SHALAT AWWABIN, SUNNAH DAN BIDAH


بسم الله الرحمن الرحيم

“SALAT AWABIN ANTARA YANG BID’AH DAN YANG SUNNAH”

Oleh: Faqih Aulia (14.3887 & 06.62)

MUQADDIMAH:

Apa yang dimaksud salat awabin? Mungkin kita pernah mendengar dari sebagian orang yang menyebutnya, namun barangkali belum tahu maksudnya.

SALAT AWABIN YANG BID’AH:

Salat ini sering disebut gaflah artinya lalai. Salat awabin yang bid’ah ini adalah salat yang dilakukan antara Magrib dan Isya. Pada setiap rakaat dibaca surat Al-Ikhlas sebanyak empat puluh kali. Ada yang menerangkan empat rakaat, enam rakaat, dua belas rakaat, bahkan sampai dua puluh rakaat. Salat ini tampaknya tidak sedikit orang yang sudah mengamalkannya, dengan keyakinan bahwa apabila melakukannya akan mendapat beberapa macam balasan dari Allah swt. serta beberapa kasiat.

Untuk itu setelah dikumpulkan, diteliti, dikaji dan digabung beberapa hadis tentang salat ini, secara keseluruhan berpahala dan berkasiat antara lain bahwa siapa yang melakukan salat awabin ini akan:

1.      Aman tatkala melintasi siratal mustaqim, yang digambarkan merupakan sebuah jembatan yang amat kecil, sebanding dengan sehelai rambut dibelah tujuh.

2.      Aman pada waktu menghadapi hisaban dari Allah swt.

3.      Aman pada waktu menghadapi mizan (penimbangan amal).

4.      Diampuni dosa dan akan disyafaati oleh dua malaikat.

5.      Diangkat di illiyin (nama tempat di syurga) dan seperti orang yang mendapatkan lailatul qadar di Masjidil Aqsa.

6.      Diampuni dosa selama lima puluh tahun.

7.      Mendapat pahala sebanding dengan orang yang perang fi sabilillah, bahkan dua puluh sebanding dengan orang yang mati syahid.

8.      Diampuni dosanya walaupun sebanyak buih di lautan.

9.      Mendapat balasan dari Allah sebanding dengan ibadah selama dua belas tahun.

Perlu diperhatikan bahwa mukminin tentulah sangat mengharapkan balasan-balasan atau kasiat-kasiat tersebut di atas. Tetapi pengharapan seperti itu janganlah menjadi sebab kurang periksa dan kurang telitinya di dalam mengamalkan sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah saw. Hal seperti itu akan mengakibatkan pelaksanaan yang sungguh-sungguh tanpa diketahui kebenaran datangnya dari Rasulullah.

ADANYA SALAT AWABIN (GAFLAH):

Tentang keberadaan salat awabin ini memang banyak sekali hadis yang menerangkannya. Antara lain hadis sebagai berikut:

عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ، فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {كَانُوا قَلِيلاً مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ}:، قَالَ: كَانُوا يُصَلُّونَ فِيمَا بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ ، وَكَذَلِكَ تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجَعِ. رواه أبو داود والبيهقي

Dari Qatadah, dari Anas bin Malik, tentang firman Allah, -keadaan mereka yang sedikit tidur malam-, ia mengatakan, “Mereka biasa salat antara Magrib dan Isya, dan demikian pula merengang diri-diri mereka dari tempat-tempat berbaring.” (menjauhi tempat tidur). (H.R. Abu Daud, Sahih wa Dhaif Sunan Abu Daud, III: 322, Al-Baihaqi, Syuabul Iman, VII: 111 no. 2964, Nailul Authar, III: 38)

Terdapat beberapa hadis yang menerangkan bahwa salat antara Magrib dan Isya bertalian dengan turunnya ayat di atas. Antara lain diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaeh di dalam tafsirnya, dari riwayat Alhars bin Wajih dengan lafal yang hampir sama dengan hadis di atas. Tetapi Al-Hars ini rawi yang da’if.

Ada pula riwayat Abana bin Abi Ayyasy dari sahabat Anas, tetapi Abana pun adalah rawi yang da’if.

Ada pula riwayat At-Thabrani dari sahabat Ibnu Mas’ud tetapi terdapat rawi Lais bin Abi Sulaim yang amat lemah. (Mazmauz Zawaid, II: 233)

 

Terdapat pula hadis yang tidak mengaitkan salat awabin dengan ayat di atas:

عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَضَى الصَّلاَةَ قَامَ يُصَلِّي، فَلَمْ يَزَلْ يُصَلِّي حَتَّى صَلَّى الْعِشَاءَ. رواه أحمد

Dari Huzaifah, ia mengatakan, “Saya salat bersama Nabi saw. salat Magrib maka tatkala beliau selesai salat, beliau berdiri lagi salat, dan terus beliau salat sehingga salat Isya.” (H.R. Ahmad, Musnad Ahmad bin Hanbal, V: 404)

Ada pula hadis yang diriwayatkan melalui Muhammad bin Nasr dari sahabat Anas bin Malik, yang menerangkan bahwa Nabi saw. melakukan salat yang beliau mulai setelah salat Magrib sampai datangnya salat Isya, dan beliau mengemukakan ayat -“Inna nasyiatal laili”- maka yang dimaksud oleh ayat itu adalah waktu antara Magrib dan Isya. Anas mengatakan:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مَا بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ.

Adalah Rasulullah saw. salat antara waktu Magrib dan Isya. H.r. Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, II: 197

Maka dengan turunnya ayat itu Rasulullah melaksanakan salat antara Magrib dan Isya.

Tetapi pada sanad hadisnya terdapat rawi bernama Mansur bin As-Syaqir yang dinyatakan lemah dan idtirab (orangnya kata-katanya tidak konsisten) oleh Abu Hatim. Selain itu masih ada rawi lain bernama Amarah bin Zadz’an, ia dinyatakan lemah oleh Ad-Daraqutni. (Nailul Authar, III: 58)

Ada pula hadis lain masih dari Anas bin Malik yang diterangkan dengan lafal sebagai berikut.

أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحْيِي مَا بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ، وَيَقُولُ: هِيَ نَاشِئَةُ اللَّيْلِ.

Bahwa sesungguhnya Nabi saw. menghidupkan (salat) antara Magrib dan Isya dan beliau bersabda, “Itulah yang dimaksud nasyiatul laili.”

Hadis ini pun diriwayatkan melalui rawi Amarah bin Zadz’an yang lemah tersebut di atas.

Dan masih ada hadis yang lain dari sahabat Ibnu Abas yang menerangkan:

«مَنْ أَحْيَا مَا بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ، وَمَا بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ غُفِرَ لَهُ وَشَفَعَ لَهُ مَلَكَانِ».

Barangsiapa yang menghidupkan (salat) antara Zuhur dan Ashar dan antara Magrib dan Isya, maka akan diampuni dosa-dosanya dan disyafaati oleh dua malaikat.

Hadis ini pun sangat da’if karena di dalam sanadnya terdapat rawi Hafs bin Umar Al-Qazaz, ia dinyatakan majhul (tidak cukup dikenal)

Dan masih banyak hadis-hadis yang menerangkan keberadaan salat awabin beserta keutamaan-keutamaannya, tetapi kesemuanya tidak lepas dari kelemahan bahkan ada diantaranya yang sampai ke tingkat maudu (palsu).

Selain lemah-lemah sanad-nya, matan-nya pun tidak sama sehingga tidak ada yang dapat menjadi pegangan alias ‘idtirab.

SALAT AWABIN EMPAT RAKAAT:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ بَعْدَ الْمَغْرِبِ قَبْلَ أَنْ يَتَكَلَّمَ رُفِعَتْ لَهُ فِي عِلِّيِيْنَ، وَكَانَ كَمَنْ كَانَ أَدْرَكَ لَيْلَةَ الْقَدَرِ فِي الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى، وَهِيَ خَيْرٌ مِنْ قِيَامِ نِصْفِ لَيْلَةٍ. رواه الديلمي

Dari Ibnu Abas, ia mengatakan, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa yang salat empat rakaat setelah Magrib sebelum bicara, maka akan diangkat di Illiyin dan ia seperti orang yang mendapat lailatul qadar di Masjid Al-Aqsa, dan itu lebih baik daripada melakukan salat setengah malam.” H.r. Ad-Dailami, Kanzul Umal VII: 393

Hadis ini sangat lemah karena di dalam sanadnya terdapat jahalatur rawi dan ke-munkar-an, sebagai mana dinyatakan oleh Al-Iraqi. (Nailul Authar, III: 29)

 

Masih ada hadis lain yang menyatakan:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ صَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ بَعْدَ الْمَغْرِبِ، كَانَ كَالْمُعَقِّبِ غَزْوَةً بَعْدَ غَزْوَةٍ». رواه الديلمي

Dari Ibnu Abas, ia mengatakan, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa salat empat rakaat setelah Magrib maka ia seperti orang yang selesai perang setelah satu perang fi sabilillah.” H.r. Ad-Dailami

Hadis ini pun sangat lemah karena di dalam sanadnya terdapat seorang rawi yang bernama Musa bin Ubaidah Ar-Rabadzi, ia dinyatakan lemah sekali (Nailul Authar, III: 59). Ada pula hadis yang lain:

عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بَيْنَ المَغْرِبِ وَالعِشَاءِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ. رواه ابن أبي شيبة

Dari Abdullah bin Masud, ia mengatakan, “Biasa Rasulullah saw. salat antara Magrib dan Isya empat rakaat.” (H.R. Ibnu Abi Syaibah dan Muhammad bin Nasr)

Hadis ini pun sangat da’if dan munqati karena di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Ma’n bin Abdurrahman bin Abdullah bin Mas’ud, dari kakeknya. Padahal ia tidak bertemu dengan kakeknya itu. (Nailul Authar, III: 59)

SALAT AWABIN ENAM RAKAAT:

Salat enam rakaat setelah Maghrib dengan tidak di antar oleh omongan-omongan atau pembicaraan yang jelek di antara salat-salat tersebut. Salat enam rakaat ba’da Magrib ini sebanding dengan ibadah selama dua belas tahun. Diterangkan di dalam riwayat sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ صَلَّى بَعْدَ الْمَغْرِبِ سِتَّ رَكَعَاتٍ لَمْ يَتَكَلَّمْ بَيْنَهُنَّ بِسُوءٍ عَدَلَتْ لَهُ عِبَادَةَ اِثْنَتَيْ عَشْرَةَ سَنَةً. رواه الترمذي وابن ماجة

Dari Abu Huraerah r.a, ia mengatakan, “Telah bersabda Rasulullah saw., ‘Barangsiapa yang melakukan salat ba’da Magrib enam rakaat, ia tidak berbicara jelek di antara rakaat-rakaat itu, maka diseimbangkan untuknya ibadah selama dua belas tahun.” (H.R. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, III: 167, At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, I: 435)

Hadis ini sangat lemah karena di dalam sanad di atas terdapat dua kelemahan:

Pertama: Terdapat seorang rawi bernama Umar bin Abu Khas’am Al-Yamami, yang nama lengkapnya adalah Umar bin Abdullah Abu Khas’am Al-Yamami.

v  At-Tirmizi mengatakan dari Al-Bukhari, “Ia adalah seorang yang hadisnya lemah, menghilangkan hadis, dan Al-Bukhari menyatakannya lemah sekali.”

v  Abu Ahmad bin Adi mengatakan, “Munkarul hadis, (bahkan) sebagian hadisnya tidak mendukung hadisnya yang lain.” (Tahdzibul Kamal, XXI: 408, 409)

Kedua: Terdapat rawi yang bernama Abu Umar Hafs bin Umar.

v  Al-Hakim meriwayatkan dari Ad-Daraqutni bahwa Abu Umar adalah seorang rawi yang lemah. (Mizanul I’tidal, I: 522)

v  Az-Zahabi mengatakan di dalam riwayat hidup Abu Umar, “Ia meriwayatkan dua hadis yang munkar dan hadis ini adalah salah satunya.” (Silsilah, I: 482)

v  Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Hadis-hadis yang dikemukakannya diterimanya dari Yahya bin Kasir, munkar-munkar.”

v  Ibnu Hibban mengatakan, “Ia meriwayatkan sesuatu yang palsu dari guru-guru yang siqat, tidak halal menyebutnya kecuali dengan cara mencela.” (Mizanul I’tidal, III: 194, dan Al-Ahadisid da’ifah wal maudu’ah, I: 481)

Selain riwayat Ibnu Majah di atas, masih ada periwayatan lain oleh At-Tirmizi, masih dari sahabat Abu Huraerah dengan jalan sanad yang sama, yaitu melalui Umar bin Khas’am dari Yahya bin Kasir. (Tuhfatul Ahwadzi, II: 510)

Kemudian selain hadis di atas masih ada periwayatan lain dari sahabat Amr bin Yasir riwayat At-Tabrani dengan lafal sebagai berikut:

عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بَعْدَ الْمَغْرِبِ سِتَّ رَكَعَاتٍ وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ صَلَّى بَعْدَ الْمَغْرِبِ سِتَّ رَكَعَاتٍ غُفِرَتْ لَهُ ذُنُوبُهُ وَلَوْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ». رواه الطبراني  

Dari Amr bin Yasir, bahwa ia melihat Nabi saw. salat setelah Magrib enam rakaat, dan beliau bersabda, ‘Barangsiapa yang salat setelah Magrib enam rakaat akan diampuni dosa-dosanya walaupun sebanding dengan buih air lautan.” (H.r. At-Tabrani, Al-Mu’jamul Ausath, III: 41 no. 901)

Hadis ini sangat lemah karena di dalam sanadnya ada rawi Saleh bin Qathan, dan ia meriwayatkannya seorang diri. Ibnul Jauzi mengatakan, “Di dalam sanad hadisnya terdapat ke-majhul-an ke-majhul-an.” (Lihat pula Mazmauz Zawaid, II: 233)

Dengan demikian hadis-hadis yang menerangkan anjuran salat enam rakaat ba’da Magrib lemah-lemah, bahkan Ibnu Hibban, Ibnul Jauzi serta Nasirudin Al-Albani telah mengelompokkannya ke dalam hadis maudu alias hadis palsu. Maka melakukannya merupakan amal yang bid’ah. (Lihat pula Tuhfatul Ahwadzi, II: 510-511)

SALAT AWABIN DUA BELAS RAKAAT:

عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ صَلَّى بَعْدَ الْمَغْرِبِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً يَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ أَرْبَعِينَ, صَافَحَتْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ, ومَنْ صَافَحَتْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ آمِنَ الصِّرَاطُ وَالْحِسَابُ وَالْمِيزَانُ».

Dari Anas bin Malik, ia mengatakan, “Rasulullah saw. telah bersabda, ‘Barangsiapa salat setelah Magrib sebanyak dua belas rakaat, pada setiap rakaat membaca qul huwallahu ahad empat puluh kali, maka (salat itu) akan menjabat tangannya pada hari kiamat. Dan barangsiapa di salami oleh (salat itu) ia pada hari kiamat akan aman pada sirat (mustaqim), hisaban dan timbangan.”

Hadis ini sangat lemah bahkan Ibnul Jauzi mengatakan, “Tidak benar hadis ini datang dari Rasulullah saw. dan di dalam (sanad) nya terdapat rawi-rawi yang majhul.”

Pada untaian sanad hadis ini terdapat nama rawi Abana. Abana nama lengkapnya adalah (Abana) bin Abi Ayyasy Al-Bishri.

v  Ibnu Main mengatakan, “laisa haditsuhu bi syaiin (Hadis-nya tidak teranggap).”

v  Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Matrukul hadis (Hadis-hadisnya ditinggalkan).”

v  An-Nasai mengatakan, “Laa yuktabu hadisuhu (Hadis-hadisnya tidak dicatat).” (Tahdzibut Tahzib, I: 96)

Selain rawi yang lemah di atas masih ada rawi lain yang lemah, yaitu Ali bin Abdul Malik bin Abdi Rabbih At-Thaiy. Kata Khalf bin Khulaifah dan yang lainnya, “Ia seorang yang munkarul hadis.” (Lisanul Mizan, IV: 66)

Selain itu masih ada hadis lain yang cukup panjang melalui jalan periwayatan lain oleh At-Tabrani, tetapi hadisnya sangat lemah karena melalui seorang rawi yang bernama Ahram bin Hausyab yang matruk (Majma’uz Zawa’id, II: 233)

Dengan demikian hadis-hadis tentang salat awabin yang dua belas rakaat agar diberi keamanan pada sirathol mustaqim, hisab, dan timbangan hari akhirat tidak ada yang layak dijadikan hujah. Karena hadis-hadisnya sangat da’if.

SALAT AWABIN 20 RAKAAT:

Salat dua puluh rakaat antara Magrib dan Isya dilaksanakan dengan harapan, bahwa melalui salat itu akan dibangunkan oleh Allah swt. sebuah bangunan di Surga. Penulis tidak menemukan bagaimana kaifiyat salat tersebut, karena hal ini sungguh bertentangan dengan keumuman syariat salat. Para ulama pun tidak ada yang menerangkan bagaimana cara salatnya. Agar lebih jelas, marilah kita perhatikan hadis di bawah ini:

عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: "مَنْ صَلَّى بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ عِشْرِينَ رَكْعَةً، بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ". رواه ابن ماجه

Dari Aisyah r.a, ia mengatakan, “Rasulullah saw. telah bersabda, ‘Barangsiapa yang melakukan salat dua puluh rakaat antara Magrib dan Isya, maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di Surga’.” (H.r. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I: 437 dan Musnad Abu Ya’la, VIII: 360, no. 4948)

Hadis ini sangat lemah, bahkan ada sementara ulama ahli hadis yang menyatakannya sebagai hadis maudu (palsu). Di dalam sanad hadis ini terdapat seorang rawi yang telah disepakati para ahli sebagai pendusta. Rawi tersebut adalah Ya’qub bin Al-Walid Al-Madani.

Imam Ahmad mengatakan, “Ia diantara para pendusta, dan ia memalsu hadis.” (Silsilah, I: 482)

KESIMPULAN:

v  Hadis-hadis yang menyatakan adanya salat awabin semuanya lemah-lemah, kecuali Awabin sebagai nama lain dari salat Dhuha.

v  Hadis-hadis yang menerangkan bilangan rakaatnya, baik yang empat, enam, dua belas, maupun dua puluh rakaat lemah-lemah, bahkan beberapa diantaranya maudu. Dengan demikian salat Awabin (antara Magrib dan Isya) tidak benar datang dari Nabi saw.

SALAT AWABIN YANG SUNAH NABI SAW.:

Setelah dikaji lebih mendalam ternyata terdapat hadis yang menerangkan salat awabin, yaitu salat Dhuha. Salat Dhuha disebut juga salat awabin oleh Rasulullah saw. selanjutnya marilah kita perhatikan hadis yang sahih tersebut:

عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ، قَالَ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَهْلِ قُبَاءٍ وَهُمْ يُصَلُّونَ، فَقَالَ: «صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ إِذَا رَمَضَتِ الْفِصَالُ».

Dari Zaid bin Arqam, ia berkata, “Rasulullah saw. keluar menemui penduduk Quba sedangkan mereka sedang salat. Maka Rasulullah saw. bersabda, ‘Shalat awwabin, yaitu apabila anak unta mulai berteduh karena kepanasan.” H.r. Musnad Ahmad bin Hanbal, II: 375, no. 7586, Muslim, II: 171 no 1781, Sahih Ibnu Hiban, VI: 280, no. 2539, Sahih Ibnu Khuzaimah, I: 403, no. 1457, Al-Hakim, III: 204, no. 1130, As-Sunan Al-Kubra lil Baihaqi, III: 49

Di dalam hadis lain dijelaskan sebagai berikut:

عَنِ الْقَاسِمِ الشَّيْبَانِىِّ أَنَّ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ مِنَ الضُّحَى فَقَالَ أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلاَةَ فِى غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ. إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ «صَلاَةُ الأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ».

Dari Al-Qasim Asy-Syaibani bahwasannya Zaid bin Arqam melihat suatu kaum sedang melakukan salat dari waktu Dhuha. Ia berkata, ‘Bukankah kalian sudah tahu bahwa salat pada waktu selain ini lebih utama? Sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabda, ‘Salat awabin ialah ketika anak unta mulai berteduh karena kepanasan (waktu Dhuha)’.” H.r. Muslim, Sahih Muslim, II: 171, no. 1780

Demikian pula dalam riwayat lainnya dijelaskan sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا يُحَافِظُ عَلَى صَلَاةِ الضُّحَى إِلَّا أَوَّابٌ". قَالَ: "وَهِيَ صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ".

Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Tidak memelihara salat Dhuha selain Awwab (Hamba yang senantiasa kembali kepada Allah swt. dengan taubat). Beliau bersabda, ‘Itulah salat Awwabin’.” H.r. Al-Hakim, Al-Mustadrak alas sahihain, III: 204, no. 1130.

Salat yang dikerjakan ketika matahari mulai naik itu tentu saja salat Dhuha. Dan banyak sekali hadis-hadis mengenai salat Dhuha ini yang sahih. Maka salat awabin yang merupakan sunah Nabi adalah salat Dhuha.

SUMBER PENULISAN: Shalat-Shalat Bid’ah Telaah Kritis atas Hadis-Hadis Karya K.H. Wawan Shofwan Shalehuddin Hal 31-48

 

KESIMPULAN:

Persatuan Islam (Persis) adalah organisasi Islam di Indonesia yang dikenal dengan pendekatan rasional dan berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah yang sahih. Dalam pandangan Persis, Shalat Awwabin sering dianggap sebagai bid'ah karena beberapa alasan berikut:

Pandangan Persis tentang Shalat Awwabin

1.      Kurangnya Dalil yang Kuat: Persis sangat berhati-hati dalam menerima amalan ibadah yang tidak memiliki dasar dalil yang kuat dan shahih. Dalil-dalil yang mendukung Shalat Awwabin dianggap tidak cukup kuat atau shahih oleh Persis, sehingga amalan ini tidak diakui sebagai bagian dari sunnah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.

2.      Tidak Disebutkan dalam Sumber-Sumber Primer: Shalat Awwabin tidak secara eksplisit disebutkan dalam sumber-sumber hadis utama seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Persis lebih cenderung berpegang pada hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab utama yang diakui otoritasnya.

3.      Prinsip Menjaga Kemurnian Ibadah: Persis sangat menekankan pentingnya menjaga kemurnian ibadah dan menghindari praktek-praktek yang tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Menambah-nambah amalan ibadah yang tidak memiliki landasan kuat dianggap berisiko jatuh ke dalam bid'ah.

Dalam pandangan Persis, Shalat Awwabin dianggap sebagai bid'ah karena tidak memiliki dalil yang kuat dan tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, Persis menganjurkan umat Islam untuk fokus pada ibadah yang memiliki dasar yang jelas dalam Al-Qur'an dan sunnah yang shahih.

Namun, seperti halnya perbedaan pendapat di kalangan ulama lainnya, penting untuk saling menghormati pandangan yang berbeda dan berusaha untuk memahami dasar-dasar argumentasi yang digunakan oleh masing-masing pihak.

 

APA YANG DIMAKSUD SALAT AWABIN? MUNGKIN KITA PERNAH MENDENGAR DARI SEBAGIAN ORANG YANG MENYEBUTNYA, NAMUN BARANGKALI BELUM TAHU MAKSUDNYA. SHALAT AWWABIN BISA DITUJUKAN PADA DUA MAKSUD:

PERTAMA: SHALAT AWWABIN ADALAH SHALAT DHUHA.

KEDUA: SHALAT AWWABIN ADALAH SHALAT SUNNAH EMPAT RAKAAT, ENAM RAKA’AT, DUA BELAS RAKAAT ATAU DUA PULUH RAKAAT SETELAH MAGHRIB.

KESIMPULANNYA, SHALAT AWWABIN ADALAH SHALAT DHUHA. BISA JUGA SHALAT AWWABIN DIMAKSUDKAN UNTUK SHALAT SUNNAH ANTARA MAGHRIB DAN ISYA MENURUT SEBAGIAN ULAMA. KALAU MEMBICARAKAN DENGAN JUMLAH RAKA’AT TERTENTU (SEPERTI EMPAT RAKAAT, ENAM RAKA’AT, DUA BELAS RAKAAT ATAU DUA PULUH RAKAAT), HADITSNYA LEMAH.

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama