MUQODDIMAH:
Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu adalah seorang sahabat Anshar. Ia dipilih sebagai ketua tim pembukuan Alquran di Abu Bakar dan di zaman Utsman bin Affan. Amanah yang besar itu tentu menunjukkan sebesar apa kapasitas dan kedudukan beliau dalam Islam dan sejarah umat Islam.
ASAL-USULNYA:
Beliau adalah Zaid bin Tsabit bin adh-Dhahak al-Anshari. Ia berasal dari Bani Najjar yang merupakan keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah. Saat Rasulullah tiba di Madinah, kondisi Zaid kala itu adalah seorang anak yatim. Ayahnya wafat pada Perang Bu’ats. Di tahun pertama hijrah itu, usia Zaid tidak lebih dari 11 tahun. Ia memeluk Islam bersama keluarganya. Rasulullah pun mendoakan keberkahan untuknya.
KESUNGGUHAN ZAID:
Sewaktu kecil, ia bersama orang-orang dewasa berangkat menemui Rasulullah untuk turut serta dalam Perang Badar. Tapi, Rasulullah tidak mengizinkannya karena ia terlalu muda dan badannya pun masih kecil. Tidak menyerah karena ditolak saat Perang Badar, saat Rasulullah menyiapkan pasukan Perang Uhud, Zaid kembali mendaftarkan diri. Kali ini ia berangkat bersama rombongan remaja seusianya. Berharap Rasulullah mengikut-sertakan mereka dalam pasukan mujahidin. Dan keluarga mereka lebih-lebih lagi harapannya agar Rasulullah menerima mereka.
Rasulullah memandangi mereka dengan pandangan terima kasih. Seakan-akan beliau menginginkan mereka untuk izin tidak ikut saja. Majulah anak muda yang bernama Rafi’ bin Khadij membawa sebuah belati atau tombak. Ia memamerkan keahliannya memegang senjata tersebut. Rafi’ berkata, “Sesungguhnya aku sebagaimana yang Anda lihat. Aku mahir dalam melempar senjata, karena itu izinkanlah aku.” Rasulullah pun mengizinkannya.
Kemudian Samurah bin Jundab pun maju. Salah seorang anggota keluarganya mengatakan, “Sesungguhnya Samurah lebih hebat dari Rafi.” Rasulullah pun mengizinkan beliau.
Tersisalah 6 orang pemuda pemberani lainnya. Di antara mereka ada Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar. Mereka mengeluarkan segala kemampuan membujuk rayu Rasulullah. Tak mempan dengan lisan, mereka bujuk dengan air mata. Belum juga berhasil dengan cara mengiba itu, mereka unjuk kekuatan dengan menunjukkan otot-otot mereka. Tapi usia mereka masih terlalu muda. Dan tubuh mereka masih begitu kecil. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak mereka secara halus sekaligus menghibur mereka dengan berjanji akan mengajak mereka pada perang selanjutnya.
Akhirnya, Zaid dan Tsabit bersama anak-anak seusianya memulai pengalaman jihad mereka di Perang Khandaq. Pada tahun 5 H.
Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu berkata, “Pada Perang Bu’ats aku berusia 6 tahun. Hal itu terjadi 5 tahun sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah. Dan saat itu aku berusia 11 tahun. Aku dipertemukan dengan Rasulullah. Mereka berkata, ‘Ada seorang anak dari Kabilah Khazraj yang telah menghafal 16 surat’. Namun beliau tidak mengizinkan aku di Perang Badar dan Uhud. Barulah aku diizinkan di Perang Khandaq.”
Zaid memegang bendera Bani Najjar di Perang Tabuk. Awalnya bendera tersebut di pegang Umarah bin Hazm, tapi Rasulullah mengambilnya dan menyerahkannya kepada Zaid. Umarah berkata, “Wahai Rasulullah, apakah ada sesuatu tentangku (yang buruk) yang sampai kepadamu?” “Tidak ada. Tapi, yang lebih banyak menghafal Alquran layak dikedepankan. Dan Zaid lebih banyak menghafal Alquran daripada engkau.”
Perlu diketahui, dahulu para sahabat menghafal 10 ayat-10 ayat. Ketika mereka sudah paham dan mengamalkannya barulah mereka menambah hafalan. Sehingga siapa yang paling banyak hafalannya, maka semakin baik kualitasnya di antara mereka.
PEMUDA ANSHAR YANG CERDAS:
Dari Amir, ia menceritakan: Sesungguhnya tebusan tawanan Perang Badar adalah 40 ukiyah emas. Siapa yang memiliki kepandaian baca-tulis, mereka diperintahkan mengajar baca-tulis kepada 10 orang kaum muslimin. Di antara yang mendapat pengajaran adalah Zaid bin Tsabit. Zaid adalah seorang cendekia dan memiliki keistimewaan dalam berbagai bidang. Ia seorang penghafal Alquran. Juru tulis Nabi yang menulis wahyu yang turun kepada Rasulullah. Ia memiliki kualitas ilmu dan hikmah yang mendalam.
Ketika Rasulullah mulai menyampaikan risalah Islam keluar Madinah, melakukan surat-menyurat kepada para raja dan kaisar, beliau memerintahkan Zaid untuk mempelajari bahasa-bahasa mereka. Zaid pun berhasil menguasai bahasa-bahasa tersebut dalam waktu yang singkat.
Zaid bin Tsabit mengatakan, “Aku dipertemukan dengan Nabi saat beliau tiba di Madinah. Ada yang mengatakan, ‘Ini adalah seorang anak dari Bani Najjar. Ia telah menghafal 17 surat (diriwayat sebelumnya 16)’. Aku pun membacakannya di hadapan beliau. Beliau sangat terkesan. Lalu beliau berkata, ‘Pelajarilah bahasa Yahudi (bahasa Ibrani). Sesungguhnya aku tidak bisa membuat mereka beriman dengan kitabku’. Aku pun melakukan apa yang beliau minta. Berlalulah waktu tidak lebih dari setengah bulan, aku pun menguasainya. Kemudian aku menulis surat Nabi kepada mereka. Apabila mereka yang mengirimkan surat kepada beliau, akulah yang menerjemah.”
Dari Tsabit bin Ubaid dari Zaid bin Tsabit, ia berkata, Rasulullah berkata kepadaku, “Apakah engkau bisa Bahasa Suryaniyah?” “Tidak,” jawabku. “Pelajarilah. Sungguh nanti akan datang surat-surat kepada kita”, pinta Rasulullah. Aku pun mempelajarinya dalam rentang waktu 17 hari.
Kita teringat dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ مَعَالِيَ الْأُمُوْرِ وَأَشْرَافِهَا وَيَكْرَهُ سَفْسَافَهَا
“Sesungguhnya Allah mencintai perkara yang terbaik dan membenci sesuatu yang asal-asalan.” (HR. ath-Thabrani).
Bagaimana pengaruh pendidikan Rasulullah terhadap para sahabat. Selain faktor kecerdasan, tentu tekad dan kesungguhan juga berpengaruh besar. Sehingga Zaid begitu cepatnya menguasai bahasa-bahasa asing tersebut.
Al-A’masy mengatakan, “Pernah datang surat-surat kepada Zaid. Tapi ia tidak tertarik membacanya, kecuali yang ia percaya saja. Dari sinilah ia dikenal dengan panggilan Penerjemahnya Rasul.”
PENGHAFAL AL-QURAN:
Sejak dimulainya dakwah Islam selama lebih kurang 20 tahun sejak wahyu pertama turun, terdapat sekelompok sahabat yang mampu menghafal dengan kemampuan biasa. Ada yang mampu menghafal semua yang tertulis. Ada pula yang menghafal semua ayat yang tersusun. Di antara mereka adalah Ali bin Abu Thalib, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, dan Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhum ajma’in. Setelah Alquran diturunkan secara sempurna, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakannya kepada para sahabat dengan berurutan sebagaimana susunan surat dan ayat yang kita ketahui sekarang.
Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu pernah menyetorkan hafalannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun wafat beliau. Di tahun itu, Zaid menyetorkan hafalannya sebanyak dua kali. Dan qiro-at tersebut dinamakan qiro-at Zaid bin Tsabit. Karena dia pula yang menulis dan mengajukannya kepada Nabi agar dikoreksi. Dan teks tersebut beliau bacakan kepada orang-orang hingga beliau wafat.
AWAL PEMBUKUAN AL-QURAN:
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, kaum muslimin dibuat sibuk dengan konflik melawan orang-orang murtad. Sehingga banyak korban jatuh dari kaum muslimin. Dalam Perang Yamamah (perang menghadapi nabi palsu, Musailimah al-Kadzab) misalnya, sejumlah besar penghafal Alquran gugur. Umar bin al-Khattab khawatir para penghafal Alquran terus berguguran karena konflik belum juga usai. Ia mendiskusikan ide membukukan Alquran dengan Khalifah Abu Bakar. Kemudian Abu Bakar beristikharah. Bermusyawarah dengan para sahabat. Setelah itu, ia memanggil Zaid bin Tsabit, “Sesungguhnya engkau adalah seorang pemuda yang cerdas. Aku akan memberimu tugas penting…” Abu Bakar memerintahkanya membukukan Alquran.
Zaid pun memegang tanggung jawab besar. Ia diuji dengan amanah yang berat dalam proyek besar ini. Ia mengecek dan menelaah hingga terkumpullah Alquran tersusun dan terbagi-bagi berdasarkan surat masing-masing. Tentang tanggung jawab besar ini, Zaid berkata, “Demi Allah! Kalau sekiranya kalian bebankan aku untuk memindahkan bukit dari tempatnya, tentu hal itu lebih ringan daripada kalian perintahkan aku untuk membukukan Alquran.”
Ia juga mengatakan, “Aku meneliti Alquran, mengumpulkannya dari daun-daun lontar dan hafalan-hafalan orang.” Namun dengan taufik dari Allah ia berhasil menjalankan amanah besar tersebut dengan baik.
PENYERAGAMAN BACAAN AL-QURAN:
Pada masa pemerintah Khalifah Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu jumlah orang yang memeluk Islam semakin hari semakin bertambah. Hal itu terjadi di berbagai daerah. Tentu saja hal ini sangat positif. Namun, hal ini bukanlah tanpa celah. Daerah-daerah tersebut menerima riwayat qira-at yang berbeda-beda. Dan mereka belum mengenal variasinya. Sehingga mereka menyangka orang yang berbeda bacaan Alqurannya membuat-buat bacaan baru. Muncullah masalah baru.
Melalui usul sahabat Hudzaifah bin al-Yaman, Khalifah Utsman bin Affan pun membuat kebijakan menyeragamkan bacaan Alquran. Utsman mengatakan, “Siapakah orang yang paling dipercaya untuk menulis?” Orang-orang menjawab, “Penulisnya Rasulullah, Zaid bin Tsabit.” Utsman kembali mengatakan, “Siapakah yang paling fasih bahasa Arabnya?” Orang-orang menjawab, “Said bin al-Ash. Ia seorang yang dialeknya paling mirip dengan Rasulullah.” Utsman kembali mengatakan, “Said yang mendikte dan Zaid yang menulis.”
Zaid bin Tsabit meminta bantuan sahabat-sahabat yang lain. Para sahabat pun membawakan salinan Alquran yang ada di rumah Ummul Mukminin Hafshah binti Umar radhiallahu ‘anha. Para sahabat saling membantu dalam peristiwa besar dan bersejarah ini. Mereka jadikan hafalan Zaid sebagai tolok ukur. Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “Pastilah para penghafal Alquran dari sahabat Muhammad tahu bahwa Zaid bin Tsabit adalah orang yang sangat mendalam ilmunya.”
KEUTAMAAN ZAID BIN TSABIT:
Figur seorang Zaid bin Tsabit memiliki kedudukan yang tinggi di tengah masyarakat. Kaum muslimin sangat menghormatinya. Suatu hari Zaid mengendarai hewan tunggangannya. Kemudian Abdullah bin Abbas mengambil tali kekangnya dan menuntunnya. Melihat hal itu, Zaid berkata, “Biarkan saja wahai anak paman Rasulullah.” “Tidak. Seperti inilah selayaknya kita menghormati ulama kita,” jawab Ibnu Abbas.
YANG PERTAMA MEMBAIAT ABU BAKAR:
Abu Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu mengisahkan: Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, orang-orang Anshar angkat bicara. Salah seorang di antara mereka mengatakan, ‘Wahai orang-orang Muhajirin, sesungguhnya jika Rasulullah menugaskan salah seorang di antara kalian, beliau akan menjadikan salah seorang di antara kami sebagai pendampingnya. Karena itu, kami memandang setelah beliau kepemimpinan ini dipegang oleh dua orang. Satu dari kalian dan satu dari kami’.
Orang-orang Anshar pun menyuarakan demikian. Lalu berdirilah Zaid bin Tsabit. Ia berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah berasal dari Muhajirin. Dan kepemimpinan itu pada Muhajirin dan kita adalah penolong mereka. Sebagaimana kita telah menjadi Anshar nya Rasulullah’.
Abu Bakar pun berdiri dan berterima kasih atas ucapan Zaid yang menenangkan suasana. Abu Bakar berkata, ‘Wahai orang-orang Anshar, benarlah apa yang teman kalian ucapkan. Seandainya kalian melakukan selain itu, tentu kami tidak membenarkannya’.
Zaid menggapai tangan Abu Bakar, kemudian berkata, ‘Ini adalah sahabat kalian. Baiatlah dia’.
Apabila Abu Bakar berhaji, maka Umar dan Zaid bin Tsabit yang menggantikan beliau sebagai khalifah. Zaid juga diberi amanah membagi ghanimah di Perang Yarmuk. Ia juga merupakan salah seorang dari enam orang ahli fatwa: Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Ubay, Abu Musa, dan Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhum ajma’in. Umar dan Utsman tidak melebihkan seorang pun dalam permasalah kehakiman, fatwa, faraidh, dan qiroa-ah dibanding Zaid bin Tsabit.
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَرْحَمُ أُمَّتِي بِأُمَّتِي أَبُو بَكْرٍ وَأَشَدُّهُمْ فِي أَمْرِ اللَّهِ عُمَرُ وَأَصْدَقُهُمْ حَيَاءً عُثْمَانُ وَأَعْلَمُهُمْ بِالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ وَأَفْرَضُهُمْ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَأَقْرَؤُهُمْ أُبَيٌّ وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينٌ وَأَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ
“Umatku yang paling penyayang terhadap yang lain adalah Abu Bakar. Yang paling kokoh dalam menjalankan perintah Allah adalah Umar. Yang paling jujur dan pemalu adalah Utsman. Yang paling mengetahui halal dan haram adalah Mu’adz bin Jabal. Yang paling mengetahui ilmu fara’idh (pembagian harta warisan) adalah Zaid bin Tsaabit. Yang paling bagus bacaan Alqurannya adalah Ubay. Setiap umat mempunyai orang kepercayaan. Dan orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR. at-Turmudzi 3791).
Seorang tokoh tabi’in, Muhammad bin Sirin, mengatakan, “Zaid bin Tsabit mengalahkan orang-orang dalam dua hal: Alquran dan faraidh.”
5 KEISTIMEWAAN ZAID BIN TSABIT:
Para ahli sejarah sepakat bahwa Zaid bin Tsabit memiliki beberapa keutamaan, antara lain:
PERTAMA: Dipercaya Rasulullah menjadi penulis Al Quran.
Zaid bin Tsabit adalah salah satu sahabat yang dipercaya oleh Rasulullah untuk menjadi penulis wahyu Al Quran. Zaid bin Tsabit dipercaya oleh Rasulullah untuk menjadi penulis Al Quran karena kekuatan daya ingat dan kecerdasannya. Nabi Muhammad mendiktekan sendiri ayat-ayat Al Quran kepada Zaid untuk dituliskan. Sejak remaja, Zaid bin Tsabit telah dikenal sebagai seorang penghafal Al Quran dan termasuk orang yang menyaksikan wahyu terakhir.
KEDUA: Menjadi juru tulis pribadi Rasulullah.
Zaid bin Tsabit tidak hanya menjadi penulis wahyu, tetapi juga surat-surat Rasulullah. Sebagai sekretaris atau juru tulis pribadi Rasulullah, Zaid bahkan diizinkan tinggal bersama Nabi Muhammad. Dalam sebuah hadis, Zaid berkata bahwa Rasulullah memerintahkannya untuk belajar bahasa Ibrani untuk memudahkan urusan dengan orang-orang Yahudi, terutama dalam hal surat-menyurat. Hanya dalam waktu 15 hari, Zaid telah menguasai bahasa Ibrani dan mengampu tugas berkirim surat kepada orang-orang Yahudi. Atas perintah Rasulullah pula, Zaid belajar bahasa Suryani dan dapat menguasainya hanya dalam waktu 17 hari.
KETIGA: Orang pertama yang membaiat Abu Bakar.
Berkat peran Zaid bin Tsabit pada masa Rasulullah, ia termasuk sosok yang memiliki kedudukan tinggi dan dihormati masyarakat. Sepeninggal Nabi Muhammad, Zaid menjadi orang pertama yang membaiat Abu Bakar sebagai khalifah yang memimpin umat Islam.
KEEMPAT: Memimpin tim pembukuan Al Quran.
Khalifah Abu Bakar menunjuk Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan Al Quran dan menjadikannya dalam satu mushaf. Imam Bukhari meriwayatkan dalam shahih-nya, dari Zaid bin Tsabit ia berkata, "Abu Bakar berkata kepadaku, 'Sesungguhnya kamu adalah pemuda yang berakal (cerdas). Kami tidak meragukanmu, dan kamu dahulu pernah menulis wahyu untuk Rasulullah SAW. Maka lakukan penelitian kembali dan kumpulkan kembali (untuk ditulis dalam satu mushaf)."
Setelah melalui proses yang amat panjang, jadilah ayat Al Quran yang tersusun secara rapi dalam satu mushaf dan hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Kemudian, pada masa Khallifah Utsman bin Affan, Zaid kembali dipercaya untuk memimpin sebuah tim pembukuan Al Quran. Zaid ditugaskan menduplikasi mushaf yang dibuat pada masa Abu Bakar menjadi beberapa mushaf agar tidak terjadi perbedaan dalam cara membaca serta huruf Al Quran. Mushaf-mushaf yang selesai ditulis oleh tim Zaid bin Tsabit dikenal sebagai Mushaf Utsmani, yang dibaca oleh umat Islam di seluruh dunia hingga kini.
Diriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Khattab pernah berpidato di hadapan umat Muslim dan berkata, "...barangsiapa yang ingin bertanya tentang Al Quran, hendaklah ia datang kepada Zaid bin Tsabit."
KELIMA: Ahli fatwa dan ilmu waris.
Zaid bin Tsabit diakui sebagai ulama di Madinah yang ahli di bidang fikih, fatwa, dan faraidh (ilmu pembagian waris). Ia merupakan salah satu dari enam orang ahli fatwa, yakni Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, Ubay, Abu Musa, dan Zaid bin Tsabit. Sedangkan Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bersabda, Yang paling mengetahui ilmu faraidh (pembagian harta warisan) adalah Zaid bin Tsabit.
Seorang tokoh tabiin, Muhammad bin Sirin, mengatakan bahwa Zaid bin Tsabit mengalahkan orang-orang dalam dua hal, yakni Al Quran dan faraidh. Karena begitu luas dan mendalam ilmu yang dikuasai oleh Zaid, pujian dari para sahabat Nabi yang lain pun berdatangan. Salah satu pujian datang dari Abu Bakar, yang mengucapkan, "Engkau adalah seorang pemuda yang cerdas dan kami tidak meragukan kecerdasanmu."
WAFATNYA:
Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu wafat pada tahun 45 H di masa pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu.
Di hari wafatnya Zaid, Abu Hurairah berkata, “Pada hari ini telah wafat tintanya umat ini. Semoga Allah menjadikan Ibnu Abbas sebagai penggantinya.”
Tinta adalah ungkapan untuk keluasan ilmu. Karena di zaman dahulu, menulis ilmu itu membutuhkan tinta.
KESIMPULAN:
Zaid bin Tsabit adalah seorang tokoh penting dalam sejarah awal Islam, terkenal karena kontribusinya dalam kompilasi dan preservasi Al-Quran pada masa kehidupan Nabi Muhammad. Ia lahir di Yathrib (sekarang Madinah) dan merupakan bagian dari kelompok Anshar, para penduduk Madinah yang menjadi pendukung awal dan tempat perlindungan bagi Nabi dan para Muhajirin (Muslim yang hijrah dari Mekah).
Zaid bin Tsabit terkenal karena perannya sebagai penulis Al-Quran. Ia ditugaskan oleh Nabi Muhammad untuk mencatat wahyu-wahyu yang diterima. Setelah wafatnya Nabi, pada masa kepemimpinan Abu Bakar, Zaid memainkan peran penting dalam menyusun Al-Quran menjadi satu naskah tunggal. Kompilasi ini kemudian disempurnakan pada masa kepemimpinan Utsman bin Affan.
Selain kontribusinya terhadap Al-Quran, Zaid bin Tsabit juga dikenal atas keahliannya dalam berbagai bidang, termasuk genealogi, hukum Islam, dan linguistik. Ia adalah seorang ahli bahasa yang fasih dalam beberapa bahasa, yang membantunya dalam tugasnya dalam menyalin dan memahami Al-Quran.
Sepanjang hidupnya, Zaid bin Tsabit tetap menjadi sahabat dekat Nabi Muhammad dan kemudian para khalifah awal, memberikan kontribusi besar dalam pengembangan dan preservasi pengetahuan dan tulisan Islam.
Pelajaran yang dapat dipetik dari kisah Zaid bin Tsabit mencakup beberapa nilai dan prinsip yang relevan dalam konteks kehidupan dan keberhasilan pribadi:
1. Ketekunan dalam Pendidikan dan Kepemimpinan: Zaid bin Tsabit menunjukkan ketekunan dan keseriusan dalam belajar dan mengembangkan keterampilannya. Ia mempelajari berbagai bidang ilmu, termasuk bahasa dan sastra, yang memungkinkannya untuk memainkan peran penting dalam menyusun Al-Quran.
2. Kesetiaan kepada Tujuan yang Mulia: Zaid bin Tsabit adalah seorang sahabat yang setia kepada Nabi Muhammad dan prinsip-prinsip Islam. Kesetiaannya kepada agama dan kepemimpinan Islam memotivasi tindakannya dalam menyusun dan memelihara Al-Quran.
3. Kerja Tim dan Kolaborasi: Zaid bin Tsabit tidak bekerja sendiri dalam tugasnya. Ia bekerja sama dengan komunitas Muslim, terutama para sahabat dan ahli ilmu lainnya, dalam menyusun Al-Quran. Hal ini menunjukkan pentingnya kerja tim dan kolaborasi dalam mencapai tujuan yang besar.
4. Kemandirian Intelektual: Zaid bin Tsabit adalah seorang cendekiawan yang independen. Ia memiliki keberanian untuk menantang dan memeriksa teks-teks yang dia tulis, menunjukkan pentingnya kemandirian intelektual dalam memahami dan memelihara ilmu pengetahuan.
5. Kesetiaan dan Konsistensi: Zaid bin Tsabit menunjukkan kesetiaan dan konsistensi dalam tugasnya, baik kepada Nabi Muhammad maupun kepada para khalifah setelahnya. Kesetiaan ini merupakan contoh yang kuat bagi kita untuk tetap teguh dan konsisten dalam menjalankan tanggung jawab kita.
Melalui kisah hidupnya, Zaid bin Tsabit mengajarkan banyak pelajaran berharga tentang ketekunan, kesetiaan, kerja tim, dan kemandirian intelektual yang dapat diaplikasikan dalam berbagai aspek kehidupan.
وهكذا كانت حياة زيد بن ثابت رضي الله عنه حافلة بالعلم والتعليم, فجزاه الله عن الإسلام والمسلمين خير الجزاء.
Oleh: Ust. Faqih Aulia, LITKA PC Pemuda PERSIS Batununggal Kota Bandung.
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan