بسم الله الرحمن الرحيم
“SALAT AWABIN ANTARA YANG BID’AH
DAN YANG SUNNAH” Oleh: Faqih Aulia (14.3887 &
06.62) |
MUQADDIMAH:
Apa yang dimaksud salat awabin? Mungkin kita pernah mendengar dari
sebagian orang yang menyebutnya, namun barangkali belum tahu maksudnya.
SALAT AWABIN YANG BID’AH:
Salat ini sering disebut gaflah artinya lalai. Salat awabin yang
bid’ah ini adalah salat yang dilakukan antara Magrib dan Isya. Pada setiap
rakaat dibaca surat Al-Ikhlas sebanyak empat puluh kali. Ada yang menerangkan
empat rakaat, enam rakaat, dua belas rakaat, bahkan sampai dua puluh rakaat.
Salat ini tampaknya tidak sedikit orang yang sudah mengamalkannya, dengan
keyakinan bahwa apabila melakukannya akan mendapat beberapa macam balasan dari
Allah swt. serta beberapa kasiat.
Untuk itu setelah dikumpulkan, diteliti, dikaji dan digabung
beberapa hadis tentang salat ini, secara keseluruhan berpahala dan berkasiat
antara lain bahwa siapa yang melakukan salat awabin ini akan:
1.
Aman
tatkala melintasi siratal mustaqim, yang digambarkan merupakan sebuah jembatan
yang amat kecil, sebanding dengan sehelai rambut dibelah tujuh.
2.
Aman
pada waktu menghadapi hisaban dari Allah swt.
3.
Aman
pada waktu menghadapi mizan (penimbangan amal).
4.
Diampuni
dosa dan akan disyafaati oleh dua malaikat.
5.
Diangkat
di illiyin (nama tempat di syurga) dan seperti orang yang mendapatkan lailatul
qadar di Masjidil Aqsa.
6.
Diampuni
dosa selama lima puluh tahun.
7.
Mendapat
pahala sebanding dengan orang yang perang fi sabilillah, bahkan dua puluh
sebanding dengan orang yang mati syahid.
8.
Diampuni
dosanya walaupun sebanyak buih di lautan.
9.
Mendapat
balasan dari Allah sebanding dengan ibadah selama dua belas tahun.
Perlu diperhatikan bahwa mukminin tentulah sangat mengharapkan balasan-balasan
atau kasiat-kasiat tersebut di atas. Tetapi pengharapan seperti itu janganlah
menjadi sebab kurang periksa dan kurang telitinya di dalam mengamalkan sesuatu
yang disandarkan kepada Rasulullah saw. Hal seperti itu akan mengakibatkan
pelaksanaan yang sungguh-sungguh tanpa diketahui kebenaran datangnya dari
Rasulullah.
ADANYA SALAT AWABIN (GAFLAH):
Tentang keberadaan salat awabin ini memang banyak sekali hadis
yang menerangkannya. Antara lain hadis sebagai berikut:
عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ، فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {كَانُوا
قَلِيلاً مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ}:، قَالَ: كَانُوا يُصَلُّونَ فِيمَا
بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ ، وَكَذَلِكَ تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ
الْمَضَاجَعِ. رواه أبو داود والبيهقي
Dari Qatadah, dari Anas bin Malik, tentang firman Allah, -keadaan
mereka yang sedikit tidur malam-, ia mengatakan, “Mereka biasa salat antara
Magrib dan Isya, dan demikian pula merengang diri-diri mereka dari
tempat-tempat berbaring.” (menjauhi tempat tidur).
(H.R. Abu Daud, Sahih wa Dhaif Sunan Abu Daud, III: 322, Al-Baihaqi, Syuabul
Iman, VII: 111 no. 2964, Nailul Authar, III: 38)
Terdapat beberapa hadis yang menerangkan bahwa salat antara Magrib
dan Isya bertalian dengan turunnya ayat di atas. Antara lain diriwayatkan oleh
Ibnu Mardawaeh di dalam tafsirnya, dari riwayat Alhars bin Wajih dengan lafal
yang hampir sama dengan hadis di atas. Tetapi Al-Hars ini rawi yang da’if.
Ada pula riwayat Abana bin Abi Ayyasy dari sahabat Anas, tetapi
Abana pun adalah rawi yang da’if.
Ada pula riwayat At-Thabrani dari sahabat Ibnu Mas’ud tetapi
terdapat rawi Lais bin Abi Sulaim yang amat lemah. (Mazmauz Zawaid, II: 233)
Terdapat pula hadis yang tidak mengaitkan salat awabin dengan ayat
di atas:
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ:
صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَضَى
الصَّلاَةَ قَامَ يُصَلِّي، فَلَمْ يَزَلْ يُصَلِّي حَتَّى صَلَّى الْعِشَاءَ.
رواه أحمد
Dari Huzaifah, ia mengatakan, “Saya salat bersama Nabi saw. salat
Magrib maka tatkala beliau selesai salat, beliau berdiri lagi salat, dan terus
beliau salat sehingga salat Isya.” (H.R. Ahmad, Musnad Ahmad bin
Hanbal, V: 404)
Ada pula hadis yang diriwayatkan melalui Muhammad bin Nasr dari
sahabat Anas bin Malik, yang menerangkan bahwa Nabi saw. melakukan salat yang
beliau mulai setelah salat Magrib sampai datangnya salat Isya, dan beliau
mengemukakan ayat -“Inna nasyiatal laili”- maka yang dimaksud oleh ayat itu
adalah waktu antara Magrib dan Isya. Anas mengatakan:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مَا بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ.
Adalah Rasulullah saw. salat antara waktu Magrib dan Isya. H.r. Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, II: 197
Maka dengan turunnya ayat itu Rasulullah melaksanakan salat antara
Magrib dan Isya.
Tetapi pada sanad hadisnya terdapat rawi bernama Mansur bin
As-Syaqir yang dinyatakan lemah dan idtirab (orangnya kata-katanya tidak
konsisten) oleh Abu Hatim. Selain itu masih ada rawi lain bernama Amarah bin
Zadz’an, ia dinyatakan lemah oleh Ad-Daraqutni. (Nailul Authar, III: 58)
Ada pula hadis lain masih dari Anas bin Malik yang diterangkan
dengan lafal sebagai berikut.
أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحْيِي مَا بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ، وَيَقُولُ: هِيَ
نَاشِئَةُ اللَّيْلِ.
Bahwa sesungguhnya Nabi saw. menghidupkan (salat) antara Magrib
dan Isya dan beliau bersabda, “Itulah yang dimaksud nasyiatul laili.”
Hadis ini pun diriwayatkan melalui rawi Amarah bin Zadz’an yang
lemah tersebut di atas.
Dan masih ada hadis yang lain dari sahabat Ibnu Abas yang
menerangkan:
«مَنْ أَحْيَا مَا بَيْنَ الظُّهْرِ
وَالْعَصْرِ، وَمَا بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ غُفِرَ لَهُ وَشَفَعَ لَهُ
مَلَكَانِ».
Barangsiapa yang menghidupkan (salat) antara Zuhur dan Ashar dan
antara Magrib dan Isya, maka akan diampuni dosa-dosanya dan disyafaati oleh dua
malaikat.
Hadis ini pun sangat da’if karena di dalam sanadnya
terdapat rawi Hafs bin Umar Al-Qazaz, ia dinyatakan majhul (tidak cukup
dikenal)
Dan masih banyak hadis-hadis yang menerangkan keberadaan salat
awabin beserta keutamaan-keutamaannya, tetapi kesemuanya tidak lepas dari
kelemahan bahkan ada diantaranya yang sampai ke tingkat maudu (palsu).
Selain lemah-lemah sanad-nya, matan-nya pun tidak sama sehingga
tidak ada yang dapat menjadi pegangan alias ‘idtirab.
SALAT AWABIN EMPAT RAKAAT:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ بَعْدَ الْمَغْرِبِ قَبْلَ أَنْ
يَتَكَلَّمَ رُفِعَتْ لَهُ فِي عِلِّيِيْنَ، وَكَانَ كَمَنْ كَانَ أَدْرَكَ لَيْلَةَ
الْقَدَرِ فِي الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى، وَهِيَ خَيْرٌ مِنْ قِيَامِ نِصْفِ لَيْلَةٍ.
رواه الديلمي
Dari Ibnu Abas, ia mengatakan, “Rasulullah saw. bersabda,
‘Barangsiapa yang salat empat rakaat setelah Magrib sebelum bicara, maka akan
diangkat di Illiyin dan ia seperti orang yang mendapat lailatul qadar di Masjid
Al-Aqsa, dan itu lebih baik daripada melakukan salat setengah malam.” H.r. Ad-Dailami, Kanzul Umal VII: 393
Hadis ini sangat lemah karena di dalam sanadnya terdapat jahalatur
rawi dan ke-munkar-an, sebagai mana dinyatakan oleh Al-Iraqi. (Nailul
Authar, III: 29)
Masih ada hadis lain yang menyatakan:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ
رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ صَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ بَعْدَ
الْمَغْرِبِ، كَانَ كَالْمُعَقِّبِ غَزْوَةً بَعْدَ غَزْوَةٍ». رواه الديلمي
Dari Ibnu Abas, ia mengatakan, “Rasulullah saw. bersabda,
‘Barangsiapa salat empat rakaat setelah Magrib maka ia
seperti orang yang selesai perang setelah satu perang fi sabilillah.” H.r. Ad-Dailami
Hadis ini pun sangat lemah karena di dalam sanadnya terdapat
seorang rawi yang bernama Musa bin Ubaidah Ar-Rabadzi, ia dinyatakan lemah
sekali (Nailul Authar, III: 59). Ada pula hadis yang lain:
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ:
كَانَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بَيْنَ المَغْرِبِ وَالعِشَاءِ
أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ. رواه ابن أبي شيبة
Dari Abdullah bin Masud, ia mengatakan, “Biasa Rasulullah saw.
salat antara Magrib dan Isya empat rakaat.” (H.R.
Ibnu Abi Syaibah dan Muhammad bin Nasr)
Hadis ini pun sangat da’if dan munqati karena di
dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Ma’n bin Abdurrahman bin Abdullah bin
Mas’ud, dari kakeknya. Padahal ia tidak bertemu dengan kakeknya itu. (Nailul
Authar, III: 59)
SALAT AWABIN ENAM RAKAAT:
Salat enam rakaat setelah Maghrib dengan tidak di antar oleh
omongan-omongan atau pembicaraan yang jelek di antara salat-salat tersebut.
Salat enam rakaat ba’da Magrib ini sebanding dengan ibadah selama dua belas
tahun. Diterangkan di dalam riwayat sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ،
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ صَلَّى
بَعْدَ الْمَغْرِبِ سِتَّ رَكَعَاتٍ لَمْ يَتَكَلَّمْ بَيْنَهُنَّ بِسُوءٍ
عَدَلَتْ لَهُ عِبَادَةَ اِثْنَتَيْ عَشْرَةَ سَنَةً. رواه الترمذي وابن ماجة
Dari Abu Huraerah r.a, ia mengatakan, “Telah bersabda Rasulullah
saw., ‘Barangsiapa yang melakukan salat ba’da Magrib enam rakaat, ia tidak
berbicara jelek di antara rakaat-rakaat itu, maka diseimbangkan untuknya ibadah
selama dua belas tahun.” (H.R. Ibnu Majah, Sunan Ibnu
Majah, III: 167, At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, I: 435)
Hadis ini sangat lemah karena di dalam sanad di atas terdapat dua
kelemahan:
Pertama: Terdapat seorang rawi bernama
Umar bin Abu Khas’am Al-Yamami, yang nama lengkapnya adalah Umar bin Abdullah
Abu Khas’am Al-Yamami.
v At-Tirmizi mengatakan dari Al-Bukhari, “Ia adalah seorang yang
hadisnya lemah, menghilangkan hadis, dan Al-Bukhari menyatakannya lemah
sekali.”
v Abu Ahmad bin Adi mengatakan, “Munkarul hadis, (bahkan) sebagian
hadisnya tidak mendukung hadisnya yang lain.” (Tahdzibul Kamal, XXI: 408, 409)
Kedua: Terdapat rawi yang bernama Abu
Umar Hafs bin Umar.
v Al-Hakim meriwayatkan dari Ad-Daraqutni bahwa Abu Umar adalah
seorang rawi yang lemah. (Mizanul I’tidal, I: 522)
v Az-Zahabi mengatakan di dalam riwayat hidup Abu Umar, “Ia
meriwayatkan dua hadis yang munkar dan hadis ini adalah salah satunya.”
(Silsilah, I: 482)
v Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Hadis-hadis yang dikemukakannya
diterimanya dari Yahya bin Kasir, munkar-munkar.”
v Ibnu Hibban mengatakan, “Ia meriwayatkan sesuatu yang palsu dari
guru-guru yang siqat, tidak halal menyebutnya kecuali dengan cara mencela.”
(Mizanul I’tidal, III: 194, dan Al-Ahadisid da’ifah wal maudu’ah, I: 481)
Selain riwayat Ibnu Majah di atas, masih ada periwayatan lain oleh
At-Tirmizi, masih dari sahabat Abu Huraerah dengan jalan sanad yang sama, yaitu
melalui Umar bin Khas’am dari Yahya bin Kasir. (Tuhfatul Ahwadzi, II: 510)
Kemudian selain hadis di atas masih ada periwayatan lain dari
sahabat Amr bin Yasir riwayat At-Tabrani dengan lafal sebagai berikut:
عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بَعْدَ الْمَغْرِبِ سِتَّ رَكَعَاتٍ وَقَالَ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ صَلَّى بَعْدَ الْمَغْرِبِ سِتَّ
رَكَعَاتٍ غُفِرَتْ لَهُ ذُنُوبُهُ وَلَوْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ». رواه
الطبراني
Dari Amr bin Yasir, bahwa ia melihat Nabi saw. salat setelah
Magrib enam rakaat, dan beliau bersabda, ‘Barangsiapa yang salat setelah Magrib
enam rakaat akan diampuni dosa-dosanya walaupun sebanding dengan buih air
lautan.” (H.r. At-Tabrani, Al-Mu’jamul Ausath, III: 41 no. 901)
Hadis ini sangat lemah karena di dalam sanadnya ada rawi Saleh bin
Qathan, dan ia meriwayatkannya seorang diri. Ibnul Jauzi mengatakan, “Di dalam
sanad hadisnya terdapat ke-majhul-an ke-majhul-an.” (Lihat pula Mazmauz Zawaid,
II: 233)
Dengan demikian hadis-hadis yang menerangkan anjuran salat enam
rakaat ba’da Magrib lemah-lemah, bahkan Ibnu Hibban, Ibnul Jauzi serta
Nasirudin Al-Albani telah mengelompokkannya ke dalam hadis maudu alias hadis
palsu. Maka melakukannya merupakan amal yang bid’ah. (Lihat pula
Tuhfatul Ahwadzi, II: 510-511)
SALAT AWABIN DUA BELAS RAKAAT:
عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ صَلَّى بَعْدَ
الْمَغْرِبِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً يَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ قُلْ هُوَ
اللَّهُ أَحَدٌ أَرْبَعِينَ, صَافَحَتْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ, ومَنْ صَافَحَتْهُ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ آمِنَ الصِّرَاطُ وَالْحِسَابُ وَالْمِيزَانُ».
Dari Anas bin Malik, ia mengatakan, “Rasulullah saw. telah
bersabda, ‘Barangsiapa salat setelah Magrib sebanyak dua belas rakaat, pada
setiap rakaat membaca qul huwallahu ahad empat puluh kali, maka (salat itu)
akan menjabat tangannya pada hari kiamat. Dan barangsiapa di salami oleh (salat
itu) ia pada hari kiamat akan aman pada sirat (mustaqim), hisaban dan
timbangan.”
Hadis ini sangat lemah bahkan Ibnul Jauzi mengatakan, “Tidak benar
hadis ini datang dari Rasulullah saw. dan di dalam (sanad) nya terdapat
rawi-rawi yang majhul.”
Pada untaian sanad hadis ini terdapat nama rawi Abana. Abana nama
lengkapnya adalah (Abana) bin Abi Ayyasy Al-Bishri.
v Ibnu Main mengatakan, “laisa haditsuhu bi syaiin (Hadis-nya
tidak teranggap).”
v Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Matrukul hadis
(Hadis-hadisnya ditinggalkan).”
v An-Nasai mengatakan, “Laa yuktabu hadisuhu (Hadis-hadisnya
tidak dicatat).” (Tahdzibut Tahzib, I: 96)
Selain rawi yang lemah di atas masih ada rawi lain yang lemah,
yaitu Ali bin Abdul Malik bin Abdi Rabbih At-Thaiy. Kata Khalf bin Khulaifah
dan yang lainnya, “Ia seorang yang munkarul hadis.” (Lisanul Mizan, IV:
66)
Selain itu masih ada hadis lain yang cukup panjang melalui jalan
periwayatan lain oleh At-Tabrani, tetapi hadisnya sangat lemah karena melalui
seorang rawi yang bernama Ahram bin Hausyab yang matruk (Majma’uz Zawa’id, II:
233)
Dengan demikian hadis-hadis tentang salat awabin yang dua belas
rakaat agar diberi keamanan pada sirathol mustaqim, hisab, dan timbangan hari
akhirat tidak ada yang layak dijadikan hujah. Karena hadis-hadisnya
sangat da’if.
SALAT AWABIN 20 RAKAAT:
Salat dua puluh rakaat antara Magrib dan Isya dilaksanakan dengan
harapan, bahwa melalui salat itu akan dibangunkan oleh Allah swt. sebuah
bangunan di Surga. Penulis tidak menemukan bagaimana kaifiyat salat tersebut,
karena hal ini sungguh bertentangan dengan keumuman syariat salat. Para ulama
pun tidak ada yang menerangkan bagaimana cara salatnya. Agar lebih jelas,
marilah kita perhatikan hadis di bawah ini:
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: "مَنْ صَلَّى
بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ عِشْرِينَ رَكْعَةً، بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا
فِي الْجَنَّةِ". رواه ابن ماجه
Dari Aisyah r.a, ia mengatakan, “Rasulullah saw. telah bersabda,
‘Barangsiapa yang melakukan salat dua puluh rakaat antara Magrib dan Isya, maka
Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di Surga’.” (H.r. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I: 437 dan Musnad Abu Ya’la,
VIII: 360, no. 4948)
Hadis ini sangat lemah, bahkan ada sementara ulama ahli hadis yang
menyatakannya sebagai hadis maudu (palsu). Di dalam sanad hadis ini
terdapat seorang rawi yang telah disepakati para ahli sebagai pendusta. Rawi
tersebut adalah Ya’qub bin Al-Walid Al-Madani.
Imam Ahmad mengatakan, “Ia diantara para pendusta, dan ia memalsu
hadis.” (Silsilah, I: 482)
KESIMPULAN:
v Hadis-hadis yang menyatakan adanya salat awabin semuanya
lemah-lemah, kecuali Awabin sebagai nama lain dari salat Dhuha.
v Hadis-hadis yang menerangkan bilangan rakaatnya, baik yang empat,
enam, dua belas, maupun dua puluh rakaat lemah-lemah, bahkan beberapa
diantaranya maudu. Dengan demikian salat Awabin (antara Magrib dan Isya) tidak
benar datang dari Nabi saw.
SALAT AWABIN YANG SUNAH NABI SAW.:
Setelah dikaji lebih mendalam ternyata terdapat hadis yang
menerangkan salat awabin, yaitu salat Dhuha. Salat Dhuha disebut juga salat
awabin oleh Rasulullah saw. selanjutnya marilah kita perhatikan hadis yang
sahih tersebut:
عَنْ زَيْدِ بْنِ
أَرْقَمَ، قَالَ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى
أَهْلِ قُبَاءٍ وَهُمْ يُصَلُّونَ، فَقَالَ: «صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ إِذَا
رَمَضَتِ الْفِصَالُ».
Dari Zaid bin Arqam, ia berkata, “Rasulullah saw. keluar menemui
penduduk Quba sedangkan mereka sedang salat. Maka Rasulullah saw. bersabda,
‘Shalat awwabin, yaitu apabila anak unta mulai berteduh karena kepanasan.” H.r. Musnad Ahmad bin Hanbal, II: 375, no. 7586, Muslim, II: 171
no 1781, Sahih Ibnu Hiban, VI: 280, no. 2539, Sahih Ibnu Khuzaimah, I: 403, no.
1457, Al-Hakim, III: 204, no. 1130, As-Sunan Al-Kubra lil Baihaqi, III: 49
Di dalam hadis lain dijelaskan sebagai berikut:
عَنِ الْقَاسِمِ
الشَّيْبَانِىِّ أَنَّ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ مِنَ
الضُّحَى فَقَالَ أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلاَةَ فِى غَيْرِ هَذِهِ
السَّاعَةِ أَفْضَلُ. إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ «صَلاَةُ
الأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ».
Dari Al-Qasim Asy-Syaibani bahwasannya Zaid bin Arqam melihat
suatu kaum sedang melakukan salat dari waktu Dhuha. Ia berkata, ‘Bukankah
kalian sudah tahu bahwa salat pada waktu selain ini lebih utama? Sesungguhnya
Rasulullah saw. telah bersabda, ‘Salat awabin ialah ketika anak unta mulai
berteduh karena kepanasan (waktu Dhuha)’.”
H.r. Muslim, Sahih Muslim, II: 171, no. 1780
Demikian pula dalam riwayat lainnya dijelaskan sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا يُحَافِظُ عَلَى صَلَاةِ الضُّحَى إِلَّا
أَوَّابٌ". قَالَ: "وَهِيَ صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ".
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Tidak
memelihara salat Dhuha selain Awwab (Hamba yang senantiasa kembali kepada Allah
swt. dengan taubat). Beliau bersabda, ‘Itulah salat Awwabin’.” H.r. Al-Hakim, Al-Mustadrak alas sahihain, III: 204, no. 1130.
Salat yang dikerjakan ketika matahari mulai naik itu tentu saja
salat Dhuha. Dan banyak sekali hadis-hadis mengenai salat Dhuha ini yang sahih.
Maka salat awabin yang merupakan sunah Nabi adalah salat Dhuha.
SUMBER PENULISAN: Shalat-Shalat Bid’ah Telaah
Kritis atas Hadis-Hadis Karya K.H. Wawan Shofwan Shalehuddin Hal 31-48
KESIMPULAN:
Persatuan
Islam (Persis) adalah organisasi Islam di Indonesia yang dikenal dengan
pendekatan rasional dan berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah yang sahih.
Dalam pandangan Persis, Shalat Awwabin sering dianggap sebagai bid'ah karena
beberapa alasan berikut:
Pandangan
Persis tentang Shalat Awwabin
1.
Kurangnya Dalil
yang Kuat: Persis sangat berhati-hati dalam menerima
amalan ibadah yang tidak memiliki dasar dalil yang kuat dan shahih. Dalil-dalil
yang mendukung Shalat Awwabin dianggap tidak cukup kuat atau shahih oleh
Persis, sehingga amalan ini tidak diakui sebagai bagian dari sunnah yang
diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
2.
Tidak
Disebutkan dalam Sumber-Sumber Primer: Shalat Awwabin
tidak secara eksplisit disebutkan dalam sumber-sumber hadis utama seperti
Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Persis lebih cenderung berpegang pada
hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab utama yang diakui otoritasnya.
3.
Prinsip Menjaga
Kemurnian Ibadah: Persis sangat menekankan pentingnya menjaga
kemurnian ibadah dan menghindari praktek-praktek yang tidak diajarkan oleh Nabi
Muhammad SAW. Menambah-nambah amalan ibadah yang tidak memiliki landasan kuat
dianggap berisiko jatuh ke dalam bid'ah.
Dalam
pandangan Persis, Shalat Awwabin dianggap sebagai bid'ah karena tidak memiliki
dalil yang kuat dan tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu,
Persis menganjurkan umat Islam untuk fokus pada ibadah yang memiliki dasar yang
jelas dalam Al-Qur'an dan sunnah yang shahih.
Namun,
seperti halnya perbedaan pendapat di kalangan ulama lainnya, penting untuk
saling menghormati pandangan yang berbeda dan berusaha untuk memahami
dasar-dasar argumentasi yang digunakan oleh masing-masing pihak.
APA YANG DIMAKSUD SALAT AWABIN? MUNGKIN
KITA PERNAH MENDENGAR DARI SEBAGIAN ORANG YANG MENYEBUTNYA, NAMUN BARANGKALI
BELUM TAHU MAKSUDNYA. SHALAT AWWABIN BISA DITUJUKAN PADA DUA MAKSUD:
PERTAMA: SHALAT AWWABIN ADALAH
SHALAT DHUHA.
KEDUA: SHALAT AWWABIN ADALAH SHALAT
SUNNAH EMPAT RAKAAT, ENAM RAKA’AT, DUA BELAS RAKAAT ATAU DUA PULUH RAKAAT
SETELAH MAGHRIB.
KESIMPULANNYA, SHALAT AWWABIN ADALAH SHALAT DHUHA. BISA JUGA SHALAT AWWABIN DIMAKSUDKAN UNTUK SHALAT SUNNAH ANTARA MAGHRIB DAN ISYA MENURUT SEBAGIAN ULAMA. KALAU MEMBICARAKAN DENGAN JUMLAH RAKA’AT TERTENTU (SEPERTI EMPAT RAKAAT, ENAM RAKA’AT, DUA BELAS RAKAAT ATAU DUA PULUH RAKAAT), HADITSNYA LEMAH.
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan