TERCELANYA SIFAT BAKHIL


بسم الله الرحمن الرحيم
“TERCELANYA KEBAKHILAN”
Oleh: Tito Irawan S.Ag
وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (180)
Dan janganlah orang-orang yang bakhil dengan apa yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka, padahal kebakhilan itu buruk bagi mereka. Apa yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan di leher mereka pada hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah warisan langit dan bumi, dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. Q.s. Ali-Imran: 180

TAFSIR MUFRADAT:
اَلْبُخْلُ adalah menahan sesuatu yang dimiliki dari yang wajib untuk dikeluarkan. Sebalik dari bakhil adalah اَلْجُوْدُ dermawan. Bakhil ada dua macam, bakhil dengan miliknya sendiri dan bakhil dengan milik orang lain. Yang kedua ini lebih tercela. Firman Allah swt. “Yaitu orang-orang yang bakhil dan menyuruh orang lain berbuat bakhil…” (Q.s. An-Nisa: 37). (Ar-Raghib: 35, Al-Qurthubi, IV: 292)

طَوْقُ asal maknanya adalah sesuatu yang dikalungkan di leher, apakah itu jadi dengan sendirinya seperti طَوْقُ الْحَمَامِ merpati berkalung/burung puter, atau sengaja dibuat seperti kalung dari emas dan perak. (Ar-Raghib: 320)

TAFSIR AYAT:
Pada ayat sebelumnya, Allah swt. mendorong kaum mukminin untuk berjihad fisabilillah dengan mengorbankan jiwa mereka, dan ia menjanjikan kepada mereka kemuliaan abadi di akhirat. Pada ayat ini kaum mukminin didorong untuk berkorban dengan harta mereka di jalan-Nya, karena harta merupakan belahan jiwa, dan Ia mencela mereka yang membakhilkan hartanya.

Orang-orang yang bakhil janganlah menyangka bahwa kebakhilan mereka itu akan bermanfaat bagi mereka, justru malah sebaliknya kebakhilan mereka itu akan bermanfaat bagi mereka, justru malah sebaliknya kebakhilan mereka itu akan berakibat jelek bagi agama dan dunia mereka.

Yang dimaksud bakhil dengan karunia Allah adalah bakhil dalam mengeluarkan zakat, dan hal lain yang penting dan mendesak diperlukannya pengorbanan harta. Sedangkan orang yang menikmati harta miliknya yang dipergunakan untuk mencukupi segala kebutuhan hidupnya dengan tidak berlebih-lebihan, tidaklah dinamakan bakhil dengan karunia Allah walau itu pun menahannya tidak dikeluarkan bagi yang lain.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-: مَنْ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ مُثِّلَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاع أَقْرَعَ لَهُ زَبِيبَتَانِ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، ثُمَّ يَأْخُذُ بِلِهْزِمَتَيْهِ -يَعْنِى شِدْقَيْهِ- ثُمَّ يَقُولُ: أَنَا مَالُكَ أَنَا كَنْزُكَ، ثُمَّ تَلاَ هَذِهِ الآيَةَ (لاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ سَيُطَوَّقُونُ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ). رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
Dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Siapa yang oleh Allah diberi harta tetapi ia tidak mengeluarkan zakatnya, maka pada hari kiamat harta itu berupa ular berkepala dua yang dikalungkan di lehernya. Lalu kedua mulutnya berkata, ‘Saya adalah hartamu, saya adalah timbunanmu.’ Kemudian beliau membacakan ayat ini.” H.r. Al-Bukhari

Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud “Apa yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan di leher mereka pada hari kiamat” hanyalah berupa kiasan akan tetapnya dosa dan siksa bagi mereka dan tidak ada jalan untuk menyelamatkan diri.

Pendapat sebagian ulama ini telah membalikkan makna hakiki ke makna majazi (kiasan), padahal pembahasan pokok pada ayat ini adalah makna hakiki. Dan Nabi saw. menafsirkan ayat di atas dengan makna hakiki.

Segala sesuatu yang dimiliki oleh manusia pada hakekatnya adalah milik Allah yang sedang dititipkan kepadanya. Hartanya, anak, keluarga, bahkan dirinya pun adalah amanah dari Allah dan nanti di akhirat akan diminta pertanggungjawaban mengenai semua amanah itu.

Setiap orang yang dilahirkan, siapa pun dia tidak membawa apa-apa. Begitu pun di waktu meninggal tanpa membawa apapun, hanya amalan yang terus membarenginya.

Ketika ia hidup, Allah swt. menitipkan berbagai macam amanah di antaranya berupa harta yang harus ia tunaikan sebaik-baiknya. Dari mulai, mencari, menerima, mempertahankan, sampai mempergunakannya tidak akan lepas dari pertanyaan yang akan dipertanggungjawabkannya di akhirat.

Dan jika seseorang meninggal, maka segala hak miliknya akan kembali kepada si pemilik. Yang hakiki yaitu Allah swt. dan kemudian Allah swt. lah yang menetapkan siapa saja yang berhak menerima bagian waris dari harta yang ditinggalkan si mati. Dan harta yang diwariskan tidak akan menjadi kebaikan bagi si mati, walaupun diinfakkan di jalan Allah oleh ahli warisnya.
Oleh karena itu makna ayat di atas mengisyaratkan perintah berinfak dan menjauhi kebakhilan sebelum datangnya kematian, karena setelah harta menjadi waris tidak akan memberi manfaat selain kesalehan yang pernah dilakukan dengan harta itu. Dan Allah-lah yang Maha Mengetahui niat seseorang yang beramal dengan hartanya.

Oleh: Faqih Aulia LITKA PC Pemuda Persis Batununggal Kota Bandung.

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama