HUKUM MERAYAKAN HUT RI

بسم الله الرحمن الرحيم 
“HUKUM MERAYAKAN HUT RI”
Oleh: Faqih Aulia (14.3887 & 06.62)

MUQADDIMAH:

Memperingati merupakan hal yang lumrah terjadi yang dilakukan masyarakat. Ditinjau dari sisi waktu ada memperingati bisa berupa harian, mingguan, bulanan atau bahkan satu abad dan seterusnya. Ditinjau dari sisi konteks memperingati hari, maka ada kalanya yang diperingati itu terkait dengan ritual ibadah misalnya seperti natalan, wafatnya Isa al Masih dan lainnya. Ada pula peringatan hari yang berkaitan dengan kejadian tertentu misalnya hari kesaktian Pancasila, hari buruh, hari guru dan lainnya.

Pada kasus perayaan yang terkait dengan ritual ibadah telah ada putusan sidang dewan hisbah yang mengharamkannya. Persoalan muncul bagaimana dengan peringatan hari dalam perkara muamalah, apakah hal tersebut merupakan peringatan yang dilarang atau yang dibolehkan. Jika dibolehkan apa Batasan-batasannya. Demikian beberapa persoalan yang mesti dijawab tentang hukum memperingati hari tertentu di luar ritual keagamaan.

Dewan Hisbah Persatuan Islam mengadakan sidang Lengkap I di Pesantren Persatuan Islam 50 Ciputri, Lembang, Bandung Barat, hari Selasa tanggal 03 Dzul Qa’dah 1444 H/23 Mei 2023 M untuk membahas masalah tersebut. Judul makalah “Hukum Memperingati Hari Tertentu di Luar Ritual Keagamaan” yang disampaikan oleh Ustadz Wawan Shofwan Shalehuddin.

PEMBAHASAN:
Memperingati hari tertentu termasuk urusan muamalah yang hukum asalnya boleh sesuai dengan kaidah istishab.

أَلْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُّلَ الدَّلِيْلُ عَلَى عَدَمِ الْإِبَاحَةِ.
“Hukum asal segala sesuatu adalah mubah (boleh) sampai ada dalil yang menunjukkan ketidakbolehannya.”

Secara sederhana memperingati hari tertentu ada yang ritual keagamaan dan non ritual keagamaan. Ritual maksudnya berkaitan dengan aqidah dan ibadah tertentu sebagai bentuk keyakinan dan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Yang Maha Kuasa agar diberi kebaikan atau agar dilindungi dari dari mara bahaya yang ingin dihindari. Aqidah adalah keimanan dan keyakinan yang mengikat kuat serta kepercayaan akan adanya hal-hal gaib tanpa keraguan padanya. Maka apabila aqidah itu sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan al-Sunah sering disebut aqidah islamiyyah atau aqidah salimah yang bersumber dari tauhidullah. Tetapi apabila bertentangan atau tidak sejalan dengan tuntunan Al-Quran dan Al-Sunah, maka aqidah itu sering disebut dengan aqidah syirkiyyah, aqidah dhalalah atau aqidah radzilah (rendah dan hina).

Umpamanya pelaksanaan ‘Idul Adha, ‘Idul Fitri, dan ibadah Jum’ah adalah di antara contoh-contoh ritual umat Islam yang tentunya di dalamnya sarat dengan unsur aqidah dan ibadah mahdhah berupa keyakinan adanya pahala dan pengampunan dosa dari Allah swt. dilengkapi dengan ritual-ritual seperti takbiran, mandi, salat, khutbah, dan lain-lain sesuai tuntunan Alquran dan Al-Sunah. Maka ketika datang tambahan-tambahan keyakinan dan praktek-praktek di luar tuntunan al-Quran dan Al-Sunah, maka keyakinannya dihukumi syirik dan ibadahnya dihukumi bid’ah.

Keyakinan akan adanya penjaga gunung yang gaib dan agar penjaga gunung itu tidak marah, maka dilakukanlah ritual dengan permintaan-permintaan tertentu diiringi suguhan-suguhan tertentu. Demikian pula dengan keyakinan akan hal gaib seperti yang dilakukan oleh musyrikin jahiliyyah yang menyembelih di hadapan patung Hubal diiringi dengan penyembelihan unta atau sapi, walaupun selanjutnya daging itu disedekahkan kepada masyarakat miskin.

Di Indonesia sungguh sangat banyak perayaan hari tertentu baik yang bersifat ritual maupun non ritual; Perayaan yang bersifat ritual umpamanya hari natal bagi pemeluk agama katolik, waisak bagi umat budha, nyepi pada umat hindu, imlek pada agama khonghuchu, dan lainnya. Sedangkan yang bersifat non ritual seperti memperingati hari guru (20 November), hari buruh (1 Mei), hari ibu (22 November), hari tani (24 September), hari kartini (21 April), hari pahlawan (10 November), hari kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustus), hari pramuka (22 Februari), hari pendidikan nasional (22 Mei), dan lain-lain. 
Bahkan pada setiap bulannya perayaan hari tertentu non ritual ini tidak kurang dari puluhan hari-hari yang dirayakan dan tentunya akan lebih luas dan banyak lagi jika melihat peringat/perayaan secara internasional diperingati.

Kepercayaan dengan perayaan yang bersifat ritual tentunya muncul dari aqidah yang mengikatnya. Hal ini identik dengan keimanan atau I’tiqadiyyah dan keyakinan akan sesuatu yang gaib. Kepercayaan seperti ini akan melahirkan ritual-ritual tertentu yang bersifat ibadah dengan niat, aturan, dan cara tertentu atau ta’abbudiyah mahdhiyyah. Adapun perayaan non ritual berawal dari keperluan yang bersifat kelembagaan atau kemasyarakatan. Jelas hal ini menunjukkan hanya berkaitan denga keperluaan keduniaan, budaya, dan kegiatan muamalah yang tidak terkait dengan aqidah dan ibadah.

Terdapat dalil yang melarang memperingati hari tertentu dengan batasan sebagai berikut:

PERTAMA: Tidak Mengandung Unsur Syirik.

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا…
Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun… (Q.S. An-Nisa {4}: 36)

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذلِكَ لِمَنْ يَشاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرى إِثْماً عَظِيماً (48) 
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena menyekutukan-Nya (Syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa menyekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar. (Q.S. An-Nisa {4}: 48)

KEDUA: Tidak Mengandung Unsur Bid’ah.

عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ، فِي خُطْبَتِهِ يَحْمَدُ اللَّهَ، وَيُثْنِي عَلَيْهِ بِمَا هُوَ لَهُ أَهْلٌ، ثُمَّ يَقُولُ: مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصَدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ، وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
Dari Jabir bin Abdillah dia berkata: “Apabila Rasulullah saw. berkhutbah, maka beliau memuji dan menyanjung Allah dengan hal-hal yang menjadi hak-Nya, kemudian bersabda: ‘Barang siapa telah diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Barang siapa telah disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang bisa memberikan petunjuk kepadanya. Sebenar-benar perkataan adalah kitabullah (Al-Qur’an), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad saw., dan sejelek-jelek perkara adalah hal-hal yang baru, setiap hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan di dalam neraka’.” (NASAI - 1560)     

KETIGA: Tidak Mengandung Unsur Pengkultusan.

لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ.
“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku seperti orang-orang Nashrani memuji kepada Nabi Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hamba Allah, maka panggilah aku hamba Allah dan rasul-Nya.” (HR. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, IV: 204, No. 3445)

KEEMPAT: Tidak Mengandung yang Menjadi Ciri Khas Kemaksiatan.

«أَرْبَعٌ فِى أُمَّتِى مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِى الأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِى الأَنْسَابِ وَالاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ». وَقَالَ «النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ».
“Empat hal terdapat pada umatku yang termasuk perbuatan jahiliyyah yang sulit untuk ditinggalkan: Membangga-banggakan kebesaran leluhur, mencela keturunan, mengaitkan turunnya hujan kepada bintang tertentu, dan meratapi mayit.” Lalu beliau bersabda: “Orang yang melakukan niyahah apabila mati sebelum ia bertaubat, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dan ia dikenakan pakaian yang berlumuran dengan cairan tembaga, serta mantel yang bercampur dengan penyakit gatal.” (HR. Muslim, Shahih Muslim, III: 45, No. 2203).

KELIMA: Mengandung Ciri Khas Ritual Keagamaan Orang Kafir.

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ.
“Kalian pasti akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta hingga seandainya mereka menempuh (masuk) ke dalam lubang biawak kalian pasti akan mengikutinya.” Kami bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah yang engkau maksud Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab: “Siapa lagi (kalau bukan mereka).” (HR. al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, IV: 206, No. 3456, Muslim, Sahih Muslim, VIII: 57: 6952, dan yang lainnya)

Di samping itu, terdapat hadis yang larangan tasyabuh terhadap orang kafir.

«مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ».
“Rasulullah Saw. telah bersabda, “Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia dari golongan mereka.” (HR. Abu Daud, Sunan Abi Dawud, VI: 144, 4031).

Dari berbagai pembahasan dalam persidangan serta mempertimbangkan berbagai argumentasi, maka Dewan Hisbah berkesimpulan:

1. Hukum asal memperingati hari tertentu non ritual keagamaan adalah mubah.

2. Memperingati hari tertentu non ritual keagamaan yang mengandung unsur kesyirikan, bid’ah, pengkultusan, ciri khas kemaksiatan dan ciri khas ritual keagamaan kaum kafir hukumnya haram.

3. Memperingati hari tertentu non ritual keagamaan yang dapat mengantarkan kepada tasyabbuh yang haram hukumnya haram. 

ISTIFTA:
Bagaimana hukumnya merayakan HUT RI di sekolah/ pesantren persis? (Eden-Bandung Barat). 

Jawaban:
Merayakan HUT RI seolah sudah menjadi hal yang lumrah di kalangan masyarakat baik perorangan atau lembaga seperti kantor-kantor, sekolah atau bahkan pesantren Persis.

Terkait memperingati hari tertentu yang non ritual keagamaan, Dewan Hisbah pada sidang terakhirnya di tahun 2023 telah menetapkan bahwa hukumnya mubah, dan perayaan HUT RI termasuk memperingati satu perayaan non ritual keagamaan yang di dalamnya tidak ada unsur tasyabbuh dengan orang kafir dan tasyabbuh terhadap ciri khas kemaksiatan.

Putusan ini berdasarkan firman Allah sebagai berikut:

وَذَكِّرْهُمْ بِأَيَّامِ اللَّهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ 
Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah". Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur. Q.s. Ibrahim [14]: 5.

Dan dengan kaidah fiqhiyyah: 

الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيلُ عَلَى عَدَمِ الْإِبَاحَةِ.
"Hukum asal segala sesuatu adalah mubah (boleh) sampai ada dalil yang menunjukkan ketidakbolehannya."

Yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah bagaimana jika perayaan tersebut diperingati oleh suatu lembaga bahkan seperti pesantren Persis. Terkait hal ini kami berpandangan bahwa perayaan HUT RI yang sifatnya non ritual keagamaan tidak berubah hukumnya bahkan ketika diperingati oleh lembaga sekalipun. Hanya memang terkait dengan sesuatu yang sifatnya perayaan seolah dirasa hal yang tabu ketika diperingati oleh lingkungan yang dasarnya sekolah/pesantren Persis. 

Kendatipun demikian hal tersebut tidak mengubah hukum pokok akan ibahah-nya memperingati perayaan HUT RI yang sifatnya non ritual keagamaan. 

Dengan pertimbangan tersebut kami berkesimpulan bahwa hukum merayakan HUT RI di sekolah/pesantren Persis hukumnya mubah. (Istifta September 2023) 

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama