وَلا تُؤْتُوا
السُّفَهاءَ أَمْوالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِياماً وَارْزُقُوهُمْ
فِيها وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلاً مَعْرُوفاً (5) وَابْتَلُوا
الْيَتامى حَتَّى إِذا بَلَغُوا النِّكاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْداً
فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوالَهُمْ وَلا تَأْكُلُوها إِسْرافاً وَبِداراً أَنْ
يَكْبَرُوا وَمَنْ كانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كانَ فَقِيراً فَلْيَأْكُلْ
بِالْمَعْرُوفِ فَإِذا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوالَهُمْ فَأَشْهِدُوا
عَلَيْهِمْ وَكَفى بِاللَّهِ حَسِيباً (6)
Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kalian yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapat kalian mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kalian makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kalian) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu); dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kalian menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kalian adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas kesaksian itu).
Allah Swt. melarang
memperkenankan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya melakukan tasarruf (penggunaan)
harta benda yang dijadikan oleh Allah untuk dikuasakan kepada para wali mereka.
Yakni para wali merekalah yang
menjamin kehidupan mereka dari hasil pengelolaan hartanya, baik melalui dagang
ataupun cara lainnya.
Berangkat dari pengertian ini disimpulkan
bahwa orang-orang yang kurang sempurna akalnya dikenakan hijir (tidak
boleh men-tasarruf-kan hartanya). Mereka yang di-hijir ini ada beberapa macam:
adakalanya karena usia orang yang bersangkutan masih sangat muda, sebab
perkataan seorang anak kecil tidak dianggap (dalam mu'amalah).
Adakalanya hijir disebabkan
karena penyakit gila. Adakalanya karena buruk da!am ber-tasarruf mengingat
akalnya kurang sempurna atau agamama kurang. Adakalanya karena pailit, yang
dimaksud dengan pailit ialah bila utang seorang lelaki menenggelamkan dirinya,
dan semua hartanya tidak dapat untuk menutup utangnya itu. Untuk itu apabila
para pemilik piutang menuntut kepada pihak hakim agar meng-hijir-nya, maka ia
terkena hijir (tidak boleh men-tasarruf-kan hartanya dan hartanya dibeslah).
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu
Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Dan janganlah kalian serahkan kepada
orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaan
kalian. (An-Nisa: 5) Menurut Ibnu Abbas, mereka adalah anak-anakmu dan
wanita-wanita(mu).
Hal yang sama dikatakan pula oleh
Ibnu Mas'ud, Al-Hakam ibnu Uyaynah, Al-Hasan, dan Ad-Dahhak, bahwa mereka
adalah wanita-wanita dan anak-anak kecil.
Menurut Sa'id ibnu Jubair, mereka
adalah anak-anak yatim.
Mujahid dan Ikrimah serta Qatadah
mengatakan bahwa mereka adalah wanita.
وَقَالَ ابْنُ
أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمّار، حَدَّثَنَا
صَدَقَةُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي الْعَائِكَةِ، عَنْ
عَلِيِّ بْنِ يَزِيدَ، عَنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَإِنَّ النِّسَاءَ
السُّفَهاء إِلَّا الَّتِي أَطَاعَتْ قَيِّمَها".
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu
Ammar, telah menceritakan kepada kami Sadaqah ibnu Khalid, telah menceritakan
kepada kami Usman ibnu Abul Atikah, dari Ali ibnu Yazid. dari Al-Qasim, dari
Abu Umamah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya
wanita itu kurang sempurna akalnya kecuali wanita yang taat kepada qayyim
(wali)nya.
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu
Murdawaih secara panjang lebar.
Ibnu Abu Hatim mengatakan,
disebutkan dari Muslim ibnu Ibrahim bahwa telah menceritakan kepada kami Harb
ibnu Syuraih, dari Mu'awiyah ibnu Qurrah, dari Abu Hurairah sehubungan dengan
firman-Nya: Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang belum
sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kalian. (An-Nisa: 5)
Bahwa mereka adalah para pelayan, dan mereka adalah setan-setan manusia.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَارْزُقُوهُمْ
فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلا مَعْرُوفًا}
Berilah mereka belanja dan
pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang
baik. (An-Nisa: 5)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan
dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Janganlah kamu berniat terhadap hartamu
dan apa yang diberikan oleh Allah kepadamu sebagai penghidupanmu, lalu kamu
berikan hal itu kepada istrimu atau anak perempuanmu, lalu kamu hanya menunggu
dari pemberian apa yang ada di tangan mereka. Tetapi peganglah hartamu dan
berbuat kemaslahatanlah dengannya (yakni kembangkanlah). Jadilah dirimu sebagai
orang yang memberi mereka nafkah, yaitu sandang pangan dan biaya mereka."
Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Muhammad
ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Firas, dari
Asy-Sya'bi, dari Abu Burdah. dari Abu Musa yang mengatakan, "Ada tiga
macam orang yang berdoa kepada Allah, tetapi Allah tidak memperkenankan bagi
mereka. yaitu: Seorang lelaki yang mempunyai istri yang berakhlak buruk. lalu ia
tidak menceraikannya; seorang lelaki yang memberikan harta (orang yang ada
dalam kekuasaan)nya kepada orang yang kurang sempurna akalnya (yang ada dalam
pemeliharaannya), sedangkan Allah Swt. telah berfirman: 'Dan janganlah
kalian serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka
yang ada dalam kekuasaan) kalian' (An-Nisa: 5). Dan seorang lelaki yang
mempunyai utang kepada lelaki lain sedangkan si pemiutang tidak mempunyai saksi
terhadapnya
Mujahid mengatakan sehubungan
dengan firman-Nya: dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.
(An-Nisa: 5) Yakni dalam rangka berbuat bajik dan bersilaturahmi.
Ayat yang mulia ini mengandung
makna berbuat baik kepada istri (keluarga) dan orang-orang yang berada dalam
pemeliharaannya, yaitu berbuat baik secara nyata dengan memberi nafkah berupa
sandang pangan disertai dengan kata-kata yang baik dan akhlak yang mulia.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَابْتَلُوا
الْيَتَامَى}
Dan ujilah anak yatim itu.
(An-Nisa: 6)
Ibnu Abbas, Mujahid, Al-Hasan,
As-Saddi. dan Muqatil mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah perintah untuk
melakukan ujian terhadap anak-anak yatim (oleh para walinya).
{حَتَّى
إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ}
sampai mereka cukup umur untuk
kawin. (An-Nisa: 6)
Menurut Mujahid, yang dimaksud dengan
nikah dalam ayat ini ialah mencapai usia balig.
Jumhur ulama mengatakan bahwa
alamat usia balig pada anak remaja adakalanya dengan mengeluarkan air mani,
yaitu dia bermimpi dalam tidurnya melihat sesuatu atau mengalami sesuatu
yang membuatnya mengeluarkan air mani. Air mani ialah air yang memancar yang
merupakan cikal bakal terjadinya anak.
Di dalam kitab Sunan Abu Daud
disebutkan dari Ali yang mengatakan bahwa ia selalu ingat akan sabda Rasulullah
Saw. yang mengatakan:
«لَا
يُتْمَ بَعْدَ احْتِلَامٍ وَلَا صُمَاتَ يَوْمٍ إِلَى اللَّيْلِ»
Tidak ada yatim sesudah balig dan
tidak ada puasa siang sampai malam hari.
Di dalam hadis yang lain dari
Siti Aisyah dan sahabat lainnya dari Nabi Saw. disebutkan:
«رُفِعَ
الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ، عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ النَّائِمِ
حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يُفِيقَ»
Qalam diangkat dari tiga macam
orang, yaitu dari anak kecil hingga usia balig atau genap berusia lima belas
tahun, dari orang yang tidur sampai terbangun, dan dari orang gila sampai
sadar.
Mereka mengambil kesimpulan akan
hal tersebut dari hadis yang telah disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui
Ibnu Umar r.a. yang mengatakan:
عُرِضْت عَلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يوم أحد وَأَنَا ابْنُ أَرْبَعَ
عَشَرَةَ، فَلَمْ يُجِزْنِي، وَعُرِضْتُ عَلَيْهِ يَوْمَ الخَنْدَق وَأَنَا ابْنُ
خَمْسَ عَشَرَةَ فَأَجَازَنِي، فَقَالَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ
الْعَزِيزِ -لَمَّا بَلَغَهُ هَذَا الْحَدِيثُ -إِنَّ هَذَا الْفَرْقَ بَيْنَ
الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ
Diriku ditampilkan kepada Nabi
Saw. dalam Perang Uhud, sedangkan saat itu usiaku baru empat belas tahun; maka
beliau tidak membolehkan diriku (ikut perang). Dan diriku ditampilkan kepadanya
dalam Perang Khandaq. Sedangkan saat itu berusia lima belas tahun maka
aku diperbolehkan ikut perang. Umar ibnu Abdul Aziz —ketika sampai kepadanya
hadis ini— mengatakan bahwa sesungguhnya hadis inilah yang membedakan antara anak
kecil dan orang yang sudah dewasa.
Para ulama berbeda pendapat
mengenai tumbuhnya rambut yang keras di sekitar kemaluan, apakah hal ini
merupakan alamat balig atau tidak? Ada tiga pendapat mengenainya. Menurut
pendapat yang ketiga, dalam hal ini dibedakan antara anak-anak kaum muslim
dengan anak-anak kafir zimmi. Pada anak-anak kaum muslim hal tersebut tidak
menunjukkan usia balig, mengingat adanya kemungkinan faktor pengobatan. Lain
halnya pada anak-anak kafir zimmi maka tumbuhnya rambut keras pada kemaluan merupakan
pertanda usia balig bagi mereka; karena barang siapa yang telah tumbuh rambut
kemaluannya, maka dibebankan kepadanya membayar jizyah, untuk itulah mereka
tidak mau mengobatinya.
Menurut pendapat yang sahih,
tumbuhnya rambut yang keras di sekitar kemaluan merupakan pertanda usia balig,
mengingat hal ini merupakan sesuatu yang alami; semua orang tidak ada bedanya
dalam hal tersebut, dan mengenai faktor pengobatan jauh dari kemungkinan.
Kemudian sunnah menunjukkan ke
arah itu melalui sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad melalui Atiyyah
Al-Qurazi yang menceritakan:
عُرضنا عَلَى
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ قُرَيْظة فَكَانَ مَنْ
أنْبَتَ قُتل، وَمَنْ لَمْ يُنْبت خَلّي سَبِيلَهُ، فَكُنْتُ فِيمَنْ لَمْ
يُنْبِت، فَخَلَّى سَبِيلِي.
Mereka (orang-orang Bani
Quraizah) ditampilkan di hadapan Nabi Saw. seusai Perang Quraizah. Maka Nabi
Saw. memerintahkan kepada seseorang untuk memeriksa siapa di antara mereka yang
telah tumbuh rambut kemaluannya. Maka orang yang telah tumbuh rambut
kemaluannya dikenai hukuman mati, dan orang yang masih belum tumbuh rambut
kemaluannya dibebaskan. Maka aku (Atiyyah Al-Qurazi) termasuk salah seorang
yang masih belum tumbuh rambut kemaluannya. Akhirnya aku dibebaskan."
Ahlu sunan mengetengahkan hadis
yang semisal, yakni ahlus sunan yang empat orang (yang dikenai dengan sebutan
Arba'ah). Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.
Sesungguhnya keputusan tersebut
tetap berlaku; sebagai buktinya ialah di saat Sa'd ibnu Mu'az menjatuhkan
keputusan hukumnya di antara mereka (para tawanan), ia memutuskan menghukum
mati orang-orang (dari kalangan musuh) yang ikut berperang dan menahan
anak-anak mereka.
Abu Ubaid di dalam kitab Al-Garib
mengatakan. telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah. dari Ismail ibnu
Umayyah ibnu Yahya ibnu Hibban dari Umar, bahwa pernah ada seorang anak remaja
menuduh berzina -seorang wanita muda dalam syairnya. Maka Khalifah Umar berkata
"Periksalah dirinya." Ternyata diketahui bahwa anak tersebut masih
belum tumbuh rambut kemaluannya. Akhirnya hukuman had (menuduh berzina) tidak
dikenakan terhadap dirinya.
Abu Ubaid mengatakan. ibtaharaha artinya
menuduh (si wanita) berbuat zina; al-ibtihar ialah bila seseorang
mengatakan.”Aku telah mengerjainya," padahal ia dusta dalam pengakuannya
itu. Jika pengakuan tersebut benar, maka istilahnya disebut ibtiyar.
Seperti pengertian yang ada dalam perkataan Al-Kumait melalui salah satu bait
syairnya:
قَبِيحٌ
بِمِثْلِي نَعْتُ الفَتَاةِ ... إِمَّا ابْتِهَارًا وَإِمَّا ابتيارا
Amatlah buruk bagi orang
semisalku bila menuduh seorang wanita berbuat zina, bait dengan tuduhan dusta
ataupun tuduhan yang sebenarnya.
*******************
Firman Allah:
{فَإِنْ
آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ}
Kemudian jika menurut pendapat
kalian mereka telah cerdas (pandai memelihara harta) maka serahkanlah kepada
mereka harta-hartanya. (An-Nisa: 6)
Sa'id ibnu Jubair mengatakan yang
dimaksud rusydan ialah kelayakan dalam agamanya dan dapat memelihara
hartanya. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Abbas, Al-Hasan Al-Basri, dan
bukan hanya seorang dari kalangan para Imam berdasarkan riwayat yang bersumber
dari mereka.
Ulama fiqih mengatakan hal yang
sama yaitu: Apabila seorang anak yatim telah mencapai usia yang membuat dirinya
berlaku layak dalam agama dan hartanya, maka ia dibebaskan dari hijr (larangan
menggunakan harta bendanya). Untuk itu, maka semua harta yang berada di tangan
walinya diserahkan kepadanya.
*******************
Firman Allah Swt.
{وَلا
تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا}
Dan janganlah kalian makan harta
anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kalian) tergesa-gesa
(membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. (An-Nisa: 6)
Allah Swt. melarang memakan harta
anak yatim tanpa adanya keperluan yang mendesak.
Yang dimaksud dengan
istilah israfan wa bidaran ialah tergesa-gesa membelanjakannya
sebelum anak-anak yatim itu dewasa.
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{وَمَنْ
كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ}
Barang siapa (di antara para
pemelihara itu) mampu maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak
yatim itu). (An-Nisa: 6)
Yang dimaksud dengan falyasta'fif ialah
memelihara diri dari harta anak yatim dan janganlah memakannya barang sedikit
pun.
Asy-Sya’bi mengatakan bahwa harta
anak yatim baginya (orang yang mampu) sama halnya dengan bangkai dan darah
(yakni haram dimakan).
{وَمَنْ
كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ}
Dan barang siapa yang miskin,
maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut (An-Nisa: 6)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu
Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah
sehubungan dengan firman-Nya: Barang siapa (di antara para pemelihara itu)
mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu). (An-Nisa:
6) Bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan harta anak yatim.
Telah menceritakan kepada kami
Al-Asyaj serta Harun ibnu Ishaq. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abdah ibnu Sulaiman, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah
sehubungan dengan firman-Nya: dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah
ia makan harta itu menurut yang patut. (An-Nisa: 6) Ayat ini diturunkan
berkenaan dengan wali anak yatim yang memeliharanya dan berbuat kemaslahatan
untuknya, bilamana keperluan mendesak memakan sebagian dari harta anak yatim
yang ada dalam pemeliharaanya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami ayahku. telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Sa'id Al-Asbahani. telah menceritakan kepada kami ali ibnu Mishar, dari Hisyam.
dari ayahnya. dari Siti Aisyah yang menceritakan bahwa ayat berikut diturunkan
berkenaan dengan wali anak yatim, yaitu firman-Nya: Barang siapa (di
antara para pemelihara itu) mampu. Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan
harta anak yatim); dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta
itu menurut yang patut. (An-Nisa: 6) Yang dimaksud dengan cara yang patut ialah
sesuai dengan jerih payahnya terhadap anak yatim yang ada dalam
pemeliharaannya.
Imam Bukhari meriwayatkan dari
Ishaq Ibnu Abdullah ibnu Numair, dari Hisyam dengan lafaz yang sama.
Ulama fiqih mengatakan, wali yang
miskin diperbolehkan memakan sebagian dari harta anak yatim yang ada dalam
pemeliharaannya dalam jumlah yang paling minim di antara kedua alternatif.
yaitu upah misil-nya (standarnya) atau menurut keperluannya.
Ulama fiqih berselisih pendapat
mengenai masalah bila wali anak yatim menjadi orang kaya setelah miskinnya,
apakah ia diharuskan mengembalikan harta anak yatim yang telah dimakannya, atau
tidak? Ada dua pendapat mengenainya.
Pendapat pertama, mengatakan
"'tidak" karena ia hanya memakan sekadar imbalan jerih payahnya dan
lagi dia dalam keadaan miskin. Pendapat inilah yang sahih di kalangan
murid-murid Imam Syafii, karena makna ayat jelas membolehkan memakan sebagian
harta anak yatim tanpa menggantinya.
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Husain,
dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa ada seorang lelaki
bertanya kepada Rasulullah Saw. Dia mengatakan, "Aku tidak berharta,
sedangkan aku mempunyai anak yatim."' Maka Rasulullah Saw. bersabda:
«كُلْ
مِنْ مَالِ يَتِيمِكَ غَيْرَ مُسْرِفٍ وَلَا مُبَذِّرٍ وَلَا مُتَأَثِّلٍ
مَالَا وَمِنْ غَيْرِ أَنْ تَقِيَ مَالَكَ- أَوْ قَالَ- تَفْدِيَ مَالَكَ
بِمَالِهِ»
Makanlah dari sebagian harta anak
yatimmu dengan tidak berlebih-lebihan, tidak menghambur-hamburkannya, dan tidak
menghimpunkannya sebagai harta(mu). Dan juga tanpa mengekang hartamu —atau—
tanpa mengganti hartanya dengan hartamu.
Kata ‘atau' merupakan
ragu dari pihak Husain.
Ibnu Abu Hatim mengatakan. telah
menceritakan kepada kami Abu Said Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu
Khalid Al-Ahmar, telah menceritakan kepada kami Husain Al-Mukattab, dari Amr
ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang telah menceritakan bahwa ada
seorang lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu lelaki itu berkata, "Sesungguhnya
aku mempunyai seorang anak yatim yang mempunyai harta, sedangkan aku sendiri
tidak berharta, bolehkah aku ikut makan dari sebagian hartanya?"
Rasulullah Saw. menjawab:
«بِالْمَعْرُوفِ
غَيْرَ مُسْرِفٍ»
Makanlah dengan cara yang makruf
tanpa berlebih-lebihan!
Imam Abu Daud, Imam Nasai, dan
Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadis Husain Al-Mu'allim.
Ibnu Hibban meriwayatkan di dalam
kitab sahihnya dan Ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsirnya melalui hadis Ya'la
ibnu Mahdi, dari Ja'far ibnu Sulaiman, dari Abu Amir Al-Khazzaz, dari Amr ibnu
Dinar, dari Jabir, bahwa ada seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah,
berapakah yang boleh aku ambil dari anak yatimku?" Nabi Saw. menjawab:
«مَا
كُنْتَ ضَارِبًا مِنْهُ وَلَدَكَ غَيْرَ وَاقٍ مَالَكَ بِمَالِهِ وَلَا
مُتَأَثِّلٍ مِنْهُ مَالًا»
Sejumlah apa yang biasa kamu
ambil dari anakmu, tanpa mengekang hartamu terhadap hartanya dan tanpa
menghimpunkan dari hartanya sebagai harta(mu).
Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Yahya. telah menceritakan kepada kami
Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami As-Sauri, dari Yahya ibnu Sa'id,
dari Al-Qasim ibnu Muhammad yang menceritakan bahwa ada seorang Badui datang kepada
Ibnu Abbas lalu orang Badui itu berkata.”sesungguhnya di dalam pemeliharaanku
terdapat banyak anak yatim, dan mereka mempunyai ternak unta; aku pun mempunyai
ternak unta pula, tetapi aku berikan sebagian dari ternak untaku kepada
orang-orang miskin. Maka sebatas apakah yang dihalalkan bagiku terhadap air
susunya?" Ibnu Abbas menjawab, "Jika engkau bekerja mencari ternak
untanya yang hilang, mengobati yang sakit, menggiringnya ke tempat air
minumnya. Menggembalakannya maka minumlah (air susunya) tanpa membahayakan
terhadap anaknya. dan tidak ada larangan bagimu dalam memerah air
susunya".'
Imam Malik meriwayatkannya di
dalam kitab Al-Muwatha dari Yahya ibnu Sa'id dengan lafaz yang sama.
Pendapat inilah —yakni tidak
wajib mengganti— yang dikatakan oleh Ata ibnu Abu Rabah, Ikrimah, Ibrahim
An-Nakha'i, Atiyyah Al-Aufi, dan Al-Hasan Al-Basri.
Pendapat yang kedua, mengatakan
"wajib mengganti" karena harta anak yatim adalah harta yang ada dalam
larangan; kecuali bila diperlukan, maka baru diperbolehkan, tetapi diharuskan
menggantinya. Perihalnya sama dengan makan harta orang lain bagi orang yang
dalam keadaan terpaksa di saat ia memerlukannya.
Ibnu Abud Dunia mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Khaisamah, telah menceritakan kepada kami Waki',
dari Sufyan dan Israil, dari Abu Ishaq, dari Harisah ibnu Mudarrib yang
mengatakan bahwa Khalifah Umar r.a. pernah berkata, "Sesungguhnya aku menempatkan
diriku terhadap harta ini dalam kedudukan sebagai wali anak yatim. Jika aku
mampu, maka aku menahan diri: dan jika aku perlu, maka aku berutang; dan
apabila aku dalam keadaan mudah, maka aku melunasinya."
Jalur lain diriwayatkan oleh
Sa'id ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Abu Ishaq,
dari Al-Bana yang mengatakan bahwa Khalifah Umar r.a. pernah berkata kepadanya:
Sesungguhnya aku menempatkan diriku terhadap harta Allah ini dalam kedudukan
sebagai wali anak yatim. Jika aku memerlukannya, maka aku mengambil sebagian
darinya; dan jika aku dalam keadaan mudah, maka aku kembalikan; dan jika aku
dalam keadaan mampu, maka aku menahan diri (tidak menggunakannya).
Sanad asar ini sahih. Imam
Baihaqi meriwayatkan hal yang semisal dari sahabat ibnu Abbas.
Hal yang sama diriwayatkan oleh
Ibnu Abu Hatim melalui jalur Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan makna firman-Nya: dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia
makan harta itu menurut yang patut. (An-Nisa: 6) Yang dimaksud dengan cara yang
makruf ialah dengan utang.
Imam Baihaqi mengatakan, telah
diriwayatkan dari Ubaidah, Abul Aliyah, Abu Wail, dan Sa'id ibnu Jubair dalam
salah satu riwayatnya, Mujahid, Ad-Dahak, dan As-Saddi hal yang semisal.
Telah diriwayatkan melalui jalur
As-Saddi, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: maka
bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (An-Nisa-6) Menurut Ibnu Abbas,
hendaknya orang yang bersangkutan memakan dengan memakai tiga buah jari.
Imam Baihaqi mengatakan pula,
telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan. telah menceritakan kepada kami
Ibnu Mahdi, dari Sufyan, dari Al-Hakam, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan makna firman-Nya: dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah makan
harta itu menurut yang patut. (An-Nisa: 6) Makna yang dimaksud ialah
hendaknya orang yang bersangkutan hanya makan sebagian dari harta anak yatim
dalam batasan cukup untuk makan dirinya hingga ia tidak memerlukan harta anak
yatim lagi.
Hal yang semisal telah diriwayatkan
dari Mujahid dan Maimun ibnu Mihran dalam salah satu riwayatnya, serta Imam
Hakim.
Amir Asy-Sya'bi mengatakan bahwa
seseorang tidak boleh memakan harta anak yatim kecuali bila ia dalam keadaan
terpaksa. sebagaimana seseorang terpaksa memakan bangkai. Jika ia memakan
sebagian darinya, maka ia harus menggantinya. Demikianlah menurut apa yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Wahb mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Nafi’ ibnu
Abu Na'im Al-Qari' yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Yahya ibnu
Sa'id Al-Ansari dan Rabi'ah tentang makna firman Allah Swt. yang
mengatakan: dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu
menurut yang patut. (An-Nisa: 6) hingga akhir ayat. Hal tersebut berkenaan
dengan anak yatim, yakni: Jika si wali adalah orang yang miskin, maka anak
yatim itu diberi nafkah sesuai dengan kemiskinannya, dan tidak ada hak bagi
wali terhadap harta anak yatim barang sedikit pun.
Akan tetapi, pendapat tersebut
menyimpang dari konteks ayat, mengingat dalam firman-Nya disebutkan: Barang
siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari
memakan harta anak yatim itu). (An-Nisa: 6) Yakni hendaklah para
pemelihara itu menahan dirinya. jangan memakan harta anak yatimnya. dan
barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.
(An-Nisa: 6) Bagi para wali yang miskin. diperbolehkan memakan harta anak
yatimnya dengan cara yang baik. Seperti pengertian yang disebutkan di dalam
ayat lainnya. yaitu firman-Nya:
وَلا
تَقْرَبُوا مالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ
أَشُدَّهُ
Dan janganlah kalian dekati harta
anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga ia dewasa.
(Al-An'am: 152 dan Al-Isra’: 34)
Dengan kata lain, janganlah
kalian mendekati harta anak yatim kecuali dengan maksud untuk berbuat yang
bermanfaat terhadapnya; jika kalian memerlukannya, kalian boleh memakan
sebagian darinya menurut cara yang patut.
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَإِذَا
دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ}
Kemudian apabila kalian
menyerahkan harta kepada mereka. (An-Nisa: 6)
Sesudah mereka mencapai usia
balig dan dewasa, menurut pendapat kalian mereka telah cerdas dan pandai
memelihara harta, maka saat itulah kalian harus menyerahkan kepada mereka harta
mereka yang ada di tangan kalian. Apabila kalian menyerahkan harta kepada mereka:
{فَأَشْهِدُوا
عَلَيْهِمْ}
maka hendaklah kalian adakan
saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. (An-Nisa: 6)
Hal ini merupakan perintah dari
Allah Swt.. ditujukan kepada para wali anak-anak yatim. Perintah ini menyatakan
bahwa hendaknya mereka mengadakan saksi-saksi sehubungan dengan anak-anak yatim
mereka, bila anak-anak yatim mereka telah mencapai usia dewasa dan harta mereka
diserahkan kepadanya. Dimaksudkan agar tidak terjadi sebagian dari mereka
adanya pengingkaran dan bantahan terhadap apa yang telah diserahterimakannya.
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{وَكَفَى
بِاللَّهِ حَسِيبًا}
Dan cukuplah Allah sebagai
Pengawas (atas persaksian itu). (An-Nisa: 6)
Yakni cukuplah Allah sebagai
Penghitung, Saksi, dan Pengawas terhadap para wali sehubungan penilaian mereka
terhadap anak yatimnya dan di saat mereka menyerahkan harta kepada anak-anak
yatim. Dengan kata lain, apakah harta itu dalam keadaan lengkap lagi utuh,
ataukah kurang perhitungannya serta perkaranya dipalsukan, semuanya Allah mengetahui
dan mengawasi akan hal tersebut. Karena itulah maka disebutkan di dalam kitab
Sahih Muslim bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"يَا
أَبَا ذَرٍّ، إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيفًا، وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ
لِنَفْسِي، لَا تَأَمَّرَن على اثنين، ولا تَلِيَنَّ مال يتيم"
Hai Abu Zar, sesungguhnya aku melihatmu orang yang lemah, den sesungguhnya aku menyukai bagimu sebagaimana aku menyukai buat diriku sendiri. Jangan sekali-kali kamu memerintah atas dua orang, dan jangan sekali-kali kamu menjadi wali harta anak yatim. [Tafsir Ibnu Katsir].
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan