanglah kamu kepadaku besok, aku akan menghadiahimu, aku akan menganugerahimu, dan aku akan memberimu, sehingga aku menyangka beliau akan memberi kan suatu pemberian kepadaku. Beliau bersabda, ‘Bila telah tergelincir siang, maka berdirilah kamu dan salatlah empat rakaat, lalu beliau menyebutkan seperti di atas, beliau bersabda, ‘angkat kepalamu -yaitu dari sujud kedua- maka tegaklah dalam keadaan duduk dan jangalah berdiri sampai engkau bertasbih 10 kali, bertahmid 10 kali, bertakbir 10 kali, dan bertahlil 10 kali, kemudian kamu lakukan hal itu pada empat rakaat. Beliau bersabda, ‘Jika kamu adalah penduduk bumi yang paling besar dosanya, pasti Allah mengampunimu dengan itu’. Aku bertanya, ‘Jika aku tidak sanggup melakukannya pada saat itu? Beliau menjawab, “Salatlah pada waktu malam dan siang hari” 

KEEMPAT: Anas bin Malik.
Diriwayatkan oleh Ahmad, Musnad Ahmad III:120; Ibnu Hiban, Al-Ihsan bi Tartibi Shahihibni Hiban V: 535; An-Nasai, Sunan An-Nasai III:51; At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi II:349; Al-Hakim, Al-Mustadrak I:462; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah II:231, pada umumnya menggunakan redaksi sebagai berikut:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ: أَنَّ أُمِّ سُلَيْمٍ غَدَتْ عَلَى النَّبِيِّ - فَقَالَتْ: عَلِّمْنِيْ  كَلِمَاتٍ أَقُوْلُهُنَّ فِيْ صَلاَتِيْ, فَقَالَ: كَبِّرِيْ اللهَ عَشْرًا وَسَبِّحِيْ اللهَ عَشْرًا وَاحْمَدِيْهِ عَشْرًا ثُمَّ سَلِيْ مَا شِئْتِ, يَقُوْلُ: نَعَمْ نَعَمْ. 
“Dari Anas ibn Malik: ‘Sesungguhnya Ummu Sulaim datang kepada Nabi saw., maka dia berkata:’Ajarkanlah kepadaku beberapa kalimat yang akan aku ucapkan dalam salatku, maka Nabi menjawab, ‘Bertakbirlah sepuluh kali, bertasbihlah sepuluh kali, bertahmidlah sepuluh kali, kemudian mintalah apa yang kamu kehendaki, Dia (Allah) akan mengiyakan dengan na’am, na’am.”  

Penggunaan hadis di atas sebagai dalil disyariatkannya salat tasbih tidak disepakati oleh para ulama. Imam An-Nasai membuat judul bagi hadis di atas dengan “Babud Dzikri ba’dat Tasyahhud”. Sunan An-Nasai, III:51. Ibnu Hiban menjelaskan bahwa tasbih, tahmid, dan takbir itu diperintah untuk diamalkan setelah salat, bukan di dalam salat. Al-Ihsan bi Tartibi Shahihibni Hiban, V:535. Ibnu Khuzaimah (Shahih Ibnu Khuzaimah, II:31) menempatkan hadis tersebut pada bab:

بَابُ إِبَاحَةِ التَّسْبِيْحِ وَالتَّحْمِيْدِ وَالتَّكْبِيْرِ فِي الصَّلاَةِ عِنْدَ إِرَادَةِ الْمَرْءِ مَسْأَلَةً حَاجَةً يَسْأَلُهَا رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَمَا يُرْجَى فِي ذلِكَ مِنَ الإِسْتِجَابَةِ.
Imam Al-Hakim menempatkan hadis tersebut pada bab salat tathawwu’ (Al-Mustadrak I:462;) Sedangkan oleh Imam At-Tirmidzi (Sunan At-Tirmidzi II:349) dan Ukasyah Abdul Mannan (Fiqhul Imamil Bukhari, 1999:518) hadis tersebut dijadikan dalil salat tasbih.

KELIMA: Al-Anshari tanpa disebutkan namanya.
Hadisnya hanya diriwayatkan oleh Abu Daud, Sunan Abu Daud I:293.

حَدَّثَنَا أَبُوْ تَوْبَةَ الرَّبِيْعُ بْنُ نَافِعٍ ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُهَاجِرٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ رُوَيْمٍ حَدَّثَنِيْ الأَنْصَارِيُّ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ لِجَعْفَرَ بِهَذَا الْحَدِيْثِ.
“Abu Taubah Al-Rabi’ ibn Nafi’ telah menceritakan kami, Muhammad ibn Muhajir telah menceritakan kepada kami, dari ‘Urwah bin Ruwaim, Al-Anshari telah menceritakan kepada saya, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda kepada Ja’far dengan hadis ini’ (sama seperti hadis Abdullah bin Amr). 

Menurut Al-Mizzi ada yang mengatakan bahwa Al-Anshari di sini adalah Jabir bin Abdullah, dengan pertimbangan bahwa Ibnu Asakir meriwayatkan pada tarjamah Urwah bin Ruwaim beberapa hadis dari Jabir Al-Anshari, maka bisa jadi Al-Anshari pada hadis ini pun adalah Jabir. Akan tetapi hadis-hadis itu diriwayatkan melalui jalan lain selain Muhammad bin Muhajir dari Urwah bin Ruwaim, yaitu dua riwayat Ath-Thabrani melalui Abu Taubah (di atas) pada kedua riwayat itu Urwah berkata, telah menceritakan kepadaku Abu Kabsyah Al-Anmari, barangkali huruf mim (Al-Anmari) terasa sedikit berat sehingga menyerupai shad, jika demikian maka sahabat pada hadis ini adalah Abu Kabsyah. (lihat, Aunul Ma’bud, IV:128) 

Untuk mengetahui sejauhmana kedudukan hadis tentang salat tasbih yang telah ditulis pada al Qudwah edisi sebelumnya, maka kami perlu mengemukakan argumentasi para ulama dari kedua belah pihak, kemudian mencari mana yang lebih rajih (kuat), dengan harapan menjadi bahan kajian para ulama untuk diteliti kembali.

ALASAN PENDAIFAN HADIS SALAT TASBIH:
Ulama yang menyatakan bahwa salat tasbih itu tidak disyariatkan berpendapat bahwa hadis-hadis tentang salat tasbih itu tidak dapat dijadikan hujjah, karena dha’if, bahkan maudhu.

A. Ali bin Abu Bakar Al-Haitsami berpendapat bahwa hadis-hadis salat tasbih itu dhai’f dengan alasan: Hadis Ibnu Abas riwayat At-Thabrani yang menceritakan kedatangan Al-Abas kepada Nabi, pada sanadnya terdapat rawi Nafi bin Hurmuz, dia dha’if.  Hadis Ibnu Abas juga riwayat At-Thabrani, yang menceritakan perkataan Rasul kepadanya, pada sanadnya terdapat rawi Abdul Quddus bin Habib, dia matruk. Hadis Ibnu Abas yang diriwayatkan oleh At-Thabrani melalui Abul Jauza, pada sanadnya terdapat rawi Yahya bin Uqbah, dia dha’if. (lihat, Majma’uz Zawaid wa Manba’ul Fawaid, 1986, juz II:285)

B. Syamsul Haq berkata, “Dan pada kitab At-Talkhis: yang benar semua sanadnya dha’if, walaupun hadis Ibnu Abas mendekati syarat hasan, tetapi hadis itu syadz, karena begitu tafarrud (meriwayatkan seorang diri) padanya, tidak ada mutabi’ dan syahid dari jalan yang diakui, dan meskipun Musa bin Abdul Aziz itu shaduq, shaleh, tapi tafarrud ini tidak akan menyelamatkannya, dan sanad-sanad itu telah dinyatakan dha’if oleh Ibnu Taimiyyah dan Al-Mizzi”. Aunul Ma’bud, juz. IV:129.

C. Abdurrahman Al-Mubarakafuri berkata, “Pada hadis Abu Rafi terdapat Musa bin Ubaidah, ia dha’if terutama pada Abdullah bin Dinar. Kemudian gurunya Sa’id bin Abu Sa’id, kata Ibnu Hajar pada At-Taqrib, ‘Dia majhul’.” Tuhfatul Ahwadzi, II:595

D. Abu Bakar bin Al-Arabi berkata, “Pada salat tasbih tidak ada hadis yang sahih, dan tidak juga hasan” As-Sunan wal Mubtada’at, 1995:87.

E. Hadis salat tasbih telah diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Ibnul Mubarak, dari Ikrimah bin Amar, dia dha’if. Aku mendengar syekh Abul Hasan bin Ayyub berkata, “Aku mendengar Al-Barqani berkata, ‘Aku mendengar Al-Ismaili berkata, ‘Ikrimah bin Amar dha’if kecuali Iyas bin Salamah.” Al-Imam berkata, “Al-Bukhari tidak meriwayatkan hadis dari Ikrimah bin Amar satu huruf pun, adapun Muslim meriwayatkan hadisnya dari Iyas bin Salamah. Dan pernilaian adalat dari Abdullah bin Mubarak terhadap hadis salat tasbih, pembagian, dan penafsirannya hanya dari dirinya pribadi, maka tidak bisa dipakai hujjah. Kemudian hadis Abu Rafi’ tentang keputusan Al-Abbas adalah dha’if tidak ada sumber dalam pensahihannya, demikian pula penilaian hasan. Jika hadis itu gharib sanadnya, maka gharib (asing) pula kaifiyatnya...” Fiqhul Imamil Bukhari, 1999:519.

F. Ad-Dzahabi berkata, “Hadisnya termasuk kelompok hadis-hadis munkar, terutama Al-Hakam bin Aban, ia tidak kuat”. Mizanul I’tidal, IV:213.

G. Menurut Ibnul Jauzi (Al-Maudhu’at, 1983:145-146) sanad-sanad hadis tersebut, yaitu dari sahabat Al-Abas, Ibnu Abas, Abu Rafi’, semuanya tidak tsabit (tidak benar datangnya dari Nabi saw.). Pada sanad hadis pertama (dari Al-Abas), terdapat rawi bernama Shadaqah bin Yazid Al-Khurasani.
 
قَالَ أَحْمَدُ :حَدِيْثُهُ ضَعِيْفٌ, وَقَالَ الْبُخَارِيُّ : مُنْكَرُ الْحَدِيْثِ, وَقَالَ ابْنُ حِبَانَ : حَدَّثَ عَنِ الثِّقَاةِ بِالأَشْيَاءِ الْمُعْضِلاَتِ, لاَيَجُوْزُ الإِشْتِغَالُ بِحَدِيْثِهِ عِنْدَ الإِحْتِجَاجِ بِهِ.
Ahmad berkata, “Hadisnya dha’if”. Al-Bukhari berkata, “Munkarul hadis (tidak halal meriwayatkan darinya)”. Ibnu Hiban berkata, “Dia menyampaikan dari orang-orang tsiqat sesuatu yang mu’dhilat (mendatangkan becana), tidak boleh sibuk dengan hadisnya (tidak perlu diperhatikan hadisnya) ketika berhujjah.”

Pada sanad hadis kedua (dari Ibnu Abas), terdapat rawi bernama Musa bin Abdul Aziz, ia majhul (tidak dikenal) di kalangan kami. 
Adapun pada sanad hadis yang ketiga (Abu Rafi’), terdapat rawi bernama Musa bin Ubaidah.

قَالَ أَحْمَدُ :لاَتَحِلُّ عِنْدِيْ الرِّوَايَةُ عَنْهُ, وَقَالَ يَحْيَى : لَيْسَ بِشَيْئٍ.
Ahmad berkata, “Menurut saya tidak halal meriwayatkan darinya”. Yahya berkata, “Tidak ada apa-apanya”.

Salat ini diriwayatkan pula oleh Abul Jauza dari Ibnu Abas …, yaitu hadis riwayat Abu Junab Yahya bin Abu Hayyah. Yahya Al-Qatthan berkata, “Aku menganggap tidak halal meriwayatkan darinya (Abu Junab)” Al-Falas berkata, “Dia matrukul hadis”. Kami meriwayatkan pula salat tasbih dari hadis Yahya bin Amr bin Malik, dari ayahnya, dari Ibnu Abas secara mauquf (perkataan Ibnu Abas), dan Hamad bin Zaid menyatakan bahwa Yahya tertuduh dusta, dan ia dinyatakan dha’if oleh Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah, An-Nasai. Mereka juga mendha’ifkan ayahnya, yaitu Amr. Ibnu Adi berkata, “Amr bin Malik munkarul hadits dari orang-orang tsiqat, dan ia mencuri hadis, serta dinyatakan dha’if oleh Abu Ya’la Al-Mushili.
Dan kami meriwayatkannya pula dari hadis Rauh bin Al-Musayyab, dari Amr bin Malik Al-Bakri, dari Abul Jauza, dari Ibnu Abas secara mauquf. Celaan terhadap Amr telah kami terangkan. Adapun Rauh, kata Ibnu Hiban, “Dia meriwayatkan hadis-hadis maudhu’ dari orang-orang tsiqat dan memarfu’kan hadis-hadis mauquf (perkataan/perbuatan sahabat diatasnamakan Nabi), tidak halal meriwayatkan darinya”.

Diriwayatkan pula hadis tentang salat tasbih itu bahwa Nabi telah mengajarkannya kepada Ibnu Amr bin Al-Ash, tetapi hadis itu melalui Abdul Aziz bin Aban, dari Sufyan At-Tsauri, dari Aban bin Abu Ayasy. Adapun tentang Abdul Aziz, Yahya berkata, “laisa bisyain, pendusta, memalsukan hadis” Ahmad berkata, “Aku meninggalkannya”, sedangkan Aban bin Abu Ayyas, kata Syu’bah, “Berzinah lebih aku sukai daripada menyampaikan hadis darinya.

Hadis tentang salat tasbih diriwayatkan pula oleh Ibnu Tsauban, namanya Abdurrahman bin Tsabit, dan oleh Ibnu Sam’an, namanya Abdullah Ibnu Ziyad, bahwa Rasulullah saw. mengajarkannya kepada Ja’far bin Abu Thalib. Ibnu Tsauban telah dinyatakan dha’if oleh Yahya, sedangkan Ibnu Sam’an dinyatakan pendusta oleh Malik.

Dan diriwayatkan pula melalui Ishaq bin Ibrahim bin Qisthas, dari Umar maula Ghufrah, bahwa Nabi saw. mengajarkannya kepada ja’far bin Abu Thalib… Ulama hadis telah sepakat atas kedha’ifan Ishaq dan Umar. Di samping itu hadisnya mauquf (amal tabi’in). Al-Uqaili berkata, “Dalam salat tasbih itu tidak ada satu pun hadis yang tsabit (tidak benar datangnya dari Nabi saw.).

Memperhatikan kelemahan-kelemahan yang begitu parah, kiranya tidak berlebihan apabila Ibnul Jauzi menempatkan hadis-hadis tentang salat tasbih itu pada kelompok maudhu’ (palsu). 

ALASAN PENSAHIHAN HADIS SALAT TASBIH:
Ulama yang menyatakan bahwa salat tasbih itu disyariatkan berpendapat bahwa hadis-hadis tentang salat tasbih itu sahih, atau paling tidak derajatnya hasan.

A. As-Suyuti berkata dalam kitab Qutul Mugtadza, “Ibnul Jauzi terlalu berlebihan dengan memalsukan hadis ini pada kelompok hadis maudhu’, dan penilaiannya terhadap hadis itu karena terdapat rawi Musa bin Ubaidah Az-Zubaidi, padahal keadaannya tidaklah seperti yang dikatakannya. Meskipun hadis itu dha’if tidak akan sampai kepada derajat maudhu” Tuhfatul Ahwadzi II:596.

B. Abdurrahman Al-Mubarakafuri berkata, “Penilaian Ibnu Hajar terhadap hadis salat tasbih kontradiktif. Pada kitabnya At-Talkhis, ia mendhaifkannya. Sedangkan pada kitab Al-Khishalul Mufakkirah, ia cenderung menyatakan hasan. Beliau berkata, ‘Rawi-rawi pada sanadnya tidak apa-apa, Ikrimah dipakai hujjah oleh Al-Bukhari, Al-Hakam shaduq, dan Musa bin Abdul Aziz dinyatakan tidak apa-apa oleh Ibnu Ma’in dan An-Nasai. Ibnul Madini berkata, ‘Maka sanad ini memenuhi syarat hasan, karena diperkuat oleh periwayatan lainnya. Dan sungguh Ibnul Jauzi telah berbuat kesalahan dengan menyebutnya pada kelompok hadis-hadis maudhu’, dan penilaiannya bahwa Musa itu majhul tidaklah benar, karena ia dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Main dan An-Nasai, maka tidak akan berpengaruh penilaian majhul kepadanya dari orang yang datang setelah kedua imam itu. Hadis itu diperkuat oleh riwayat Ad-Daraquthni dari sahabat Al-Abas, At-Tirmidzi dari sahabat Abu rafi’, riwayat Abu Daud dari sahabat Ibnu Amr dengan sanad labasa bih, Al-Hakim meriwayatkannya melalui Ibnu Amr, dan hadis itu memiliki beberapa sanad yang lain.” Ibid., II:599.

C. Al-Hafiz Al-Munzhiri berkata setelah menyebutkan hadis hadis Ikrimah dari Ibnu Abas, “Hadis ini diriwayatkan melalui beberapa jalan dan dari beberapa orang sahabat, dan yang terbaik adalah hadis Ikrimah dari Ibnu Abas ini. Hadis itu telah dinyatakan sahih oleh sekelompok ulama, seperti Abu Bakar Al-Ajiri, Abdur Rahim Al-Mishri, dan Abul Hasan Al-Maqdisi. Abu Bakar bin Abu Daud berkata, ‘Saya mendengar bapakku berkata, ‘Pada salat tasbih itu tidak ada hadis yang sahih selain ini. Dan Muslim bin Al-Hajjaj berkata, ‘Tidak diriwayatkan pada hadis ini sanad yang paling baik dari ini, yaitu sanad hadis Ikrimah dari Ibnu Abas.” Ibid., II:598

D. Imam An-Nawawi berkata pada kitab Tahdzibul Lughah wal Asma, “Pada salat tasbih terdapat hadis yang hasan di dalam kitab At-Tirmidzi dan lain-lain, dan Al-Mahamili beserta sahabat-sahabat kami lainnya menerengkan bahwa salat tasbih itu sunnah hasanah.” Ibid., II:599

E. Al-Ghazali berkata di dalam kitab Al-Ihya, “Salat tasbih ini diriwayatkan sesuai dengan ketentuannya, tidak dikhususkan oleh waktu, tidak pula oleh sebab, dan hadisnya hasan karena banyak jalannya.” Fiqhul Imamil Bukhari, 1999:519.

F. As-Subki berkata, “Para hafizh telah memperbincangkan hadis ini, dan yang benar bahwa hadis itu benar adanya, layak diamalkan. Hadis itu dinyatakan sahih oleh Ibnu Khuzaimah, Al-Hakim, dan dinyatakan hasan oleh sekolompok ulama. Al-Asqalani berkata, ‘Hadis ini hasan, sungguh Ibnul Jauzi telah berbuat kesalahan dengan menyebutnya pada kelompok hadis-hadis maudhu’. Dan Ad-Daraquthni berkata, ‘Hadis yang paling sahih tentang fadhilah salat adalah fadhilah salat tasbih’.” Al-Manhalul Adzbul Maurud Syarah Sunan Abu Daud, VII:210.

G. Ibnu Hajar berkata, “Tidak apa-apa pada sanad hadis Ibnu Abas, hadis itu memenuhi syarat hasan, karena mempunyai syahid yang memperkuatnya, dan di antara ulama yang menyatakan sahih dan hasan ialah Ibnu Mandah, Al-Mundziri, Ibnu Shalah, An-Nawawi, As-Subki, dan lain-lain.” Fiqhul Imamil Bukhari, 1999:521.

Setelah mengamati secara seksama argumentasi dari kedua belah pihak, kami cenderung kepada pihak yang mendaifkan hadis-hadis tentang salat tasbih, dengan tambahan catatan sebagai berikut:

A. KUALITAS SANAD HADIS:
Setelah melakukan penelitian terhadap seluruh sanad hadis-hadis tersebut, kami melihat bahwa yang dijadikan dalil pokok oleh para ulama yang menyatakan disyariatkannya salat tasbih adalah hadis yang disampaikan oleh Ibnu Abas melalui ikrimah maula Ibnu Abbas, riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqi, At-Thabrani, dan Ibnu Khuzaimah. Oleh sebab itu, Muslim bin Al-Hajjaj berkata, “Tidak diriwayatkan pada hadis ini sanad yang ahsan (paling baik) dari ini, yaitu sanad hadis Ikrimah dari Ibnu Abas.” Tuhfatul Ahwadzi, II:598

Pernyataan ahsan dari Imam Muslim ini tidak berarti derajat hadis tersebut hasan apalagi sahih, tapi menunjukkan yang terbaik di antara yang jelek, karena ternyata hadis ini pun tidak terlepas dari kelemahan, yaitu semua sanadnya melalui dua orang rawi yang da’if, yaitu Musa bin Abdul Aziz (w. 175 H) dan gurunya Al-Hakam bin Aban (w. 154 H).

Penilaian para ulama terhadap Musa bin Abdul Aziz:
1) Adz-Dzahabi berkata, “Hadisnya termasuk kelompok hadis munkar”. Mizanul I’tidal, IV:213
2) Ibnu Hajar berkata, “Shaduq, buruk hapalan”. Taqribut Tahdzib, II:611
3) Ibn Hibban berkata, “Ia kerap kali keliru”. Tahdzibul Kamal, XXIX:103
4) Ibn Al-Madini berkata, “Ia rawi yang dha’if”. Tahdzibut Tahdzib, X:356
5) Abu Fadhl Al-Sulaimani berkata, “Ia rawi yang munkarul hadis”. Tahdzibut Tahdzib, X:356

Penilaian para ulama tentang Al-Hakam bin Aban (W. 154):
1) Ibnu Hiban berkata, “Ia kerap kali keliru” Tahdzibul Kamal, VII:88
Demikian pula hadis Ibnu Abas yang diriwayatkan melalui jalan lain sebagai mutabi’ berkualitas dha’if, karena:
a) Pada sanad At-Thabrani (Al-Mu’jamul Ausath, III:128-129) terdapat rawi bernama Abdul Qudus bin Habib, dia matruk. Majma’uz Zawaid, 1988, juz 2, hal. 285
b) Pada sanad At-Thabrani (Al-Mu’jamul Kabir, XI:161) terdapat rawi bernama Nafi bin Hurmuz, Abu Hurmuz, ia dinyatakan pendusta oleh Ibnu Ma’in, dan Abu Hatim berkata, “Matruk, dzahibul hadits/pemalsu hadis). Mizanul I’tidal, IV: 244

B. KUALITAS MATAN HADIS:
Aspek redaksional
Secara redaksional matan hadis tentang salat tasbih ini ada tiga macam. 
Pertama, matan hadis Ibnu Abbas yang menerangkan bahwa salat tasbih itu sebanyak empat rakaat, setiap rakaat mengucapkan Subhanallah (tasbih), Alhamdulillah (tahmid), La ilaha illallah (tahlil), dan Allahu Akbar (takbir) sebanyak tujuh puluh lima kali. Jadi jumlahnya tiga ratus kali dalam empat rakaat. Adapun redaksinya sebagai berikut:

فَصَلِّ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَسُوْرَةٍ فَإِذَا انْقَضَتِ الْقِرَاءَةُ فَقُلْ: سُبْحَانَ اللهِ وَ الْحَمْدُ للهِ وَلاَ إِلهَ إِلاَّ اللهِ وَاللهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً قَبْلَ أَنْ تَرْكَعَ ثُمَّ ارْكَعْ فَقُلْهَا عَشْرًا ثُمَّ ارْفَعْ رَأْسَكَ فَقُلْهَا عَشْرًا ثُمَّ اسْجُدْ فَقُلْهَا عَشْرًا ثُمَّ ارْفَعْ  رَأْسَكَ  فَقُلْهَا عَشْرًا ثُمَّ اسْجُدْ  فَقُلْهَا عَشْرًا  ثُمَّ ارْفَع رَأْسَكَ فَقُلْهَا عَشْرًا قَبْلَ أَنْ تَقُوْمَ  فَتِلْكَ خَمْسٌ وَ سَبْعُوْنَ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ  وَهِيَ ثَلاَثُ مِائَةٍ  فِيْ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ. 
Kedua, hadis Abdullah ibn ‘Amr dan Jabir ibn Abdullah yang menerangkan salat tasbih itu sebanyak empat rakaat, setiap rakaat mengucapkan Subhanallah (tasbih), Alhamdulillah (tahmid), La ilaha illallah (tahlil), dan Allahu Akbar (takbir) sebanyak tujuh puluh lima kali sama dengan hadis Ibn Abbas di atas. 

Namun dalam hadis ini terdapat tambahan mengucapkan tasbih sepuluh kali, tahmid sepuluh kali, takbir sepuluh kali, dan tahlil sepuluh kali pada setiap jilsatul Istirahah pada rakaat pertama sebelum bangkit kepada rakaat kedua, pada rakaat kedua sebelum bangkit kepada rakaat ketiga, pada rakaat ketiga sebelum bangkit kepada rakaat keempat. Dengan demikian dalam empat rakaat berjumlah empat ratus dua puluh kali mengucapkan lapal-lapal di atas (300 + 120 pada Jilsatul Istirahah). Adapun redaksinya sebagai berikut:

إِذَا زَالَ النَّهَارُ فَقُمْ فَصَلِّ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ. فَذَكَرَ نَحْوَهُ, قَالَ: تَرْفَعُ رَأْسَكَ -يَعْنِيْ مِنَ السَّجْدَةِ الثَّانِيَةِ- فَاسْتَوِ جَالِسًا وَلاَ تَقُمْ حَتَّى تُسَبِّحَ عَشْرًا وَتُحَمِّدَ عَشْرًا وَتُكَبِّرُعَشْرًا وَتُهَلِّلُ عَشْرًا ثُمَّ تَصْنَعُ ذَلِكَ فِيْ الأَرْبَعِ رَكَعَاتٍ. 
Ketiga, hadis Ummu Sulaim riwayat At-Tirmidzi yang menerangkan takbir sepuluh kali, tasbih sepuluh kali, tahmid sepuluh kali. Di dalam hadis ini tidak ada tahlil, demikian pula tidak disebutkan jumlah rakaatnya serta tidak ada keterangan tempat-tempat penyebutannya, serta jumlah seluruh bacaan-bacaan tersebut. Adapun redaksinya sebagai berikut:

كَبِّرِيْ اللهَ عَشْرًا وَسَبِّحِيْ اللهَ عَشْرًا وَاحْمَدِيْهِ عَشْرًا ثُمَّ سَلِيْ مَا شِئْتِ.
Berdasarkan perbedaan redaksi di atas, hadis tentang salat tasbih ini mengandung dua hal yang tidak dapat dipastikan. Pertama, tidak ada kepastian tentang berapa jumlah bacaan-bacaan tersebut. Kedua, tidak ada kepastian tentang cara mengucapkan bacaan-bacaan tersebut, apakah perlafazh sepuluh kali ataukah seluruh lafazh sepuluh kali.

Dengan demikian, kandungan matan hadis-hadis di atas antara satu sama lain tidak dapat dicocokkan, dan tidak dapat ditetapkan mana yang bisa dipakai.

ASPEK KANDUNGAN/ISI:
Kandungan matan hadis-hadis tersebut tidak menunjukkan ciri-ciri sabda Nabi, karena di samping adanya ketidakjelasan dari segi jumlah bacaan takbir, tahmid, tahlil, dan tasbih serta cara membacanya, juga berada di luar kewajaran diukur dari petunjuk umum ajaran Islam, yaitu: 

Pertama, khasiat dari salat tasbih tersebut yaitu perbuatan sederhana tapi dapat menghapus sepuluh macam dosa termasuk dosa besar seperti zina. Di samping itu, dapat menghapus dosa yang terdahulu dan akan datang, yang lama dan baru, yang disengaja ataupun tidak, yang kecil ataupun yang besar, serta dosa yang tampak ataupun tersembunyi. Sedangkan ciri kepalsuan dalam matan dapat dilihat dari segi ganjaran yang besar bagi perbuatan yang enteng atau sebaliknya (lihat, Manhajun Naqd, 1997:312). 

Kedua, salat tersebut dapat dilakukan setiap hari, seminggu sekali, sebulan sekali, setahun sekali, bahkan kalau tidak sempat cukup seumur hidup satu kali. Pelaksanaan seperti ini menunjukkan ketidakjelasan status hukum dari salat tersebut.

Berdasarkan penelitian sanad dan matan hadis di atas, kami berkesimpulan bahwa:
Hadis-hadis tentang salat tasbih mardud (tertolak) dan tidak dapat diamalkan.
Salat tasbih tidak disyariatkan.

oleh: Ustadz Faqih Aulia LITKA PC Pemuda PERSIS Batununggal Kota Bandung.

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama