BERSABAR DAN SHALATLAH, ALLAH
TA’ALA PUN AKAN MERINGANKAN BEBANMU
TAFSIR SURAT AL-BAQARAH, AYAT 45-46
A. TAFSIR IBNU KATSIR
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ
ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ. الَّذِينَ يَظُنُّونَ
أَنَّهُم مُّلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ.
Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Dan
sesungguhnya yang demikian itu amat berat, kecuali bagi orang-orang yang
khusyuk, (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan
bahwa mereka akan kembali kepada-Nya. (Qs. Al-Baqarah
[2]: 45-46)
Allah Swt. berfirman seraya memerintahkan hamba-hamba-Nya
agar mereka dapat meraih kebaikan dunia dan akhirat yang mereka dambakan, yaitu
menjadikan sabar dan salat sebagai sarananya. Demikian yang dikatakan oleh
Muqatil Ibnu Hayyan dalam tafsir ayat ini, yaitu: "Minta tolonglah kalian
untuk memperoleh kebaikan akhirat dengan cara menjadikan sabar dalam
mengerjakan amal-amal fardu dan salat sebagai sarananya."
Pengertian sabar menurut suatu pendapat yang dimaksud
adalah puasa, menurut apa yang di-na.s-kan oleh Mujahid. Al-Qurtubi dan
lain-lainnya mengatakan, karena itulah maka bulan Ramadan dinamakan "bulan
sabar", seperti yang disebutkan oleh salah satu hadis.
Sufyan M-Sauri meriwayatkan dari Abu Ishaq, dari Jaryu
ibnu Kulaib, dari seorang lelaki Bani Tamim, dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw.
pemah bersabda: Puasa adalah separo dari kesabaran.
Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan sabar ialah
menahan diri terhadap perbuatan-perbuatan maksiat. Karena itu, dalam ayat ini
dibarengi dengan menunaikan amal-amal ibadah; dan amal ibadah yang paling
tinggi ialah salat.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada
kami Ubay, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Hamzah ibnu Ismail,
telah menceritakan kepada kami ishaq ibnu Sulaiman, dari Abu Sinan, dari Umar
ibnul Khattab r.a. yang mengatakan bahwa sabar itu ada dua macam, yaitu sabar
di saat musibah; hal ini baik. Dan yang lebih baik daripada itu ialah sabar
terhadap hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Hal yang seminal diriwayatkan dari
Al-Hasan AlBasri dengan perkataan Umar r.a.
Ibnul Mubarak meriwayatkan dari Ibnu Luhai'ah, dari Malik
ibSa'ad ibnu Jubair yang mengatakan, "Sabar itu merupakan pengakuan seorang
hamba kepada Allah bahwa musibah yang menimpanya itu dari Allah dengan
mengharapkan rida Allah dan pahala yang ada di sisi-Nya. Adakalanya seseorang
mengeluh, padahal is tetap tegar dan tak terlihat darinya kecuali hanya sabar
belaka."
Abul Aliyah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Jadikanlah
sabar dan salat sebagai penolong kalian. (Al-Baqarah: 45)
Yang dimaksud dengan sabar ialah dalam melakukan hal-hal
yang diridai oleh Allah, dan ketahuilah bahwa salat itu merupakan amal taat
kepada Allah.
Mengenai firman-Nya, "Was salati (dan
salat)," karena sesungguhnya salat merupakan penolong yang paling
besar untuk memperteguh diri dalam melakukan suatu perkara, seperti yang
diungkapkan oleh ayat lainnya, yaitu firman-Nya: Bacalah apa yang telah
diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur'an), dan dirikanlah salat.
Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.
Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya
daripada ibadah-ibadah yang lain). (Al-Ankabut: 45)
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami
Khalaf ibnul Walid, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Zakaria ibnu Abu
Zaidah, dari Ikrimah ibnu Ammar, dari Muhammad ibnu Abdullah Ad-Du-ali yang
menceritakan bahwa Abdul Aziz (saudara Huiaifah) mengatakan bahwa Hudzaifah
ibnul Yaman r.a. pernah mengatakan: Rasulullah Saw. bila mengalami suatu
perkara (cobaan), maka beliau selalu salat.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, dari Muhammad
ibnu Isa, dari Yahya ibnu Zakaria, dari Ikrimah ibnu Ammar, seperti yang akan
disebutkan nanti.
Ibnu Jarir meriwayatkan melalui hadis Ibnu Juraij, dari
Ikrimah ibnu Ammar, dari Muhammad ibnu Abu Ubaid ibnu Abu Qudamah, dari Abdul
Aziz ibnul Yaman, dari Huaifah yang menceritakan: Rasulullah Saw. bila
mengalami suatu perkara, maka beliau bersegera melakukan salat. Sebagian
dari mereka meriwayatkan hadis ini dari Abdul Aziz —anak saudara lelaki
Huiaifah, dan dikatakan saudara Huiaifah— secara mursal dari
Nabi Saw.
Muhammad ibnu Nasr Al-Marwazi meriwayatkan di dalam
Kitabus Salat, telah menceritakan kepada kami Sahl ibnu Utsman Al-Askari, telah
menceritakan kepada kami Yahya ibnu Zakaria ibnu Abu Zaidah yang mengatakan
bahwa Ikrimah ibnu Ammar, Muhammad ibnu Abdullah Ad-Du-ali, dan Abdul Aziz
semuanya menceritakan bahwa Hudzaifah telah menceritakan hadis berikut:
Aku kembali kepada Nabi Saw. pada malam (Perang) Ahzab,
sedangkan Nabi Saw. ketika itu menyelimuti dirinya dengan jubah tebal
dalam keadaan melakukan salat. Dan beliau bila menghadapi suatu perkara (besar)
selalu salat.
Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Mu'ai, telah
menceritakan kepada kami Ubay, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abu
Ishaq yang pemah mendengar dari Hariqah ibnu Mudarrib, bahwa is pemah mendengar
sahabat Ali r.a. menceritakan hadis berikut: Sesungguhnya aku di malam
Perang Badar melihat kami semua (pasukan kaum muslim) tiada seorang pun
melainkan tertidur kecuali Rasulullah Saw. yang selalu salat dan berdoa hingga
subuh.
Ibnu Jarir mengatakan, telah diriwayatkan dari Rasulullah
Saw. bahwa beliau bersua dengan Abu Hurairah yang sedang tengkurap di atas
perutnya, lalu beliau bersabda, "Apakah perutmu sakit?" Abu Hurairah
menjawab, "Ya." Maka Nabi Saw. bersabda: Berdirilah dan salatlah,
karena sesungguhnya salat itu adalah penawar (obat penyembuh).
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnul Fadl dan Ya'qub ibnu Ibrahim; keduanya mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Uyaynah
ibnu Abdur Rahman, dari ayahnya, bahwa Ibnu Abbas mendapat berita belasungkawa
atas kematian saudaranya yang bemama Qasim, sedangkan ketika itu ia dalam suatu
perjalanan. Maka ia mengucapkan kalimah istirja' ( innaa lilaahi wa
innaa ilaihi raaji'uun) kemudian menjauh dari jalan dan mengistirahatkan unta
kendaraannya, lalu salat dua rakaat. Dalam salatnya itu ia melakukan duduk
dalam waktu yang cukup lama, kemudian bangkit dan berjalan menuju unta
kendaraannya, lalu membacakan firman-Nya: Jadikanlah sabar dan salat sebagai
penolong kalian. Dan sesungguhnya yang demikian itu amat berat, kecuali bagi
orangorang yang khusyuk. (Al-Baqarah: 45)
Sunaid telah mengatakan dari Hajjaj, dari Ibnu Juraij,
mengenai firman Nya: Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolong kalian.
(Al-Baqarah: 45)
Kedua hal tersebut merupakan sarana untuk memperoleh
rahmat Allah, sedangkan damir yang terkandung di dalam firman-Nya, "Innahaa
lakabiiran," kembali kepada salat, yakni sesungguhnya salat itu
berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. Demikian yang di-naskan oleh
Mujahid dan dipilih oleh Ibnu Jarir.
Akan tetapi, dapat pula diinterpretasikan bahwa damir tersebut
kembali kepada apa yang ditunjukkan oleh konteks kalimat, yaitu wasiat akan hal
tersebut. Perihalnya sama dengan firman Allah Swt. dalam kisah Qarun, yaitu:
Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu,
"Kecelakaan yang besarlah bagi kalian, pahala Allah adalah lebih baik bagi
orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu,
kecuali oleh orang-orang yang sabar." (Al- Qasas: 80)
Demikian pula dalam firman Allah Swt.: Dan tidaklah
sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih
baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan
seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu
tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak
dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang
besar. (Fusilat: 34-35)
Maksudnya, tiada yang layak menerima wasiat ini kecuali
orangorang yang sabar, dan tiada yang dianugerahi dan diilhaminya kecuali
orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.
Berdasarkan kedua hipotesis tersebut, maka firman Allah
Swt. "Innaha lakabirah," artinya sesungguhnya hal itu benar-benar
merupakan masyaqat yang besar. "Illaa 'alal khaasyi' in," artinya
kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.
Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, yang
dimaksud dengan khasyi'in ialah orang-orang yang percaya kepada Al-Kitab yang
diturunkan oleh Allah Swt. Menunit Mujahid, artinya orangorang yang benar-benar
beriman. Menurut Abul Aliyah, arti kecuali bagi orang-orang yang khusyuk' ialah
orang-orang yang takut.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan, makna `Icecuali bagi
orangorang yang khusyuk' ialah orang-orang yang rendah.
Ad-Dahhak mengatakan, makna firman-Nya, "Innaha
lakabirah," ialah sesungguhnya hal tersebut benar-benar berat kecuali bagi
orangorang yang tunduk, patuh, taat kepada-Nya, takut kepada pembalasanNya,
serta percaya kepada janji dan ancaman-Nya. Pengertian yang terkandung di dalam
ayat ini mirip dengan apa yang disebutkan di dalam salah satu hadis, yaitu: Sesungguhnya
engkau telah menanyakan sesuatu yang berat, dan sesungguhnya hal itu
benar-benar mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah.
Ibnu Jarir mengatakan, makna ayat ialah 'hal para ulama
ahli kitab (Yahudi), jadikanlah sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah
dan sebagai penolong kalian; dirikanlah salat, mengingat salat dapat mencegah
diri dari perbuatan keji dan mungkar, mendekatkan diri kepada rida Allah, dan
berat dikerjakannya kecuali bagi orang-orang yang khusyuk, yaitu orang-orang
yang rendah diri, berpegang teguh kepada ketaatan, dan merasa hina karena takut
kepada-Nya. Demikian menurut Ibnu Jarir. Akan tetapi, menurut pengertian
lahiriah ayat, sekalipun sebagai suatu khitab dalam konteks peringatan yang
ditujukan kepada kaum Bani Israil, sesungguhnya khitab ini bukan hanya
ditujukan kepada mereka secara khusus, melainkan pengertiannya umum mencakup
pula selain rnereka.
Firman Allah Swt.:
الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلَاقُو
رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
(yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan
menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya. (AlBaqarah:
46)
Ayat ini merupakan kelengkapan dari makna yang terkandung
pada ayat sebelumnya yang menyatakan bahwa salat atau wasiat ini benarbenar
berat: kecuali bagi orang-orang yang khusyuk, yaitu orang-orang yang
meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya. (Al-Baqarah: 45-46) Artinya,
mereka meyakini bahwa mereka pasti dihimpun dan dihadapkan kepada-Nya di hari
kiamat kelak.
dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya. (Al-Baqarah:
46) Yakni semua urusan mereka kembali kepada kehendak-Nya. Dia memutuskannya
menurut apa yang dikehendaki-Nya dengan adil. Mengingat mereka percaya dan
yakin kepada adanya hari kemudian dan hari pembalasan, maka mudahlah bagi
mereka melakukan amal-amal ketaatan dan meninggalkan hal-hal yang mungkar.
Adapun mengenai firman-Nya: yang meyakini bahwa mereka
akan menemui Tuhannya. (Al-Baqarah: 46) Ibnu Jarir mengatakan bahwa
orang-orang Arab itu adakalanya menamakan dengan sebutan zan (dugaan),
dan syak (ragu) dengan sebutan zan pula.
Perihalnya sama dengan istilah zulmah (kegelapan) yang
adakalanya mereka sebut dengan istilah sidfah, dan diya (terang)
disebut pula sidfah; serta al-mugits (penolong)
disebut sarikh, dan mustagits (orang yang minta
tolong) disebut pula dengan istilah sarikh. Masih banyak contoh
lain yang serupa, yaitu isim-isim yang digunakan untuk nama sesuatu dan juga
sebagai nama lawannya, seperti yang dikatakan oleh Duraid ibnus Simmah:
Maka kukatakan kepada mereka bahwa mereka merasa yakin
akan kedatangan dua ribu personel pasukan yang bersenjata lengkap, orang-orang
yang berkecukupan dari kalangan pasukan berada dalam barisan pasukan berkuda
yang lengkap peralatannya.
Makna yang dimaksud ialah bahwa mereka merasa yakin
kalian akan kedatangan dua ribu personel pasukan yang bersenjatakan lengkap.
Umair ibnu Tariq mengatakan: Maka jika mereka
mengambil pelajaran dari kaumku, dan aku duduk di antara kalian, niscaya aku
jadikan suatu hal yang yakin sebagai perkara gaib yang tiada kenyataannya.
Yakni aku anggap perkara yang yakin sebagai perkara gaib
berdasarkan dugaan belaka. Ibnu Jarir mengatakan bahwa syawahid (buktibukti)
tersebut diambil dari syair-syair orang-orang Arab dan pembicaraan mereka. Hal
tersebut menunjukkan bahwa lafaz Zan (dugaan) banyak dipakai
di kalangan mereka untuk menunjukkan pengertian yakin dalam jumlah yang tak
terhitung banyaknya. Dan keterangan yang telah kami sebutkan di atas sudah
cukup bagi orang yang diberi taufik untuk memahaminya; di antaranya ada pula
firman Allah Swt.: Dan orang-orang yang berdosa melihat neraka, maka mereka
meyakini bahwa mereka akan jatuh ke dalamnya. (Al-Kahfi: 53)
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abu Asim,
telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Jabir, dari Mujahid, bahwa semua
lafaz zan yang ada di dalam Al-Qur'an menunjukkan makna yakin, misalnya zanantu
dan zannu (aku yakin dan mereka yakin). Telah menceritakan kepadaku
Al-Mutsanna, telah menceritakan kepada kami Ishaq, telah menceritakan kepada
kami Abu Daud Al-Jabari, dari Sufyan, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid yang
mengatakan bahwa semua lafaz zan di dalam Al-Qur'an menunjukkan makna ilmu
(pengetahuan/yakin). Sanad riwayat ini berpredikat sahih.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas,
dari Abul Aliyah, sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) orang-orang
yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya. (Al-Baqarah: 46)
Menurutnya, lafaz zan di sini menunjukkan makna yakin.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal dengan
perkataan Abul Aliyah telah diriwayatkan dari Mujahid, As-Saddi, Ar-Rabi' ibnu
Anas, dan Qatadah.
Sunaid meriwayatkan dari Hajjaj, dari ibnu Juraij,
mengenai makna firman-Nya: (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka
akan menemui Tuhannya. (Al-Baqarah: 46)
Yakni mereka yakin bahwa mereka pasti akan menemui Tuhan
mereka. Perihalnya sama dengan makna yang terdapat pada ayat lain, yaitu
firman-Nya: Sesungguhnya aku yakin bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab
terhadap diriku. (Al-Haaqqah: 20) Maksudnya, dia merasa yakin akan hal
tersebut. Hal yang sama dikatakan pula oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam.
Menurut kami, di dalam kitab sahih disebutkan sebuah
hadis yang mengatakan bahwa di hari kiamat kelak Allah Swt. berfirman kepada
seorang hamba: "Bukankah Aku telah mengawinkanmu, bukankah Aku telah
memuliakanmu, bukankah Aku telah menundukkan bagimu kuda dan unta, dan Aku
biarkan kamu memimpin dan berkuasa?" Hamba itu berkata, "Memang
benar." Allah Swt. berfirman, "Apakah engkau meyakini bahwa engkau
akan menemui-Ku?" Hamba tersebut menjawab, "Tidak." Maka Allah
berfirman, "Pada hari ini Aku melupakanmu seperti kamu dahulu
melupakan-Ku."
Pembahasan ini akan diketengahkan dengan panjang lebar,
insya Allah, dalam membahas tafsir firman-Nya: Mereka telah lupa kepada Allah,
maka Allah melupakan mereka. (At-Taubah: 67). (Tafsir Ibnu Katsir)
B. TAFSIR AL-MARAGHI
1.
PENAFSIRAN
KATA-KATA SULIT
- Al-Birru البر : luasnya kebaikan. Dikatakan pula al-baru
البر
dan al-bariyyatu البرية
artinya daratan yang luas.
- As-Sabru الصَّبْر
: mengekang jiwa terhadap apa yang dibenci.
Atau menahan diri ketika tertimpa sesuatu yang tidak diinginkan dengan hati
rela dan tawakal.
- Kabiratun كبيرة : sangat berat dirasakan.
- Al-Khāsyiina الخَشِعِينَ
: orang-orang yang takut hatinya dan tenang anggota badannya ketika melakukan
salat, menghadap kepada Allah.
- Yazunnuna يَطْتُونَ
: orang-orang yang menduga.
Liqaaillaahi لقاء الله
: bertemunya dengan Allah, besok di hari
ketika manusia digiring ke hadapan-Nya.
Ar-Ruju الرجوع
: kembali kepada Allah - terkadang akan menerima pahala, dan terkadang akan menerima
siksa.
2. PENGERTIAN UMUM
Khitab pada ayat ini ditujukan kepada Bani Israil
sebagaimana ayat- ayat sebelumnya. Di sini Allah mengecam orang-orang yang
bersikap menyimpang dan selalu mengarah pada kerusakan. Kemudian Allah swt.
memberi petunjuk kepada mereka agar beranjak dari kesesatan yang membingungkan
mereka. Sebab, kaum Yahudi mengaku dirinya sebagai kaum beriman kepada kitab
mereka sendiri dan mengamalkan serta me melihara melalui kitab-kitab tersebut.
Tetapi mereka tidaklah serius di da- lam mempelajarinya. Jika mereka serius
dalam mempelajari kitab mereka, pasti akan beriman kepada kitab-kitab yang
diturunkan kepada mereka. Itulah bacaan yang mendapat rida Allah swt. namun
keadaannya justru terbalik. Para pendeta dan rahiblah yang dianggap oleh mereka
sebagai pemutus segala perkara melarang ataupun memerintah dan para rahib itu
sama sekali tidak pernah mengatakan segala sesuatu kecuali sesuai dengan selera
mereka. Mereka pun tidak mengamalkan hukum- hukum yang terkandung di dalam
kitab, jika hukum itu bertentangan de- ngan kemauan nafsu mereka.
Dalam Kitab
Perjanjian Lama disebutkan tentang sifat-sifat Nabi Mu- hammad saw. Dikatakan
bahwa akan hadir dari kalangailatesifat Nabi Mu (kaum Yahudi) seorang nabi yang
akan menegakkagan keluarga mereka Kitab Ulangan Pasal 18, ayat (17) Lalu
berkatalah Tuhan kepadaku: Apa yang dikatakan mereka itu baik; (18) seorang
nabi akan Kubangkitkan bagi mereka dari antara saudara mereka, seperti engkau
Kubangkitkan menaruh firman-Ku dalam mulutnya, dan ia akan mengatakan kepada
mereka segala yang Kuperintahkan kepadanya. (19) Orang yang tidak mendengarkan
segala firman-Ku yang akan diucapkan nabi itu demi nama- Ku, daripadanya akan
Kutuntut pertanggungjawaban.
Kemudian,
berita gembira tersebut pengertiannya diubah oleh para pendeta dan rahib.
Kemudian ditakwilkan sesuai dengan selera mereka.
Mereka
mempunyai upacara-upacara ritual yang bertujuan untuk mengingatkan mereka agar
mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang di- limpahkan kepada mereka. Hal itu juga
untuk memberikan dorongan mereka agar lebih aktif dalam menegakkan agama dan
mengamalkannya. Namun bersamaan dengan berjalannya waktu, hati mereka semakin
keras sehingga keluar dari nilai-nilai keagamaan, kebenaran dan petunjuk. Kini,
para pendeta hanya berpegang pada prinsip-prinsip keduniaan yang diikuti oleh
para pengikutnya, terutama sekali dari kalangan awam. Sama sekali mereka tidak
menghayati upacara ritual mereka di dalam kehidupannya.
Kemudian,
mengenai permasalahan lain yang dianggap tidak berarti bagi kepentingan hidup,
mereka berusaha menakwilkan suatu pengertian bahkan jika diperlukan diadakan
perubahan, sehingga tidak berten- tangan dengan kehendak nafsu mereka.
3. PENJELASAN
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ
أَنْفُسَكُمْ.
Khitab pada ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang
mempunyai kitab, yakni para rahib dan pendeta. Ada sebuah riwayat yang
diceritakan oleh Ibnu Abbas, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan
rahib-rahib Yahudi Madinah. Mereka memerintahkan kepada orang-orang yang me-
reka beri nasihat secara rahasia agar beriman kepada Nabi Muhammad saw. Tetapi
mereka sendiri tidak pernah beriman.
Imam As-Suddi
mengatakan, "Mereka memerintahkan orang-orang agar taat kepada Allah swt.
dan melarang berbuat maksiat. Sedangkan mereka sendiri melakukan apa yang
mereka larang."
Yang dimaksud
lupa di sini ialah meninggalkan. Hal ini karena tabiat manuang dima tidak akan
melupakan hal yang baik atau bermanfaat untuk dirinya. Dalam hal ini, mereka
tidak akan mau didahului oleh orang lain untuk mendapatkannya. Di dalam ayat
ini sengaja diungkapkan dengan perkataan lupa dengan tujuan mubalagah. Sebab,
mereka sudah tidak memperhatikan sama sekali terhadap apa yang seharusnya
mereka kerja- kan dengan segera. Jadi, seakan-akan ayat tersebut mengatakan,
"Jika kalian yakin terhadap janji kitab atas hal-hal yang baik, dan
ancaman- ancamannya jika ditinggalkan, mengapa kalian melupakan diri
kalian?"
Jelas, uslub
seperti ini mengandung nilai celaan sangat tajam karena seseorang yang tidak
konsekuen dengan apa yang dikatakan, maka hal tersebut akan menjadi bumerang
bagi dirinya sendiri.
وَانْتُمْ تَتْلُونَ
الْكِتَابَ
Kalian lebih mengetahui kitab yang kalian pegang
dibanding orang- orang yang kalian perintah agar mengikuti jejak Muhammad.
Adalah sangat berbeda, antara orang-orang yang berbuat tetapi tidak mengetahui
faedahnya, dengan orang yang tidak mengerjakan tetapi mengetahui keisti
mewaan-keistimewaan hal yang tidak dikerjakan tersebut.
أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Apakah kalian tidak mempunyai akal lagi sehingga kalian
tidak bisa dikendalikan di dalam melakukan perbuatan yang mengundang bahaya?
Sebab, orang yang mempunyai akal sekalipun tingkat kecerdasannya tidak seberapa
ia takkan mengaku dirinya telah menguasai atau mem- punyai ilmu kitab secara
sempurna, kemudian ia menyeru kepada umat manusia untuk mengikuti hidayah dan
menjelaskan kepada mereka bahwa kebahagiaan akan selalu bersamanya selama
mengikuti petunjuk Al-Qur'an, tetapi ia tidak mengamalkan dan tidak
meninggalkan apa yang mereka yakini sebagai larangan.
Khitab yang
terkandung di dalam ayat ini sekalipun pada asalnya ditujukan kepada kaum
Yahudi juga merupakan contoh bagi siapa pun. Hendaknya setiap umat
memperhatikan ibarat yang terdapat di dalam ayat ini. Kemudian berhati-hati di
dalam bertindak, jangan sampai melakukan perbuatan yang dilakukan kaum Yahudi
jika berbuat seperti kaum Yahudi, maka akan mendapat siksa yang sama. Hal ini
karena pembalasan Allah itu didasarkan pada keyakinan hati dan perbuatan fisik.
Jadi, bukan karena jenis bangsa atau individu tertentu. Ringkasnya, siapa pun
yang berbuat melanggar, tentu akan menerima balasan setimpal dari Allah swt.
4. MEMOHON PERTOLONGAN DENGAN CARA SABAR DAN MENDIRIKAN
SALAT
Setelah menjelaskan perbuatan kaum Yahudi karena akal
tidak me- reka manfaatkan dan kitab tidak bisa mengingatkan mereka akanika
Allah mengajak mereka ke jalan yang baik, yakni memohon pertolongan dengan cara
sabar dan mendirikan salat. Untuk itu Allah berfirman:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلوة
Hakikat sabar itu terletak pada mengingat janji Allah
yang akan memberi pahala kepada siapa saja yang sabar dari
kesenangan-kesenangan yang diharamkan yang diinginkan oleh hawa nafsunya. Juga
mau meng- amalkan berbagai bentuk ketaatan yang dirasakan sangat berat bagi
diri- nya, dan mau merenungkan bahwa setiap musibah yang menimpa dirinya atau
orang lain adalah takdir Allah. Karenanya, sikap sabar ini memerlu- kan
ketaatan dan kepatuhan kepada perintah Allah. Kemudian memohon pertolongan
dalam menghadapi berbagai musibah melalui sabar, yaitu dengan cara mengikuti
perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan- larangan-Nya, dengan mengekang
hawa nafsu dari larangan-larangan tersebut. Bisa juga memohon pertolongan
melalui salat. Sebab, salat me- ngandung hikmah yang besar, yakni dapat
mencegah seseorang dari per- buatan mungkar dan keji. Disamping itu, orang yang
mendirikan salat akan merasa dekat di hadapan Allah dan selalu dalam
pengawasan-Nya, baik lahir maupun batin. Lebih-lebih jika yang dilakukan adalah
salat fardu (wajib) yang biasa dilakukan umat Islam sebanyak lima kali dalam
sehari.
Dalam hal ini, Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadis dari
Ra- sulullah saw. yang menceritakan bahwa jika beliau tertimpa sesuatu yang
mengejutkan, beliau melakukan salat.
Juga
diriwayatkan dari Abdullah ibnu Abbas, bahwa ia diberitahu tentang kematian
putrinya, sedang ketika itu ia dalam perjalanan. Men- dengar berita tersebut ia
mengucapkan istirja' (membaca Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji'ūn), kemudian ia
berhenti sebentar dan turun dari ken- daraannya, lalu mendirikan salat. Setelah
itu ia meneruskan perjalanan sambil membaca ayat: wasta înū biş-şabri
waş-şalāh.
وَإِنَّهَا الكبيرَةُ الأَ عَلَى
الْخَاشِعِين
Artinya, sesungguhnya salat itu terasa amat berat kecuali
bagi orang- orang yang takut kepada siksaan Allah. Salat dirasakan tidak berat
bagi mereka yang melakukan dengan penuh munajat kepada Allah swt. Se- hingga
salat tidak dirasakan sebagai perbuatan yang melelahkan.
Karenanya,
Rasulullah saw. bersabda:
وَقُرَةٌ عَيْنِي فِي
الصَّلَاةِ.
"Hatiku merasa tenteram bila sedang salat."
Hal ini karena
ketika beliau sibuk dengan salat, hatinya terasa ten teraHal ini karenakan
kesibukan selain salat, yakni kesibukan duniawi, dirasakan oleh beliau sangat
berat.
Lebih-lebih,
mereka selalu memperhatikan tabungan pahala yang akan diterima kelak di akhirat
sebagai imbalan atas amal salatnya. Sehingga tugas salat itu sendiri semakin
kelihatan ringan. Karenanya, pernah dikata. kan kepada Ar-Rabi ibnu Khaisam
yang melakukan salat sangat lama, "Anda telah membuat capai diri
sendiri." Ia menjawab, "Aku mengharap ketenangan dalam salat."
Dikatakan lagi kepadanya, "Siapa pun yang me ngetahui apa kehendak
dirinya, maka baginya akan mudah melaksanakan yang ia upayakan. Dan siapa pun
yang yakin atas balasan yang akan di terimanya, maka jelas ia akan semangat di
dalam melaksanakannya."
Kemudian Allah
menjelaskan sifat orang-orang yang khusyuk. Sifat- sifat itu sekaligus dapat
mendekatkan diri kepada Allah, disamping akan melahirkan sikap taat dan tunduk
kepada-Nya.
الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَا
قُوا رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
Maksudnya, salat itu dirasakan tidak berat bagi
orang-orang yang khusyuk. Yaitu orang-orang yang meyakini akan bertemu dengan
Tuhan-nya kelak di hari perhitungan. Mereka pun sadar akan kembali kepada Allah
setelah dibangkitkan, kemudian diberi balasan setimpal sesuai de ngan perbuatan
selama di dunia.
Penggunaan kata
zan (menyangka menduga) dalam ayat ini merupakan sindiran kepada orang yang
menyangka akan melihat pahala atas jerih payahnya di dalam salat, maka ia akan
merasa mudah di dalam melaksanakannya. Karenanya, ungkapan yang dipakai di
dalam ayat ini digunakan kata-kata zan, sehingga kecaman itu tampak lebih
pedas. Jadi, seakan-akan para rahib Yahudi yang memerintahkan orang-orang agar
ber- buat kebajikan tetapi melupakan dirinya berarti iman mereka terhadap kitab
yang ada padanya tidaklah sampai kepada derajat zan yang bisa menuntun mereka
agar lebih hati-hati dalam beramal. Wallahu A’lam.
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan