AKHLAQ TERPUJI MALU (HAYA)
Telah berkata al-Hafizh dalam
Fath al-Bariy, "Malu adalah akhlak yang mendorong untuk menjauhi kejelekan
dan mencegah dari mengurangi hak yang punya hak." Dan Malu timbul dari
keimanan -itulah Malu menurut syar'iy- yang terjadi karena mengagungkan dan
menghormati yang lebih tua, dan Malu tersebut terpuji. Adapun Malu yang terjadi
sebagai penyebab ditinggalkannya perbuatan yang baik maka itu tercela, dan
bukan Malu menurut syar'iy, tiada lain Malu tersebut adalah kelemahan dan
kehinaan. Imam Mujahid berkata, "Tidak suka menuntut ilmu pemalu dan orang
sombong." Lihat, Fath al-Bariy Syarh Shahih al-Bukhariy, 1. 76, 309 dan
308.
1.
Allah 'azza wajalla berfirman,
قَالَ لَا
تَخَافَةٌ إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَى
"Janganlah
kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku Mendengar dan
Melihat." Qs. Thaha [20]: 46.
2.
Allah 'azza wajalla berfirman,
أَلَمْ يَعْلَمُ
بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى
"Tidakkah
dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?." Qs.
al-'Alaq [96]: 14.
3.
Allah 'azza wajalla berfirman,
وَمَا كُنتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَن يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَلَا
أَبْصَرُكُمْ وَلَا جُلُودُكُمْ وَلَكِن ظَنَنتُمْ أَنَّ اللَّهَ لَا يَعْلَمُ
كَثِيرًا مِمَّا تَعْمَلُونَ.
"Kamu
sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan dan
kulitmu kepadamu bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan
dari apa yang kamu kerjakan." Qs. Fushshilat [41]: 22.
4.
Allah 'azza wajalla berfirman,
يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم
بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ.
"Pada
hari (ketika) lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap
apa yang dahulu mereka kerjakan." Qs. an-Nur [24]: 24.
5.
Allah 'azza wajalla berfirman,
وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ كِرَامًا كَتِبِينَ يَعْلَمُونَ مَا
تَفْعَلُونَ
"Padahal
sesungguhnya bagi kamu ada (Malaikat-Malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu),
yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka
mengetahui apa yang kamu kerjakan." Qs. al-Infithar [82]: 10-12.
6.
Allah 'azza wajalla berfirman,
ما يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
"Tiada
suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas
yang selalu hadir." Qs. Qaaf [50]:18.
7.
Nabi SAW bersabda,
الْإِيمَانُ بِضْعَ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةَ،
فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ
الطَّرِيقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ.
"Iman
itu mempunyai tujuh puluh atau enam puluh cabang lebih, yang paling utamanya
adalah ucapan; LAA ILAAHA ILLALLAH, dan yang paling rendahnya adalah
menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu adalah cabang dari iman." Hr. Muslim, no. 35 dari Abi
Hurairah RA.
8.
Nabi SAW bersabda juga,
الحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخير.
"Malu
itu tidak mendatangkan kecuali kebaikan." Hr. Ahmad, no. 19716,
al-Bukhariy, no. 6117, Muslim, no. 37 dari Imran bin Hushain RA.
9.
Nabi SAW bersabda,
الحياءُ مِنَ الْإِيمَانِ وَالْإِيمَانُ فِي الْجَنَّةِ، وَالْبَذَاءُ مِنَ
الْجَفَاءِ وَالْجَفَاءُ فِي النَّارِ.
"Malu
itu dari iman dan iman ada di surga, sedangkan perkataan keji itu dari perangai
yang kasar dan perangai yang kasar ada di neraka." Hr. Ahmad, no. 10460,
at-Tirmidziy, no. 2016, al-Hakim, no. 170, al-Baihaqiy dalam Syu'ab al-Iman,
no. 7707 dari Abi Hurairah RA.
10.
Nabi SAW bersabda,
إِنَّ لِكُلِّ دِيْنِ خُلُقًا، وَخُلُقُ الْإِسْلَامِ الْحَيَاءُ.
"Sesungguhnya
setiap agama itu memliki akhlak, sedangkan akhlak Islam adalah malu." Hr. Ibnu Majah, no. 4181, Abu
Nu'aim dalam Hilyat al-Auliya, V: 363 dari Anas RA. Pada sanadnya terdapat rawi
bernama Mu'awiyah bin Yahya ash-Shadafiy. Berkata al-Hafizh,
"Dla'if," dan berkata adz-Dzahabły, "Mereka mendia
ikannya." (Lihat, Taqrib at-Tahdzib, I 593, no. 7050, al-Kasyiť, II:
141, no. 5611, Tahdzib at-Tahdzib, VIII: 253, no. 7050, Mizan al-lidal, №: 138,
по 8635)
11.
Nabi SAW bersabda,
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأَوْلَى :
إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ.
"Sungguh
di antara yang didapatkan manusia dari perkataan kenabian terdahulu adalah,
Jika kamu tidak punya malu, maka berbuatlah sesukamu." Hr. Ahmad, no. 17027,
al-Bukhariy, no. 6120, Abu Dawud, no. 4797, Ibnu Majah, no. 4183 dari Abi
Mas'ud RA.
12.
Dari Abi Sa'id al-Khudriy ia
berkata,
كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ أَشَدَّ حَيَاءٌ مِنْ الْعَذْرَاءِ فِي خِدْرِهَا،
وَكَانَ إِذَا كَرِهَ شَيْئًا عَرَفْنَاهُ في وجهه.
"Rasulullah
SAW adalah orang yang paling pemalu melebihi malunya seorang gadis yang
dipingit dalam kamar, dan apabila beliau tidak menyukai sesuatu maka kami dapat
mengetahuinya dari raut mukanya." Hr. Ahmad, no. 11801,
al-Bukhariy, no. 3562, Muslim, no. 4284.
·
Sebagian ahli hikmah berkata, "Barang
siapa yang memakaikan malu sebagai bajunya maka orang-orang tidak akan melihat
aibnya."
·
Sebagian ahli balaghah berkata, "Hidupnya
wajah itu dengan rasa malunya, sebagaimana hidupnya tanaman dengan
airnya."
·
Shalih bin Abdil Quddus berkata, "Apabila
kurang air wajah maka sedikit malunya, tidak ada kebaikan pada wajah apabila
kurang airnya. Rasa malumu hendaklah kamu menjaganya dan sesungguhnya rasa malu
itu menunjukkan pada perbuatan yang mulia. Bagi orang yang telah dicabut rasa
malunya maka tidak ada penghalang baginya dari kejelekan dan tidak ada pencegah
dari yang dilarang, maka dia akan mengerjakan apa yang dia kehendaki dan
melakukan apa yang dia mau." Lihat, Adab ad-Dunya wa ad-Dien, hal.
241.
Ketahuilah malu pada diri manusia
itu ada tiga macam, yaitu: Malu oleh Allah, Malu oleh manusia dan Malu oleh
diri sendiri.
·
Malu oleh Allah, yaitu dengan
mengerjakan perintah-perintah Nya dan menahan diri dari larangan-laranganNya.
Malu seperti ini timbul karena kuatnya agama dan kokohnya keyakinan.
·
Malu oleh manusia, yaitu dengan
menahan diri dari menyakiti dan tidak terang-terangan dalam berbuat jelek. Malu
seperti ini timbul dari kesempurnaan muru'ah dan menyukai pujian.
·
Malu oleh diri sendiri, yaitu
dengan menjaga kehormatan dan melindungi diri ketika sunyi. Malu seperti ini
timbul karena keutamaan diri dan baik hati.
Oleh karena itu, bila sempurna
malu seseorang dengan ketiga macamnya maka sempurnalah sebab-sebab kebaikan dan
hilanglah sebab-sebab kejelekan, ia menjadi masyhur dengan keutamaan dan dengan
kebaikan ia disebut-sebut. Lihat, Adab ad-Dunya wa ad-Dien, hal. 242-244.
·
Rasulullah SAW bersabda,
"Malulah kalian oleh Allah dengan sebenar-benar malu." la berkata;
Kami berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami malu, alhamdulillah. Beliau
menjawab, "Bukan demikian, tetapi barang siapa yang malu oleh Allah dengan
sebenar-benar malu, hendaklah la menjaga kepala dan apa yang dikandungnya,
menjaga perut dan apa yang ditampungnya, hendaklah ia mengingat kematian dan
kebinasaan. Barang siapa yang menginginkan akhirat, hendaklah ia meninggalkan
perhiasan dunia. Barang siapa yang melakukan itu semua, ia telah malu kepada
Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu." Hr. Ahmad, no. 3671,
at-Tirmidziy, no. 2466, al-Hakim, no. 8080 dari Abdullah bin Mas'ud RA.
Pada sanadnya terdapat Aban bin
Ishaq al-Asadiy al-Kufiy an-Nahwiy. al "Ijliy berkata, "Tsiqah,"
dan Ibnu Hibban memasukkannya ke dalam ats-Tsiqat. Kata al-Azdiy,
"Motruk" al-Hafizh menyatakan, "Kufiy tsiqah, al Azdiy memperbincangkannya
tanpa hujjah." Kata adz-Dzahabiy, "Tidak matruk (laa yutraku),
sungguh Ahmad dan al-'ljliy mentsiqahkannya. Abu al-Fath (al-Azdiy) suka
berlebihan dalam menjarh." Lihat, Tahdzib at-Tahdzib, I: 118, no. 145,
Taqrib al-Tahdzib, 1: 24, no. 145, Mizan al-Itidal, 1: 5, no. 1.
·
Telah diriwayatkan bahwa
Hudzaifah bin al-Yaman berkata, "Tidak ada kebaikan pada diri orang
yang tidak punya rasa malu terhadap manusia."
·
Sebagian ahli hikmah berkata, "Jadikanlah
malu oleh dirimu sendiri lebih besar dari pada malumu oleh orang lain."
·
Sebagian ahli adab berkata, "Barang
siapa yang mengerjakan suatu pekerjaan dalam kesendirian, dan dia merasa malu
dari pekerjaan tersebut jika mengerjakannya secara terang-terangan maka tidak
ada baginya derajat disisi Allah." Lihat, Adab ad-Dunya wa ad-Dien,
hal. 243.
Macam-macam malu (oleh Allah SWT)
Para ulama berkata, Malu oleh
Allah itu terbagi kepada 6 macam: Lihat, Akhlaq al-Mu'min, hal. 112-113
1.
Malu Jinayah
Malu Jinayah
yaitu malunya orang yang melakukan maksiat, seperti malunya Nabi Adam AS ketika
memakan buah dari pohon yang dilarang oleh Allah.
Nabi SAW bersabda, Ketika Adam
merasakan buah dari pohon itu dia berlari maka rambutnya tersangkut pohon,
kemudian ia diseru: Wahai Adam, apakah kamu ingin lari dari-Ku? Dia menjawab,
tidak, wahai rabbku. Akan tetapi saya malu kepada-Mu. Allah berfirman, "Wahai
Adam keluarlah dari surga-Ku, karena dengan keagungan-Ku Aku tidak akan
membiarkan orang yang berbuat maksiat kepada-Ku tinggal di surga. Jika Aku
menciptakan sepenuh bumi makhluk sepertimu kemudian mereka berbuat maksiat
kepada-Ku maka Aku pasti akan menempatkan mereka di tempat para pembuat
maksiat." Hr. Ibnu Abi Hatim dalam Tafsirnya, 1:100, по. 389 dari
Qatadah dari Ubay din Ka'ab RA.
Ibnu Katsir berkata, "Sanadnya
munqathi bahkan mu'dlal." Kata al-Hakim, "Qatadah tidak sima'
dari shahabiy selain Anas." Lihat, Tafsir Ibnu Katsir, I: 193, Tahdzib
al-Tahdzib, VI: 485.
2.
Malu Taqshir
Malu Taqshir
yaitu malunya orang yang tidak dapat beribadah kepada Allah dengan
sebenar-benarnya ibadah, siapakah yang sanggup beribadah kepada Allah dengan
sebenar-benarnya ibadah!!? … maka engkau tidak akan pernah menemukannya, karena
itu setiap dari kita adalah orang-orang yang memiliki keterbatasan. Malu ini
seperti malunya para malaikat.
Nabi SAW bersabda, "Tidak
ditemukan dilangit yang tujuh tempat sebesar telapak kaki, sejengkal tidak pula
sebesar telapak tangan kecuali padanya malaikat yang sedang berdiri atau ruku'
atau sujud. Maka jika datang hari kiamat mereka semua berkata, "Maha
Suci Engkau, sungguh kami tidak beribadah kepada-Mu dengan sebenar-benarnya
ibadah kecuali sesungguhnya kami tidak pernah berbuat syirik kepada-Mu
sedikitpun." Hr. ath-Thabraniy, al-Mu'jam al-Kabir, no. 1730, dan
dalam al-Ausath, no. 3568 dari Jabir bin 'Abdillah RA. Pada sanadnya terdapat
rawi bernama 'Urwah bin Marwan al-'Irqiy. ad-Daraquthniy berkata, "la
tidak kuat dalam hadits." Lihat, Mizan al-l'tidal, III: 64, no. 5610,
Lisan al-Mizan, IV: 190, no. 5604, Majima az-Zawaid wa Manba' al-Fawaid, I 52
dan X: 358.
3.
Malu Istisy'ari Ni'amillah 'Alaik
Malu
Istisy'ari Ni'amillah 'Alaik yaitu malu karena menyadari nikmat yang sangat
banyak dari Allah. Malu ini muncul setelah engkau merasakan nikmat-nikmat Allah
yang sampai kepada engkau dengan sangat melimpah, sedangkan engkau tidak tahu
bagaimana cara bersyukur kepada-Nya, maka engkau merasa malu darinya. Hal ini
seperti malunya Nabi SAW, dan beliau berdo'a kepada-Nya:
لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ.
"Hamba
tidak dapat menghitung pujian untuk-Mu sebagaimana Engkau memuji untuk diri-Mu
sendiri." Hr. Ahmad, no. 25531, Muslim, no. 486, Abu Dawud, no. 879,
at-Tirmidziy, no. 3504, an-Nasaiy, no. 1130, Ibnu Majah, no. 3841 dari 'Aisyah
RA.
4.
Malu 'Ubudiyyah
Malu
'Ubudiyyah yaitu malunya seorang hamba yang senantiasa mendengarkan dan
mentaati Tuhannya dan tidak pernah meninggalkan perintah-Nya. Hal ini seperti
malunya Nabi SAW ketika kiblat kaum muslimin masih menghadap Baitul Maqdis,
saat itu beliau sangat menginginkan kiblat dialihkan ke ka'bah, tapi apakah
Nabi langsung berkata, "Pindahkanlah kiblat ya rabb!" Tentu tidak,
demi Allah... sesungguhnya itu adalah malu seorang hamba.
Allah ta'ala berfirman,
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً
تَرْضَهَا فَوَلِ وَجْهَكَ شطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ.
"Sungguh
Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram." Qs. al-Baqarah [2]: 144.
Maka Nabi SAW melihat ke langit
dengan kedua matanya dan tidak berkata apapun dikarenakan malu oleh Allah,
benarlah keadaan Nabi itu sangat pemalu dari pada perawan yang dalam
pingitannya. Dan siapa yang paling mengabdi dari Rasulullah SAW di muka bumi
ini yang lebih berhak untuk merasa malu 'ubudiyyah?
5.
Malu Mahabbah
Bagian ini
tidak perlu engkau baca, namun cukup engkau hidup dengannya serta merasakannya.
Karena cinta yang sangat besar kepada Allah, engkau akan merasa malu dari-Nya,
maka pastilah kedua matamu menangis, hatimu bergetar dan anggota badanmu
khusyu'. Maka karena malunya Nabi SAW dan cintanya yang sangat kepada Allah ia
berdo'a:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ
وَتَرْكَ الْمُنْكَرَاتِ وَحُبَّ الْمَسَاكِينِ، وَأَنْ تَغْفِرَ لِي
وَتَرْحَمَنِي. وَإِذَا أَرَدْتَ فِتْنَةَ قَوْمٍ فَتَوَفَّنِي غَيْرَ مَفْتُوْنٍ
. أَسْأَلُكَ حُبَّكَ وَحُبُّ مَنْ يُحِبُّكَ وَحُبُّ عَمَلٍ يُقَرِّبُ إِلَى
حُبِّكَ.
"Ya
Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu untuk berbuat kebaikan, meninggalkan
kemungkaran, mencintai orang-orang miskin. Ampunilah aku dan rahmatilah aku.
Bila Engkau menghendaki suatu fitnah kepada hamba-hambaMu, wafatkan aku dalam
keadaan tidak terkena fitnah. Aku memohon kepadamu untuk dapat mencintai-Mu,
mencintai orang yang mencintai-Mu, mencintai amalan yang akan mendekatkanku
kepada cinta-Mu." Hr. at-Tirmidziy, no. 3244, al-Hakim, no. 1949, Ahmad,
no. 22008 dari Mu'adz bin Jabal RA.
6.
Malu Ijlal lillah 'azza wajalla
Malu ljlal
lillah 'azza wajalla yaitu rasa malu yang muncul karena melihat keagungan Allah
SWT, Raja yang sangat Agung, Pemilik Kerajaan.
·
Nabi SAW bersabda,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ عَبْدًا نَزَعَ
مِنْهُ الحياء، فَإِذَا نَزَعَ مِنْهُ الحياء لم تلقَهُ إِلَّا مَقِيْنَا مُمقنا.
فإذا لم تَلْقَهُ إِلَّا مَقِينا تمعنا نُزِعَتْ مِنْهُ الْأَمَانَهُ، فَإِذَا
نُزِعَتْ مِنْهُ الْأَمَانَةُ لمْ تَلْقَهُ إِلَّا خَائِنَا مُخَونَا. فَإِذا لم
تَلْقَهُ إِلَّا خَالِنَا مُحَوْنًا نُزِعَتْ مِنْهُ الرَّحْمَةُ، فَإِذَا
نُرِعَتْ مِنْهُ الرحمة لم تَلْقَهُ إِلَّا رَحِيمًا مُلَعنَا. فَإِذَا لَمْ
تَلْقَهُ إِلَّا رَحِيمًا مُلَعَنَا نُزِعَتْ مِنْهُ رِيْقَةُ الْإِسْلَام.
"Apabila
Allah 'azza wajalla hendak membinasakan seorang hamba maka Dia akan mencabut
rasa malu darinya, apabila rasa malu sudah dicabut darinya maka kamu tidak
mendapatinya kecuali dalam keadaan sangat dibenci. Jika kamu tidak mendapatinya
kecuali dalam keadaan sangat dibenci, maka akan dicabut amanah darinya. Apabila
amanah telah dicabut darinya, maka kamu tidak mendapatinya kecuali dalam
keadaan sangat khianat. Apabila kamu tidak mendapatinya kecuali dalam keadaan
sangat khianat, maka akan dicabut darinya sifat kasih sayang. Dan apabila
dicabut darinya kasih sayang, kamu tidak akan menjumpainya kecuali dalam
keadaan sangat terlaknat, dan apabila kamu tidak menjumpainya kecuali dalam
keadaan sangat terlaknat, maka akan dicabut darinya ikatan Islam." Hr. Ibnu Majah, no. 4054 dari
Ibn Umar RA. Pada sanadnya terdapat rawi bernama Sa'id bin Sinan, Abu Mahdiy
al-Hanafiy al-Kindiy al-Himshiy. Berkata adz-Dzahabiy, "zahid (orang
zuhud) dla'iful hadits." Kata al-Hafizh, "Matruk."
ad-Daraquthniy dan yang lain menuduhnya memalsu hadits. Lihat, al-Kasyif, 1:
317, no. 1922. Taqrib at-Tahdzib, 1: 207, no. 2406, Tahdzib at-Tahdzib, III:
336, no. 2406. Mizan al-tidal, It: 143, no. 3208.
·
Nabi SAW bersabda,
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يُشَارِكُهُمُ الشَّيَاطِينُ فِي
أَوْلَادِهِمْ قِيلَ: وَكَائِنٌ ذَلِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: نَعَمْ
قَالُوا: وَكَيْفَ نَعْرِفُ أَوْلادَنَا مِنْ أَوْلَادِهِمْ؟ قَالَ: بِقِلَّةِ
الْحَيَاء وَقِلَّةِ الرحمة.
"Akan
datang pada manusia suatu zaman, yang mana syetan mendampingi anak-anak
mereka." Ditanyakan, apakah hal itu akan terjadi wahai Rasulullah? Beliau
menjawab, "ya." ditanyakan lagi, bagaimana kami bisa mengetahui
anak-anak kami dari anak-anak mereka? Beliau menjawab, "Dengan kurang malu
dan kasih sayang." Hr. Abu asy-Syaikh dari Abi Hurairah RA, Kanz
al-'Ummal, no. 5795, ad-Dailamiy, V: 440.
·
Nabi SAW berdo'a,
اللَّهُمَّ لَا
يُدْرِكُنِي زَمَانٌ أَوْ لَا أُدْرِكُ زَمَانَ - قَوْمٍ لَا يَتَّبِعُوْنَ
الْعِلْمَ وَلَا يَسْتَحْيُوْنَ مِنَ الحليم
"Ya
Allah! Sermoga hamba tidak menemui suatu zaman -atau (dengan redaksi) Semoga
hamba tidak menemui suatu zaman yang saat itu mereka tidak mengikuti ilmu dan
tidak merasa malu oleh Yang Maha Sabar (Allah SWT)." Hr. al-Hakim, no. 8735 dari
Abi Hurairah RA.
Berkata sebagian ahli hikmah
"Malu pada laki-laki itu baik tetapi pada perempuan lebih baik, adil pada
setiap orang itu baik tetapi pada para pemimpin lebih baik, taubat dilakukan
orang tua itu baik tetapi dilakukan anak muda lebih baik, dermawan pada orang
kaya itu baik tetapi pada orang fakir lebih baik," "Lihat, Nasha-ih
al-Ibad, hal. 34. (Ust. Hamdan, Belajar Meneladani Akhlaq Rasulullah:
Seri Akhlaq Terpuji, Bandung: Maktabah Syaqib, Syawal, 1436 H. hlm. 4-14)
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan