ZAKAT ZIRO'AH, RIKAZ DAN MA’ADIN HINGGA PERHIASAN

ZAKAT ZIRO'AH, RIKAZ DAN MA’ADIN HINGGA PERHIASAN

TAKSIRAN ZAKAT

عَنْ سَهْلِ بْنِ أَبِي حَثْمَةَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: أَمَرَنَا رَسُولُ اَللَّهِ { إِذَا خَرَصْتُمْ, فَخُذُوا, وَدَعُوا اَلثُّلُثَ, فَإِنْ لَمْ تَدَعُوا اَلثُّلُثَ, فَدَعُوا اَلرُّبُعَ } رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ إِلَّا اِبْنَ مَاجَهْ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِم ُ

Dari sahl bin Abi Hatsmah ra. berkata, "Rasulullah shallallahu Alaihi wa sallam memerintahkan kami seraya bersabda, "Jika kalian menaksir [suatu barangl maka ambillah dan tinggalkanlah sepertiga, jika kalian tidak meninggalkan sepertiga maka tinggalkanlah seperempat." (HR. AlKhamsah, kecuali Ibnu Majah. Ibnu Hibban dan Al-Hakim menshahihkannya)

Hadis di atas dla’if. (Dla’if at-Tirmidzi, 643).

 

Ø  Syarah al-Hadits

"lika kalian menaksir fsuatu barang] maka ambillah dan tinggalkanlah sepertiga (untuk pemilik harta), jika kalian tidak meninggalkan sepertiga maka tinggalkanlah seperempat. "

Ibnu Al-Qaththan menjelaskan bahwa di dalam sanadnya terdapat perawi yang majhul. Namun Al-Hakim mengatakan bahwa hadits ini diperkuat oleh hadits yang telah disepakati keshahihannya, "Bahwa umar memerintahkannya untuk melakukan hal tersebut. " Kelihatannya yang ia maksud ialah apa yang telah diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah dan Abu Ubaidah, "Bahwasannya Umar Radhiyallahu Anhu berkata kepada tukang taksir -barang dagangan-, "Tinggalkan bagi mereka sejumlah kira-kira yang mereka makan dan yang berjatuhan."

Ibnu Abdul Barr meriwayatkan secara marfu' "Ringankanlah dalam menaksir, karena sesungguhnya pada harta tersebut terdapat bagian pinjaman, yang berjatuhan dan yang dimakan."

Para ulama berbeda pendapat dalam memahami hadits ini dalam dua golongan:

Pendapat pertama; Ditinggalkan sepertiga atau seperempat dari sepersepuluh.

Pendapat kedua; Ditinggalkan sepertiga atau seperempat dari total hasil sebelum dibagi menjadi sepuluh bagian.

Asy-Syafi’i berkata, "Maksud hadits tersebut ialah hendaklah ditinggalkan atau disisakan sepertiga atau seperempat dari zakat, agar pemilik harta tersebut membagikannya kepada para kerabat dan tetangganya.

Ada yang mengatakan bahwa hendaklah disisakan bagi orang tersebut dan keluarganya sekedar untuk makan.

Di dalam Asy-Syarh disebutkan, yang lebih utama hendaklah kembali kepada apa yang telah dijelaskan dalam hadits Jabir, yaitu meringankan taksiran, maka disisakan sepertiga atau seperempat dari sepersepuluh' Karena jumlah yang disisakan terkadang akan berjatuhan sebelum masa panen/ sehingga ia tidak wajib untuk dizakati.

Ibnu Taimiyah berkata, "Sesungguhnya hadits ini sejalan dengan kaidah-kaidah syariat dan keutamaannya, ia sangat sesuai dengan hadits yang berbunyi,

لَيْسَ فِيْ الخَضْرَوَاتِ صَدَقَةٌ.

"Tidak ada kewajiban zakat pada sayur-mayur."

Karena telah menjadi adat kebiasaan bahwa jika hasil tanaman tersebut telah siap dipanen, pemilik beserta keluarganya akan memakannya dan akan memberikan sebagian dari hasilnya kepada orang-orang, sehingga bagian yang telah dimakan dan diberikan tersebut bukan disimpan maupun tersisa, sehingga bagian tersebut seperti sayur-mayur yang tidak bisa disimpan. Dengan begitu jelaslah bahwa adat kebiasaan tersebut hukumnya seperti hal yang tidak mungkin ditinggalkan, karena hati orang tersebut ingin memakan buah itu dalam kondisi segar, dan ia harus memberi orang-orang yang berada di sekitarnya, karena meninggalkan hal tersebut akan menyakitkan hati dan memberatkannya."

 

ZAKAT SETELAH DIKERINGKAN

عَنْ عَتَّابِ بنِ أُسَيْدٍ ( قَالَ: أَمَرَ رَسُولُ اَللَّهِ ( { أَنْ يُخْرَصَ اَلْعِنَبُ كَمَا يُخْرَصُ اَلنَّخْلُ, وَتُؤْخَذَ زَكَاتُهُ زَبِيبًا } رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَفِيهِ اِنْقِطَاع ٌ

Dari Attab bin Usaid ra. berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan agar anggur ditaksir sebagaimana kurma, lalu zakatnya diambil setelah menjadi kismis (anggur kering)." (HR. Al-Khamsah, di dalam sanadnya ada yang putus)

Hadis di atas dla’if, Dla’if Abu Dawud, 1603.

 

Ø  Syarah al-Hadits

"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan agar anggur ditaksir sebagaimana kurma, Ialu zakatnya diambil setelah menjadi kismis." (HR. Al-Khamsah, di dalam sanadnya ada yang putus) karena Sa'id bin Musayyab meriwayatkannya dari Attab, dan Abu Dawud telah berkata, "Sa'id bin Musayyab belum pernah mendengarkan dari Attab." Abu Hatim berkata, "Riwayat melalui Sa'id yang benar ialah, "Bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan Attab." secara mursal. An-Nawawi berkata, "seandainya hadits tersebut mursal, namun ia didukung oleh perkataan para imam."

Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan wajibnya menaksir buah kurma dan anggur, karena perawi menggunakan lafazh "memerintahkan". Hal itu menunjukkan bahwa Rasulullah ShaIIaIIahu Alaihi wa Sallam berbicara dengan kalimat perintah, dan makna asli perintah ialah wajib. Berdasarkan hal di atas Asy-Syafi'i berpendapat bahwa hukum menaksir kurma dan anggur adalah wajib.

Al-Hadawiyah berpendapat bahwa hukumnya mandub -sunnah-. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa hukumnya haram, karena menaksir [anggur dan kurma] adalah tindakan mengira-ngira sesuatu yang belum jelas.

Bantahan atas pendapat Abu Hanifah, ialah bahwa taksiran tersebut berdasarkan sebuah dugaan kuat, dan penggunaan dugaan kuat diakui oleh syariat.

Untuk menaksir seperti ini cukup satu orang yang adil, sedangkan ucapan orang fasik tidak bisa diterima oleh orang yang mengetahui, dan orang yang tidak mempunyai ilmu tentang sesuatu maka ia tidak punya hak untuk berijtihad dalam masalah tersebut.

Alasan yang lain; bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah mengutus Abdullah bin Rawahah sendirian untuk menaksir harta orang-orang Khaibar, dan dalam posisi ini, seorang penaksir bertindak seperti seorang hakim, yang berijtihad dan bertindak sesuai dengan ijtihad tersebut.

Akan tetapi jika hasil tanaman yang telah ditaksir tertimpa keburukan -seperti hama-, maka dalam hal ini Ibnu Abdil Barr berkata, "Seluruh ulama telah bersepakat bahwa jika tanaman tersebut terkena bencana sebelum masa panen maka tidak ada jaminan -pemilik tidak dituntut untuk bertanggung jawab-."

Dalam penaksiran tersebut ada beberapa manfaat, di antaranya adalah:

1)       Untuk menjaga agar pemilik harta tidak berkhianat. Oleh karena itu, jika ia mengklaim adanya penurunan jumlah dari hasil taksiran yang telah dilaksanakan terdahulu, maka ia harus menunjukkan bukti atau penguat yang lainnya.

2)      Untuk mengetahui dengan jelas berapa hak orang-orang fakir dalam harta tersebut.

3)      Petugas bisa dengan mudah menarik jumlah zakat dengan jelas -saat telah panen-.

4)      Pemilik harta bisa tahu berapa bagian yang bebas ia makan dan lain sebagainya.

Teks hadits di atas hanya menjelaskan penaksiran kurma dan anggur saja. Dalam hal ini ada yang berpendapat bahwa tanaman yang lain yang mungkin bisa diketahui jumlahnya maka ia dianalogikan kepada kurma dan anggur. Ada yang mengatakan bahwa cara ini hanya berlaku pada kurma dan anggur saja, karena tidak ada nash yang menjelaskan hal tersebut, dan ini yang kelihatannya lebih logis. Al-Hadawiyah dan As-Syafi'iyah berpendapat bahwa penaksiran tidak bisa dilakukan pada tanaman -yang hasilnya tertutupi oleh kulit karena tidak mungkin mengetahui perkiraan jumlahnya dengan baik karena ia tertutup oleh kulit tersebut. Oleh karena itu, dalam hal ini jika pemilik tanaman mengklaim adanya penurunan hasil dari jumlah taksiran, maka ia harus memberikan bukti atau cukup dengan bersumpah.

Bentuk atau cara penaksiran itu dapat dilakukan dengan cara mengelilingi pohon tersebut dan melihat semua buahnya, lalu berkata, "Taksiran -jumlah-nya sekian jika kurma dalam keadaan segar dan setelah kering menjadi sekian."

 

ZAKAT PERHIASAN EMAS

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ, عَنْ أَبِيهِ, عَنْ جَدِّهِ; { أَنَّ اِمْرَأَةً أَتَتِ اَلنَّبِيَّ ( وَمَعَهَا اِبْنَةٌ لَهَا, وَفِي يَدِ اِبْنَتِهَا مِسْكَتَانِ مِنْ ذَهَبٍ, فَقَالَ لَهَا: "أَتُعْطِينَ زَكَاةَ هَذَا?" قَالَتْ: لَا. قَالَ: "أَيَسُرُّكِ أَنْ يُسَوِّرَكِ اَللَّهُ بِهِمَا يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ سِوَارَيْنِ مِنْ نَارٍ?". فَأَلْقَتْهُمَا. } رَوَاهُ اَلثَّلَاثَةُ, وَإِسْنَادُهُ قَوِيّ ٌ. - وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ: مِنْ حَدِيثِ عَائِشَة َ

Dari Amr bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya bahwasanya seorang wanita telah mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersama anak perempuannya, dan di tangan anak tersebut terdapat dua gelang emas, kemudian Nabi Shallallaahu Alaihi wa Sallam bertanya kepadanya, "Apakah engkau telah membayar zakat atas kedua barang tersebut?" Wanita tersebut menjawab, "Tidak." Beliau bersabda, "Apakah engkau suka jika pada hari kiamat nanti Allah akan mengenakan dua gelang dari api padanya?" Maka wanita tersebut melemparkan kedua gelang tersebut." (HR. Ats-Tsalatsah, sanadnya kuat. Al-Hakim menshahihkannya dari riwayat Aisyah)

Hadis di atas hasan, Shahih Abi Dawud, 1563.

 

Ø  Syarah al-Hadits

"Dari Amr bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya bahwasanya seorang wanita (ia adalah Asma' binti Yazid bin As-Sakan) telah mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersama anak perempuannya dan di tangan anak tersebut terdapat dua gelang emas, kemudian Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bertanya kepadanya, "Apakah engkau telah membayar zakat atas kedua barang tersebut?" Wanita tersebut meniawab, "Tidak." Beliau bersabda, "Apakah engkau suka jika pada harikiamat nanti Allah akan mengenakan dua gelang dari api padanya?" Maka wanita tersebut melemparkan kedua gelang tersebut." (HR. Ats-Tsalatsah, sanadnya kuat. Abu Dawud meriwayatkannya dari Husain Al-Mu'allim, dengan demikian ucapan AtTirmidzi, "Saya tidak mengetahuinya kecuali dari Ibnu Luhai'ah", tidak benar. AI-Hakim menshahihkannya dari riwayat Aisyah. hadits Asiyah yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dan perawi yang lain ialah,

"Bahwasanya ia mendatangi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau melihat di tangannya terdapat cincin-cincin terbuat dari perak, lalu beliau bertanya, "Apa ini, wahai Aisyah?" Ia menjawab, "Aku yang telah membuatnya sebagai hiasan di hadapanmu, wahai Rasulullah." Beliau bertanya, "Apakah engkau telah mengeluarkan zakatnya?" Ia menjawab, "Belum." Beliau bersabda, "Cincin-cincin tersebut akan menjadikan atasmu sebagian dari api neraka." Sanadnya memenuhi syarat Al-Bukhari dan Muslim. (Hr. al-Hakim, al-Mustadrak, I/548)

Hadits ini menegaskan wajibnya zakat pada perhiasan. Secara zhahir, hadits ini tidak menjelaskan adanya nisab, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk membersihkan -menyucikan- perhiasan-perhiasan tersebut dengan membayarkan zakat, yang biasanya tidak mencapai 5 uqiyah.

Dalam masalah ini terdapat empat pendapat:

1)       Wajibnya zakat pada perhiasan, berdasarkan hadits di atas. Demikian menurut madzhab Al-Hadawiyah dan beberapa ulama salaf, serta salah satu pendapat Asy-Syafi'i.

2)      Tidak ada kewajiban zakat pada perhiasannya berdasarkan beberapa atsar yang diriwayatkan dari para salaf yang menjelaskan pendapat ini. Demikian menurut madzhab Malik, Ahmad dan salah satu pendapat Asy-Syafi'i. Namun jika hadits di atas telah jelas keshahihannya, maka atsar-atsar tersebut tidak berguna lagi.

3)      Bentuk zakat perhiasan dengan cara meminjamkannya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni dari Anas dan Asma' binti Abu Bakar. Hr. ad-Daraquthni, 2/109.

4)      Kewajiban zakatnya hanya sekali saja, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Anas. Hr. al-Baihaqi, 4/138.

Pendapat yang paling jelas dalilnya ialah pendapat pertama, karena hadits di atas shahih dan kuat. Sedangkan nisabnya, menurut mereka yang mewajibkannya ialah nisab emas dan perak, walaupun sebenarnya hadits di atas tidak menjelaskannya, kelihatannya mereka membatasi hadits ini dengan hadits-hadits yang berkenaan dari zakat emas dan perak. Hukum wajib ini diperkuat oleh hadits berikut ini.

 

SAAT PERHIASAN MENJADI KANZUN

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا; أَنَّهَا كَانَتْ تَلْبَسُ أَوْضَاحًا مِنْ ذَهَبٍ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! أَكَنْزٌ هُوَ? فَـقَالَ: "إِذَا أَدَّيْتِ زَكَاتَهُ, فَلَيْسَ بِكَنْزٍ". رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ .

Dari Ummi Salamah ra. bahwaasanya ia memakai perhiasan dari emas, lalu ia bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah ini termasuk kanzun -harta simpanan-?" Maka beliau Saw. bersabda, "lika engkau telah mengeluarkan zakatnya, maka ia tidak termasuk kanzun." (HR. Abu Dawud dan Ad-Daraquthni. Al-Hakim mensahihkannya.

Hadis di atas hasan, Shahih Abi Dawud, 1564.

 

Ø  Syarah al-Hadits

"Dari Ummi Salamah bahwasanya ia memakai perhiasan dari emas, lalu ia bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah ini termasuk kanzun -harta simpanan?- (apakah ia termasuk di dalam ayat, "Dan orang-orang yang menyimpan emas..." tQS. At-Taubah: 34)" Maka beliau bersabda, “Jika engkau telah mengeluarkan zakatnya maka ia tidak termasuk kanzun." (HR. Abu Dawud dan Ad-Daraquthni. Al-Hakim mensahihkannya.)

Hadits ini dengan jelas menegaskan adanya kewajiban zakat pada perhiasan, dan juga menjelaskan bahwa setiap harta yang telah dikeluarkan zakatnya maka tidak termasuk kanzuru sehingga ia tidak termasuk barang yang mendapat ancaman ayat di atas.

 

ZAKAT BARANG DAGANGAN

عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ ( قَالَ: { كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ ( يَأْمُرُنَا; أَنْ نُخْرِجَ اَلصَّدَقَةَ مِنَ اَلَّذِي نَعُدُّهُ لِلْبَيْعِ. } رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَإِسْنَادُهُ لَيِّن ٌ

Dari Samurah bin Jundab ra., ia berkata, "Rasulullah shallallahu Alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat dari barang-barang dagangan." (HR. Abu Dawud, sanadnya layyin -lemah-)

Hadis di atas dla’if, Dla’if Abu Dawud, 1562.

 

Ø  Syarah al-Hadits

"Dari samurah bin lundab berkata, "Bahwasanya Rasulullah shallallahu Alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat dari barang-barang dagangan." (HR. Abu Daud, sanadnya layyin, Iemah) (karena ia berasal dari riwayat sulaiman bin samurah, ia adalah perawi majhul -tidak diketahui-. Ad-Daraquthni dan Al-Bazzar meriwayatkan hadits ini darinya juga).

Hadits ini menjelaskan kewajiban zakat pada barang dagangan. Hukum ini didukung oleh firman Allah Ta'ala, "...Nafkahkanlah (di lalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik...." (Qs. Al-Baqarah: 267) Mujahid berkata, “Ayat ini turun pada barang dagangan.” Al-Hakim meriwayatkan.

فِيْ الإِبِلِ صَدَقَتُهَا وَفِيْ البَقَرِ صَدَقَتُهَا وَفِيْ الغَنَمِ صَدَقَتُهَا وَفِيْ البَزِّ صَدَقَتُهَا.

"Pada unta ada zakatnya, pada sapi ada zakatnya, pada kambing ada zakatnya dan pada pakaian baz ada zakatnya." Hr. Al-Mustadrak, 1/545.

Demikian pula yang telah dijelaskan oleh Ad-Daraquthni dan Al-Baihaqi.

Ibnu Al-Mundzir berkata, "Ijma atas wajibnya zakat barang dagangan telah disepakati oleh tujuh ulama fikih yang mewajibkannya/ namun orang yang menolaknya tidak dihukumi kafir karena masih adanya perbedaan pendapat dalam masalah tersebut."

 

ZAKAT RIKAZ [1]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ { أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ قَالَ: "وَفِي اَلرِّكَازِ: اَلْخُمُسُ". } مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Dan pada rikaz [harta terpendam di dalam bumil dikeluarkan -zakat- seperlima." (Muttafaq Alaih)

Hadis di atas shahih, Al-Bukhari, 2355 dan Muslim, 1710.

 

Ø  Syarah al-Hadits

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwasannya Nabi shallallaahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Dan pada rikaz (harta terpendam yang pengambilannya tidak memerlukan banyak usaha) dikeluarkan -zakat seperlima."

Para ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan hakikat rikaz [harta terpendam] di atas. Malik dan Asy-Syafi'i berpendapat bahwa yang dimaksud adalah harta karun yang terpendam di dalam tanah yang berasal dari masa jahiliyah. Sedangkan Al-Hadawiyah dan Al-Hanafiyah berpendapat bahwa yang dimaksud adalah barang tambang.

Sedangkan dalam barang tambang, Malik dan Asy-Syafi'i berpendapat bahwa dikeluarkan darinya zakat seperti tanaman.

Pendapat Malik dan Asy-Syafi'i dikuatkan oleh hadits,

اَلْعَجْمَاءُ جُبَارٌ وَالمَعْدِنُ جُبَارٌ وَفِيْ الرِّكَازِ الخُمُسُ.

"(Kerusakan yang diakibatkan oleh) hewan ternak tidak dijamin, (kecelakaan akibat kerja di lokasi) penambangan tidak diiamin, dan pada harta rikaz dikeluarkan -zakat- seperlima." (HR. Al-Bukhari, 1499)

Zhahir hadits ini mengisyaratkan bahwa rlkaz di atas bukanlah barang tambang.

Kemudian Asy-Syafi'i mengkhususkan barang tambang yang harus dizakati ialah emas dan perak saja, berdasarkan hadits riwayat Al-Baihaqi, bahwasanya mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah rlkaz itu? Beliau menjawab,

اَلذَّهَبُ وَالفِضَّةُ الَّتِيْ خُلِقَتْ فِيْ الأَرْضِ يَوْمَ خُلِقَتْ.

"Yaitu emas dan perak yang telah diciptakan di dalam bumi pada saat bumi diciptakan." (Hr. al-Baihaqi, 4/152)

Namun ada yang mengatakan bahwa penjelasan ini riwayatnya dhaif.

Dalam emas dan perak di atas, Asy-Syafi'i, Malik dan Ahmad menetapkan adanya nisab, berdasarkan hadits, "Di bawah 5 uqiyah tidak wajib zakat. "

Dan darinya dikeluarkan zakat 2,5 % berdasarkan hadits, "Pada perak dikeluarkan 2,5 %,"

Hal ini berbeda dengan rikaz yang harus dikeluarkan darinya seperlima (20 %) tanpa dibatasi dengan nisab.

Hikmah dibedakannya antara rikaz dan barang tambang karena rikaz didapat lebih mudah, sedangkan barang tambang memerlukan banyak usaha untuk mendapatkannya.

Sedangkan Al-Hadawiyah berpendapat bahwa baik rikaz maupun barang tambang dikeluarkan zakat darinya 20 % tanpa dibatasi dengan nisab, sehingga kewajiban ini mencakup yang banyak maupun sedikit, tidak membedakan apakah ia didapatkan di daratan maupun di lautan dari dalam bumi maupun dari permukaan bumi. Ia mencakup timah, tembaga, besi, minyak bumi, garam, kayu bakar dan rumput.

Namun, sebenarnya yang jelas disebutkan di dalam nash hadits ialah emas dan perak, sedangkan yang lainnya tidak ada kewajiban zakat hingga ada dalil yang menerangkannya. Kemudian bahwa hal-hal yang disebutkan di atas terdapat pada zaman Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan tidak pernah diketahui bahwa Rasulullah mengambil 20 % dari barang-barang tersebut.

Dan tidak pernah diriwayatkan hadits tentang masalah itu kecuali hadits tentang rikaz yang jelas maksudnya ialah emas dan perak, sedangkan ayat, "Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang." (QS. Al-Anfal: 41) ia khusus menjelaskan hukum harta rampasan perang.

 

ZAKAT RIKAZ [2]

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ, عَنْ أَبِيهِ, عَنْ جَدِّهِ; { أَنَّ اَلنَّبِيَّ ( قَالَ -فِي كَنْزٍ وَجَدَهُ رَجُلٌ فِي خَرِبَةٍ-: "إِنْ وَجَدْتَهُ فِي قَرْيَةٍ مَسْكُونَةٍ, فَعَرِّفْهُ, وَإِنْ وَجَدْتَهُ فِي قَرْيَةٍ غَيْرِ مَسْكُونَةٍ, فَفِيهِ وَفِي اَلرِّكَازِ: اَلْخُمُسُ ". } أَخْرَجَهُ اِبْنُ مَاجَهْ بِإِسْنَادٍ حَسَن ٍ

Dari ‘Amr bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya ra., bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda pada harta simpanan yang ditemukan oleh salah seseorang di daerah yang telah rusak [akibat bencana atau reruntuhan], "lika engkau mendapatkannya di desa yang ditempati maka umumkanlah, dan jika engkau mendapatkannya di desa yang tidak ditempati maka padanya dan juga pada barang galian dikeluarkan -zakat- 20 %." (HR. Ibnu Majah dengan sanad hasan), dan penelusurannya melalui Ibnu Majah menunjukkan adanya keraguan, lihat talkhis al-Khabir (2/182).

Hadis di atas hasan.

 

Ø  Syarah al-Hadits

Lafazh “maka padanya dan juga pada barang galian dikeluarkan -zakat- 20 %”, menjelaskan bahwa barang tersebut telah menjadi hak milik orang yang menemukannya dan harus dikeluarkan zakatnya sebanyak 20%, dan syariat tidak menyebut barang yang ditemukan di desa sebagai barang galian -rikaz-, karena tidak mengeluarkannya dari dalam perut bumi namun kelihatannya ia menemukannya di atas permukaan bumi.

Oleh karena itu, Asy-Syafi'i dan orang-orang yang sependapat mensyaratkan pada harta karun dua hal; pertama, berasal dari zaman jahiliyah, dan yang kedua berada pada tanah mati -tidak dipelihara-.

Jika barang tersebut ditemukan di jalanan atau di masiid, maka disebut sebagai barang temuan -luqathah-, karena sebenamya barang tersebut milik kaum muslimin, namun tidak diketahui dengan tepat siapa pemiliknya. Sehingga selanjutnya disebut sebagai barang temuan.

Jika ia ditemukan di tanah seseorang maka ia adalah hak milik pemilik tanah, kecuali jika ia menjelaskan bahwa barang itu bukan miliknya. Jika ia mengatakan bahwa barang tersebut bukan miliknya maka ia adalah milik orang yang mewakilinya, dan demikian selanjutnya hingga orang terakhir yang mendapat bagian, yaitu orang yang menghidupkan tanah -memeliharanya-.

Semua pendapat Asy-Syafi'i ini berdasarkan hadits yang ia riwayatkan dari Amr bin Syu'aib dengan lafazh,

أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ فِي كَنْزٍ وَجَدَهُ رَجُلٌ فِي خَرِبَةٍ إِنْ وَجَدْتَهُ فِي قَرْيَةٍ مَسْكُونَةٍ فَعَرِّفْهُ وَإِنْ وَجَدْتَهُ فِي قَرْيَةٍ غَيْرِ مَسْكُونَةٍ فَفِيهِ وَفِي اَلرِّكَازِ اَلْخُمُسُ.

Bahwasanya Nabi shallallahu Alaihi wa sallam bersabda tentang harta yang ditemukan oleh seseorang di daerah rusak [karena bencanan atau reruntuhan] dari zaman jahiliyah, “lika engkau mendapatkannya di desa yang ditempati atau di jalanan mati maka umumkanlah, dan jika engkau mendapatkannya di daerah rusak sisa zaman jahiliyah atau di desa yang tidak ditempati maka padanya dan pada rikaz itu dikeluarkan -zakat- 20 %.” Musnad Asy-Syafi’i, Hlm. 96.

 

ZAKAT MA’ADIN

عَنْ بِلَالِ بْنِ اَلْحَارِثِ ( { أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ ( أَخَذَ مِنَ اَلْمَعَادِنِ اَلْقَبَلِيَّةِ اَلصَّدَقَةَ. } رَوَاهُ أَبُو دَاوُد َ.

Dari Bilal bin Al-Harits Radhiyallahu Anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengambil zakat dari barang tambang qabaliyah." (HR. Abu Dawud)

Hadis ini dla’if, Dla’if Abi Dawud, 3061.

Ø  Syarah al-Hadits

Bilal bin Al-Harits Al-Mazani, ia mendatangi Rasulullah shallallahu Alaihi wa Sallam pada tahun 5 H., dan pada waktu Fathu Makkah [penaklukan kota Mekah]. Ia adalah salah satu pembawa bendera suku Mazinah. Putranya Al-Harits meriwayatkan hadits darinya. Ia wafat pada tahun 60 H. pada umur 80 tahun.

“...Bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengambil zakat dari barang tambang qabaliyah (nama satu daerah). " (HR. Abu Dawud) (di dalam Al-Muwattha', riwayat ini berasal dari Rabi'ah dari beberapa gurunya, bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memberikan kepada Bilal bin Al-Harits barang tambang Qabaliyah, dan beliau mengambil zakat darinya, namun tidak mencapai 20 %. Al-Muwaththa’, hlm. 169-170.

Setelah meriwayatkan hadits Malik ini, Asy-Syafi'i berkomentar, "Bahwa hadits ini bukanlah hadits yang ditetapkan oleh ahli hadits, dan di dalam hadits tersebut tidak ada yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kecuali bahwa beliau memberikan barang tersebut kepada Bilal. Sedangkan zakat barang tambang kurang daril 20 % maka tidak berasal dari hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Al-Baihaqi berkomentar, "Memang, dalam riwayat Malik ini seperti apa yang dikatakan oleh Asy-Syafi'i."

Hadits ini menjelaskan kewajiban zakat pada barang tambang, yang bisa jadi ia sebanyak 20 %.

Dalam masalah ini Ahmad dan Ishaq berpendapat bahwa zakat tersebut kurang dari 20 %. Sedangkan ulama selain mereka berpendapat bahwa zakat tersebut sebesar 20 %, berdasarkan hadits, "dan pada rikaz dikeluarkan -zakat- 20 %." Walaupun ia mempunyai kemungkinan lain sebagaimana yang telah dijelaskan terdahulu. (ASH-SHAN’ANIY: SUBULUS SALAM SYARAH BULUGHUL MARAM MIN ADILLATIL-AHKAM) Wallahu A’lam.

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama