SUNNAH BIDAH QUNUT



SUNNAH DAN BID’AH IBADAH QUNUT

Qunut secara bahasa mempunyai arti taat, merendah diri karena Allah, berdiri lama dalam shalat dan berdoa. Ibadah ini dilakukan oleh Rasulullah saw untuk mendoakan kebaikan suatu kaum ataupun sebaliknya di rakaat terakhir setelah ruku’ pada shalat lima waktu (Fath al-Baari, II: 409). Dibawah ini akan dipaparkan mengenai sunnah dan bid’ah ibadah qunut sebagai ikhtiar menjawab dan meluruskan pengamalan ibadah qunut yang terjadi di tengah masyarakat, berikut pemaparannya.

Qunut Nazilah dalam Shalat Lima Waktu

Pada hakikatnya musibah dialami oleh setiap orang yang sifatnya tidak sama, ada berupa ujian maupun siksaan. Pernyataan ini sejalan dengan Surat al-Baqarah ayat 155 bahwa musibah bersifat mutlak milik pribadi, keluarga atau masyarakat pada umumnya. Maka dapat diartikan bahwa musibah adalah apa-apa yang tidak disenangi menimpa manusia baik secara individu maupun kelompok secara luas. Musibah terjadi karena beberapa faktor, salah satunya sifat hasad yang dimiliki manusia sehingga timbul kezaliman dan menjadi musibah bagi pelakunya di dunia ataupun kelak di akhirat.

 Sebagai contoh, Rasulullah saw dan para sahabat di zalimi oleh tokoh-tokoh Quraisy ketika shalat di Masjidil Haram ketika itu Abu Jahal dan para anteknya sedang duduk seraya berkata salah seorang diantara mereka “Siapa diantara kamu yang mau mengambil bangkai kambing yang mati dalam perut induknya kemudian letakan pada punggung Muhammad jika dia sedang sujud”. Ketika Fatimah melihat kejadian tersebut kemudian melemparkannya dari punggung Rasulullah saw lalu mengangkat kepala lantas berdo’a “Ya Allah terserah kepadamu orang-orang Quraisy”. (Fath al-Baari I:349).

عن ابن عباس قال قَنَتَ رسول الله صلى الله عليه وسلم: شَهرًا مُتَتَابِعًا فِى الظُّهرِ والعَصرِ والمَغربِ والَعِشَاء والصّبحِ فِى دُبُرِ كُلِّ صَلاةٍ إِذَا قَالَ سَمِعَ الله لِمَن حَمِدَهُ مِنَ الرَّكَعَةِ الأَخِيرَةِ يَدعُو عَليهِم عَلى حَيِّ مِن بَنِي سُلَيم عَلى رِعلٍ وذَكوانَ وَعُصَيَّةَ وَيؤَمِنُ مَن خَلفَهٌ.

“Ibnu Abbas berkata; Rasulullah saw pernah qunut selama satu bulan berturut-turut pada waktu Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya dan Subuh pada akhir tiap shalat, apabila beliau mengucapkan ‘Sami’allahu liman hamidah’ yaitu pada rakaat terakhir, beliau mendoakan celaka kepada Kabilah Bani Sulaim, yaitu; Ri’lin, Dzakwan dan Ushayyah lalu makmum membaca amin.” (Fath al-Baari III: 208)

وَعلَم أَنَّهُ قَد وَقَعَ الإِ تِّفَاقَ عَلى عَدَمِ وُجُوبِ القُنُوتِ مُطلَقًا كَمَا صَرَّحَ بِذَالِكَ صَاحِبُ البَحرِ وَغَيرُهُ.

“Ketahuilah bahwa terjadi kesepakatan Ulama atas tidak diwajibkannya berqunut secara mutlaq (namun di sunnahkan Qunut Nazilah ittifaq Ulama/Fuqaha).” (Nail al-Authar II:236)

 Qunut merupakan salah satu ibadah yang hukumnya sunnat dan dilakukan ketika ada nazilat (musibah yang menimpa kaum muslimin). Hadist diatas merupakan fi’lun Nabi yang berposisi sebagai amir/imam/pemimpin sebagai penentu komando untuk melakukan qunut nazilah dilakukan pada rakaat terakhir ketika setelah membaca sami’allahu liman hamidah di rakaat terakhir dan dilaksanakan tidak lebih dari satu bulan di semua waktu shalat wajib.

Kaifiyyat Qunut Nazilah

 Terkait kaifiyyat-nya, karena ini merupakan fi’lun Nabi artinya harus jelas mengenai pelaksanaan baik berupa apa yang di baca kemudian seperti apa gerakannya. Beragam problematika yang terjadi di tengah masyarakat diantaranya sebagai berikut:

a. Mengangkat kedua tangan ketika membaca Do’a Qunut

Pemahaman ini disinyalir merujuk kepada para Ulama Madzhab Imam asy-Syafi’i yang terbagi dua; yaitu ada yang mengutamakan mengangkat kedua tangan dan tidak. Dalam kitab al-Muhadz-dzab juz ke-1 halaman 81, yang artinya; “adapun mengangkat kedua tangan pada waktu qunut itu tidak ada nash dan yang terbukti oleh Madzhab (Syafi’ie) tidak boleh mengangkat kedua tangan karena Nabi saw sendiri tidak pernah mengangkat kedua tangan ketika berdo’a melainkan pada tiga tempat; yaitu ketika shalat istisqa (meminta hujan), diwaktu meminta kemenangan, dan di petang Arafah. Sehingga qunut itu do’a di dalam shalat, maka tidak diutamakan mengangkat kedua tangan sebagaimana hal nya dalam tasyahud dst...” kutipan tersebut merujuk kepada hadist yang kedudukannya adalah maudlu (palsu) tidak bisa digunakan sebagai hujjah. Pendapat ini sesuai dengan pernyataan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fath al-Baari juz 11 halaman 110.

قَلَ أنَسٌ:كَانَ رَسول الله صلى الله عليه وسلم لاَيَرفَعٌ يَدَيهِ فِى شَيءٍ مِنَ الدُّعَاء إِلاَّ فِى الإستِسقَاء فَإِنَّهُ كَانَ يَرفَعُ يَدَيهِ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبطَيهِ.

“Anas Berkata: keadaan Rasulullah saw tidak pernah mengangkat kedua tangan pada setiap kali berdo’a kecuali pada saat shalat istisqa; maka bahwasannya keadaan mengangkat kedua tangannya ketika itu sampai terlihat putih bagian ketiaknya” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim).

Hadist diatas menerangkan secara jelas, bahwa posisi mengangkat kedua tangan ketika berdo’a hanyalah pada saat melaksanakan shalat istisqa sehingga oleh para sahabat.

b. Tidak mengangkat kedua tangan

Sebagian ulama berpendapat, bahwa ketika qunut khususnya pada waktu shubuh disyariatkan mengangkat kedua tangan. Berdasarkan Hadist riwayat Imam al-Hakim yang artinya; “Rasulullah saw ketika mengangkat kepalanya dari ruku shalat shubuh dalam raka’at terakhir mengangkat kedua tangannya sambil berdo’a Allahumma ihdinii fiiman hadaita.... sampai selesai.” Hadist ini memiliki kecacatan dalam sanad nya, yaitu rawi yang bernama Abdullah bin Sa’id al-Maqburi menurut Murrah dan ad-Daaraqutnii tidak dapat dipercaya dan tidak bisa dijadikan hujjah.

Doa Qunut

 Pada pembahasan sebelumnya, ibadah qunut dilakukan ketika umat muslim tertimpa musibah dalam hal ini dinamakan qunut nazilah. Sehubungan dengan lafadz qunut yang dibaca memiliki beberapa arti diantaranya ta’at, ibadah, tekun, khusyu, do’a dan lain-lain. Dengan demikian Nabi saw melakukan qunut tidak dengan do’a tertentu sehingga doa qunut itu disesuaikan dengan keperluan kita. Adapun doa qunut yang pernah Nabi saw ucapkan adalah sebagai berikut:

قَالَ أبو هريراة رضي الله عنه بَينَمَا النّبِيُّ صَلى الله عليه وسلم يُصَلِّى العِشَاءِ إِذ قَالَ سَمِعَ الله لِمَن حَمِدَهُ ثُمَّ قَالَ قَبلَ أن يَسجُدَ اللهمَّ نَجِّ الوَلِيدَ بن الوَليدِ اللهمَّ المُستَتَضعَفِينَ مِنَ المُؤمِنينَ اَللهُمَّ اشدُد وَطأَتَكَ عَلى مُضَرَ اَللهُمَّ اجعَلهَا عَلَيهِم سِنِينَ كَسِنِي يُوسُفَ.

“Abu Hurairah semoga Allah meridhoi kepadanya berkata, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam shalat isya. Ia berkata sami’allahu liman hamidah, kemudian ia berkata sebelum sujud ’Allahumma... (Yaa Allah, selamatkanlah al-Walid. Ya Allah, selamatkanlah orang-orang yang lemah dari golongan mu’min. Ya Allah, jadikanlan tindasan-Mu atas mereka itu tahun-tahun (kepayahan) sebagaimana tahun (kepayahan Nabi) Yusuf”.

 Pelaksanaan ibadah qunut dilakukan sementara waktu dengan doa yang sesuai dengan tuntutan situasinya. Diantaranya sebagaimana yang dikatan Ibnu al-Qayim dalam kitabnya Hadyu ar-Rasul:

الحَافِظُ ابنُ القَيِّمُ فِى الهَديِ وَقَالَ مَنَاهُ الإِنصَافُ الَّذِي يَرتَضِيهِ الَعَالِمِ المُصَنِفُ أَنَّهُ صلى الله عليه وسلّم قَنَتَ وَتَرَكَ وكَانَ تَركُهُ لِلقُنوتِ أَكثَرَ مِن فِعلِهِ فَإِ نَّهُ إِنّمَا قَنَتَ عِندَ النَّوَازِلِ للِدُّعَاءِ لِقَومِ وَلِلدُّعَاءِ عَلى آخَرِينَ أَنَّ الحَقَّ مَاذَهَبَ إِلَيهِ مَن قَالَ إِنَّ القُنُوتَ مُختَصٌ بِالنَّوَازِلِ.

“Kesadaran/keinsafan yang disukai oleh orang alim yang munsir yaitu; menetapkan bahwa Nabi saw pernah berqunut dan tidak pula berqunut, tapi yang lebih banyak tidak berqunut daripada berqunut. Maka sesungguhnya adanya qunut ketika terjadi Nazilah/bahaya bagi Umat Muslimin untuk mendoakan kebaikan, keselamatan pada suatu kaum dan untuk mendoakan kutukan bagi lawan yang melakukan pembantaian/huru-hara merusak agama bagi kaum muslimin.”

 Dalam keterangan hadist yang lain, pelaksanaan doa qunut harus berorientasi kepada permohonan dilenyapkannya musibah yang Allah berkuasa atas hal tersebut.

Qunut di Waktu Shalat Shubuh

 Pelaksanaan ibadah qunut yang dikhususkan pada waktu shalat shubuh sudah menjadi hal lumrah terjadi di masyarakat. Pengamalan ini mengacu kepada tulisan Imam an-Nawawi dalam kitab al-Adzkar beliau mengatakan yang artinya; “Qunut shalat shubuh disunnahkan berdasarkan hadist shahih dari Anas bahwa Rasulullah saw selalu qunut sampai beliau meninggal. Hadist riwayat Hakim Abu Abdullah dalam kitab Arba’in. Ia mengatakan itu hadist shahih.” (Lihat Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Adzkar, Beirut, Daar al-Fikr, 1994, hlm. 59).

 Menurut Imam an-Nawawi, qunut shubuh termasuk kategori sunnah muakkadah yakni meninggalkannya tidak membatalkan shalat tetapi dianjurkan sujud sahwi. Terkait doa yang dibaca yaitu ‘Allahumma ihdinii fiiman hadaitaa... dst.” Dibaca ketika shalat munfarid namun ketika berjamaah maka lafadz doa yang berwazan aku diganti menjadi kami (misal; ihdinii diganti menjadi ihdinaa) menurut pandangan Syekh Zainuddin al-Malibari dalam Fathul Mu’in dimakruhkan berdoa untuk diri sendiri pada saat doa bersama. Kemudian dilaksanakan oleh imam dengan mengeraskan suaranya dan dianjurkan mengangkat kedua tangan menghadap keatas apabila doa mengandung harapan dan permintaan, sementara saat doa yang mengandung tolak bala atau dijauhkan dari musibah yang terjadi, punggung telapak tangan menghadap keatas.

 Pemahaman tersebut mengenai keyakinan bahwa qunut di waktu shalat shubuh adalah sunnah muakkadah dan apabila lupa baik disengaja maupun tidak harus melakukan sujud sahwi. Lantas bagaimana hakikat pengamalan qunut shubuh berdasarkan fi’lun Nabi saw, berikut penjelasannya:

a. Predikat Hadist Lemah

Hadist diatas, bahwa selain diriwayatkan oleh Hakim hadist ini juga diriwayatkan oleh Daaruquthni, Baihaqy, Abu Nuaim dan Ahmad. Setelah diteliti, hadist ini memiliki rawi yang lemah yaitu Abu Ja’far Ar-Razy adapun yang menshahihkan hanyalah Imam al-Hakim saja sedangkan para ahli hadist yang lain justru melemahkannya dan tidak dapat dijadikan hujjah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika mengomentari rawi ini bahwa dia adalah seorang pemalsu hadist. Bahkan Anas sendiri ketika ditanya mengenai hal ini, Anas berkata: “mereka dusta, bahwasannya qunut dilaksanakan selama satu bulan, yaitu mendoakan kaum-kaum musyrikin.” (al-Khatib); al-Jahr muqaddamun ‘alaa ta’diil (cacat) harus didahulukan daripada anggapan ‘adil.

b. Bacaan Doa Qunut Shalat Shubuh; allahumma ihdinii.. dst

Doa qunut shubuh ini sebagaian ulama berpendapat bahwa hukumnya adalah sunnah ab’ad yang artinya ketika ditinggalkan mesti sujud sahwi. Dari sekian keterangan yang dijadikan pijakan dalam pendapat tersebut, salah satunya adalah berdasarkan hadist yang diterima oleh Abu Hurairah beliau berkata: telah bersabda Rasulullah saw. “adalah Rasulullah saw, apabila mengangkat kepalanya dari ruku’ pada shalat shubuh di raka’at yang kedua, ia mengangkat kedua tangannya seraya berdo’a, dengan do’a ini: ‘Allahumma ihdinii fii man hadyta... dst, sampai akhir”. (HR. Al-Hakim dan ia menshahihkannya)

فِي سَنَدِهِ عَبدُ الله بنُ سَعِيدٍ المَقبُرِي, ولا تَقُومُ بِهِ حُجَةٌ.

“Pada sanadnya terdapat nama ‘Abdullah bin Sa’id al-Maqbari, dan tidak dapat dijadikan hujjah.” (Subulussalam, I:185)

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa teks qunut yang dilaksanakan adalah menyesuaikan dengan situasi dan kondisi berkaitan dengan musibah.

Dengan demikian, qunut yang dilaksanakan dalam shalat shubuh tidak bisa diamalkan. Karena hadist yang menjadi sandaran pengamalan berpredikat lemah, baik dalam segi periwayatan maupun teks qunut yang dibaca.

Qunut Tarawih

 Selain qunut di waktu shubuh sebagian kaum muslimin ada juga yang mengamalkan qunut pada rakaat terakhir witir tarawih, yaitu setelah membaca surat dan sebelum ruku’. Pendapat ini merujuk kepada Hadist Ubai bin Ka’ab ra, ia berkata; “Sesungguhnya Rasulullah saw berwitir lalu melakukan qunut sebelum ruku’.” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil, 2/167 hadist no. 426)

 Berikut beberapa bantahan terkait pengamalan qunut pada saat witir tarawih;

a. Lafadz qunut dalam hadist ini adalah mujmal (umum), yaitu tidak disandarkan kepada apakah qunut ini nazilah ataupun bukan. Apabila qunut nazilah pun tetap menyalahi dari segi kaifiyyat-nya yang dilakukan setelah ruku’

b. Hadist tersebut secara riwayat sah, karena selain Ibnu Majah diriwayatkan pula oleh an-Nasaiy dan ad-Daraquthni. Pada riwayat ad-Daraaquthni, hadist ini bersumber dari dua jalan dan kedua-duanya berpredikat lemah

c. “Telah berkata Imam an-Nawawi dalam al-khulashah (hadist tersebut) sanadnya dhaif dan diakui (dinyatakan) pula oleh Ibnu Rif’ah: Riwayat Hadits teresebut tidak shahih.”

d. Muhammad bin Nashr telah meriwayatkan, bahwa ia perna bertanya kepada Sa’id bin Zubair tentang asal-usul qunut, maka ia menjawab: “Umar bin Khattab pernah mengirim pasukan, kemudian mereka memasuki daerah berbahaya dalam hal dimana Umar khawatir akan keselamatan mereka, maka ketika sampai pertengahan akhir Ramadhan, Umar qunut untuk mendoakan keselamatan mereka.” (Nailu al-Authar, 3:51)

1. Thuruqul istinbath berbagai ormas dan aliran

2. Hukum ber-ma’mum kepada imam ahli bid’ah

3. Manhaj para mukharrij hadist


Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama